KEBUMEN (Kebumen Ekspres)- Dijatuhkannya vonis bagi pelaku perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU), Giyatmo, dipastikan bukan akhir cerita kasus tersebut. Kini, persoalan lebih besar justru berada di depan mata bagi Pemkab Kebumen dan Pemprov Jawa Tengah.
Itu setelah majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kebumen memerintahkan Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat menyita uang Rp 8,7 miliar milik PD BPR BKK Kebumen. Uang tersebut disita lantaran terbukti merupakan hasil kejahatan Giyatmo.
"Disitanya dana Rp 8,7 miliar dipastikan akan mengganggu kinerja PD BPR BKK Kebumen," ujar Dosen Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Suharno SE MSI Jumat (22/5/2015).
Giyatmo,warga Desa Kutosari Kebumen, terbukti melakukan tindak kejahatan penipuan dan pencucian uang milik Hidayat, warga Kabupaten Banyumas sebesar Rp 23,25 miliar. Uang yang awalnya dimaksudkan korban untuk investasi, oleh Giyatmo, malah dipergunakan untuk membayar utangnya kepada PD BPR BKK Kebumen yang sebesar Rp 13 miliar.
Kejadian pada tahun 2011 itu juga melibatkan pelaku lain, Dian Agus Risqianto, warga Desa/Kecamatan Pejagoan. Keduanya sudah divonis bersalah dan saat ini mendekam di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kebumen.
Selain itu, Hakim juga memerintahkan Jaksa untuk menyita uang sejumlah Rp 8,7 miliar uang milik PD BPR BKK Kebumen yang saat ini berada di rekening bank Mandiri. Sebab, uang tersebut terbukti merupakan uang hasil kejahatan Giyatmo dan Agus Risqianto. Nantinya, uang sebesar Rp 8,7 miliar itu akan dikembalikan kepada Hidayat selaku pemilik uang.
Untuk diketahui, PD BPR BKK Kebumen merupakan bank milik pemerintah, dalam hal ini Pemkab Kebumen dan pemprov Jawa Tengah selaku pemgang saham. "Bank pasti akan terganggu karena jumlah kredit macet akan bertambah sebesar tunggakan (bertambah Rp 8,7 miliar,red) yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank, "jelas Suharno kemarin.
" Disisi lain, untuk menjaga tingkat kesehatan bank akibat penambahan kredit macet tersebut, maka bank harus menambah cadangan yang berarti kapasitas penyaluran kreditnya akan tertahan," imbuhnya.
Lalu, bagaimana kemungkinan Bank PD BPR BKK kebumen kolaps? Menurut Suharno, masih terlalu dini untuk menyimpulkan hal tersebut. Namun, kemungkinan itu bisa saja terjadi bila kondisi keuangan PD BPR BKK Kebumen tidak dalam kondisi sehat. "Mengetahui sehat tidaknya sebuah bank kewenangannya ada pada otoritas jasa Keuangan (OJK/ lembaga pengawas bank). Penentuan sehat tidaknya bank ada kriteria sendiri," katanya.
Suharno justru mempertanyakan pencairan uang Rp 13 miliar kepada Giyatmo. Apalagi, pencairan itu mengalir ke satu rekening atas nama Giyatmo. Pencairan itu melebihi batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Selain itu, fakta bahwa pencairan itu tanpa melalui proses verifikasi jelas menyalahi aturan. "Kalau dulu bermasalah kok tetap bisa cair ke A (Giyatmo). Barangkali ada orang dalam BPR juga yang bermain dalam proses pencairan. Yang ikut memproses mencairkan harus tanggung jawab," katanya.
Namun untuk mengetahui siapa saja yang harus bertanggung jawab, menurut Suharno, kewenangan ada di tingkat penyidik. Untuk menyimpulkan harus melihat fakta dan keterangan saksii. "Pendapat awal saya, pencairan kredit mestinya dilakukan dengan memperhatikan ketentuan internal bank maupun ketentuan yang dibuat oleh regulator. Selain itu pemberian kