JAKARTA – Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kembali menjerat Ketua DPR Setya Novanto dalam dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) tengah dinanti publik saat ini. Strategi itu satu-satunya cara mengembalikan kepercayaan masyarakat yang kecewa atas putusan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jumat (29/9).
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan strategi tersebut mestinya mudah dilakukan KPK. Itu mengingat komisi antirasuah itu berulang kali berkoar memiliki banyak barang bukti terkait keterlibatan Setnov dalam korupsi berjamaah yang merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun itu.
”Kalau punya alat bukti banyak seperti yang disampaikan ke media ya segera dipercepat prosesnya,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos, kemarin (1/10). Gerak cepat KPK bisa menjawab kejanggalan putusan hakim Cepi Iskandar. Upaya itu juga akan memulihkan kepercayaan publik pasca Setnov dinyatakan menang gugatan praperadilan. ”KPK selalu bilang punya banyak alat bukti,” imbuhnya.
Meski demikian, KPK juga tetap harus cermat mengulang penyelidikan dan penyidikan Setnov. Khususnya terkait dengan proses pelimpahan berkas penyidikan ke penuntutan. Mestinya, KPK tidak terlalu lama berkutat dalam proses itu. Sebab, bisa dimanfaatkan Setnov untuk mencari celah kelemahan yang nantinya dijadikan modal mengajukan gugatan praperadilan.
”Terlepas dari keganjilan putusan hakim, saya rasa salah satunya masalah itu soal pelimpahan berkas yang begitu lama oleh KPK,” ujarnya. Semakin cepat dibawa ke pengadilan, kasus Setnov bakal segera tuntas. ”Ini (cepat dibawa ke penuntutan, Red) kalau merujuk KPK punya ratusan bukti. Jadi tidak perlu tertunda praperadilan,” ungkapnya.
Bukan hanya soal itu, KPK juga mesti lebih tegas mempelajari strategi Setnov yang berkali-kali tidak memenuhi panggilan penyidik dengan alasan sakit. Erasmus menyebut Setnov bukan tersangka pertama yang sakit ketika dipanggil KPK. Pun, tidak tertutup kemungkinan sakit Setnov dibuat-buat atau dalam istilah psikologi disebut malingering.
Menurut Erasmus, jarak waktu antara sakit Setnov dan penetapan tersangka mestinya dicermati secara baik. Hal itu penting sebagai acuan langkah hukum. Misal, second opinion (SO) dari dokter independen KPK. Sejauh ini, KPK belum mengeluarkan SO terkait kondisi kesehatan Setnov. Padahal, ditengarai banyak kejanggalan dalam sakit orang nomor satu di DPR tersebut.
”Kalau alasan tidak kooperatif, tidak ada orang jadi terdakwa. Harus dicek baik-baik seperti apa sakitnya,” tuturnya. Apalagi, hari ini Setnov dikabarkan diperbolehkan pulang dari rumah sakit (RS) Premier Jakarta Timur. Hal tersebut kian menguatkan asumsi bahwa Setnov pura-pura sakit hanya untuk menghambat pemeriksaan KPK.
Polemik atas putusan praperadilan Setnov seharusnya tidak dilihat dari satu sisi semata. Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution menilai, saat ini muncul pro dan kontra di tengah masyarakat atas putusan hakim Cepi Iskandar itu. Di satu sisi, bagi yang pro dengan putusan menilai bahwa hal itu membenarkan kecerobohan KPK, sikap tebang pilih dan bekerja kurang profesional.
”Sementara, pihak yang kontra menilai putusan hakim Cepi melukai keadilan publik dan dikhawatirkan akan menjadi alat pansus angket KPK untuk mengeluarkan rekomendasi,” kata Maneger.
Maneger menilai, untuk mengatasi hal itu, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung perlu proaktif turun tangan. KY bisa menindaklanjuti laporan-laporan yang masuk terkait persidangan praperadilan Setnov. Dalam hal ini, Generasi Muda Partai Golkar tercatat sudah tiga kali menyampaikan aduan kepada KY, termasuk yang terakhir terkait kecurigaan atas kinerja hakim Cepi.
”Kehadiran KY mendesak, di samping untuk memastikan kebenaran adanya dugaan kuat pelanggaran etika yang dilakukan Cepi Iskandar," ujar Maneger.
Dalam hal ini, KY selama ini mengklaim selalu menurunkan tim pengawasnya di setiap persidangan praperadilan Setnov. Karena itu, informasi dari KY penting agar publik bisa mendapatkan data yang sebenarnya. "Informasi itu dibutuhkan, sehingga diharapkan perasaan keadilan publik tidak semakin terlukai," jelasnya.
Untuk MA, Maneger mendorong agar lembaga yudikatif ini bisa mengambil inisiatif eksaminasi putusan hakim Cepi. Langkah ini dinilai perlu karena kasus Setnov selalu menjadi perhatian publik. ”(MA) perlu mengambil langkah tegas manakala ditemukan dugaan kejanggalan dan penyelewengan hukum yang dilakukan oleh Cepi Iskandar,” jelasnya.
Tak lupa, Maneger mendorong agar KPK segera melakukan evaluasi internal. Dalam hal rencana KPK ingin kembali menerbitkan surat perintah penyidikan yang baru bagi Setnov, KPK tidak bisa lagi bekerja dengan pola lama. KPK diminta bekerja lebih cepat dan profesional.
”Seperti dengan melakukan penahanan dan pelimpahan perkara ke persidangan, manakala sudah ada bukti-bukti yang cukup,” tandasnya.
Sementara itu, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi mengimbau seluruh pihak menempuh jalur yang benar bila ingin mempertanyakan kejanggalan putusan Setnov. Pihaknya saat ini terus berupaya memproses apapun hasil pemantauan terhadap kasus yang menjadi perhatian publik tersebut. ”Kami belum dapat memberikan tanggapan lebih jauh,” ucapnya. (tyo/bay)
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan strategi tersebut mestinya mudah dilakukan KPK. Itu mengingat komisi antirasuah itu berulang kali berkoar memiliki banyak barang bukti terkait keterlibatan Setnov dalam korupsi berjamaah yang merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun itu.
”Kalau punya alat bukti banyak seperti yang disampaikan ke media ya segera dipercepat prosesnya,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos, kemarin (1/10). Gerak cepat KPK bisa menjawab kejanggalan putusan hakim Cepi Iskandar. Upaya itu juga akan memulihkan kepercayaan publik pasca Setnov dinyatakan menang gugatan praperadilan. ”KPK selalu bilang punya banyak alat bukti,” imbuhnya.
Meski demikian, KPK juga tetap harus cermat mengulang penyelidikan dan penyidikan Setnov. Khususnya terkait dengan proses pelimpahan berkas penyidikan ke penuntutan. Mestinya, KPK tidak terlalu lama berkutat dalam proses itu. Sebab, bisa dimanfaatkan Setnov untuk mencari celah kelemahan yang nantinya dijadikan modal mengajukan gugatan praperadilan.
”Terlepas dari keganjilan putusan hakim, saya rasa salah satunya masalah itu soal pelimpahan berkas yang begitu lama oleh KPK,” ujarnya. Semakin cepat dibawa ke pengadilan, kasus Setnov bakal segera tuntas. ”Ini (cepat dibawa ke penuntutan, Red) kalau merujuk KPK punya ratusan bukti. Jadi tidak perlu tertunda praperadilan,” ungkapnya.
Bukan hanya soal itu, KPK juga mesti lebih tegas mempelajari strategi Setnov yang berkali-kali tidak memenuhi panggilan penyidik dengan alasan sakit. Erasmus menyebut Setnov bukan tersangka pertama yang sakit ketika dipanggil KPK. Pun, tidak tertutup kemungkinan sakit Setnov dibuat-buat atau dalam istilah psikologi disebut malingering.
Menurut Erasmus, jarak waktu antara sakit Setnov dan penetapan tersangka mestinya dicermati secara baik. Hal itu penting sebagai acuan langkah hukum. Misal, second opinion (SO) dari dokter independen KPK. Sejauh ini, KPK belum mengeluarkan SO terkait kondisi kesehatan Setnov. Padahal, ditengarai banyak kejanggalan dalam sakit orang nomor satu di DPR tersebut.
”Kalau alasan tidak kooperatif, tidak ada orang jadi terdakwa. Harus dicek baik-baik seperti apa sakitnya,” tuturnya. Apalagi, hari ini Setnov dikabarkan diperbolehkan pulang dari rumah sakit (RS) Premier Jakarta Timur. Hal tersebut kian menguatkan asumsi bahwa Setnov pura-pura sakit hanya untuk menghambat pemeriksaan KPK.
Polemik atas putusan praperadilan Setnov seharusnya tidak dilihat dari satu sisi semata. Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution menilai, saat ini muncul pro dan kontra di tengah masyarakat atas putusan hakim Cepi Iskandar itu. Di satu sisi, bagi yang pro dengan putusan menilai bahwa hal itu membenarkan kecerobohan KPK, sikap tebang pilih dan bekerja kurang profesional.
”Sementara, pihak yang kontra menilai putusan hakim Cepi melukai keadilan publik dan dikhawatirkan akan menjadi alat pansus angket KPK untuk mengeluarkan rekomendasi,” kata Maneger.
Maneger menilai, untuk mengatasi hal itu, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung perlu proaktif turun tangan. KY bisa menindaklanjuti laporan-laporan yang masuk terkait persidangan praperadilan Setnov. Dalam hal ini, Generasi Muda Partai Golkar tercatat sudah tiga kali menyampaikan aduan kepada KY, termasuk yang terakhir terkait kecurigaan atas kinerja hakim Cepi.
”Kehadiran KY mendesak, di samping untuk memastikan kebenaran adanya dugaan kuat pelanggaran etika yang dilakukan Cepi Iskandar," ujar Maneger.
Dalam hal ini, KY selama ini mengklaim selalu menurunkan tim pengawasnya di setiap persidangan praperadilan Setnov. Karena itu, informasi dari KY penting agar publik bisa mendapatkan data yang sebenarnya. "Informasi itu dibutuhkan, sehingga diharapkan perasaan keadilan publik tidak semakin terlukai," jelasnya.
Untuk MA, Maneger mendorong agar lembaga yudikatif ini bisa mengambil inisiatif eksaminasi putusan hakim Cepi. Langkah ini dinilai perlu karena kasus Setnov selalu menjadi perhatian publik. ”(MA) perlu mengambil langkah tegas manakala ditemukan dugaan kejanggalan dan penyelewengan hukum yang dilakukan oleh Cepi Iskandar,” jelasnya.
Tak lupa, Maneger mendorong agar KPK segera melakukan evaluasi internal. Dalam hal rencana KPK ingin kembali menerbitkan surat perintah penyidikan yang baru bagi Setnov, KPK tidak bisa lagi bekerja dengan pola lama. KPK diminta bekerja lebih cepat dan profesional.
”Seperti dengan melakukan penahanan dan pelimpahan perkara ke persidangan, manakala sudah ada bukti-bukti yang cukup,” tandasnya.
Sementara itu, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi mengimbau seluruh pihak menempuh jalur yang benar bila ingin mempertanyakan kejanggalan putusan Setnov. Pihaknya saat ini terus berupaya memproses apapun hasil pemantauan terhadap kasus yang menjadi perhatian publik tersebut. ”Kami belum dapat memberikan tanggapan lebih jauh,” ucapnya. (tyo/bay)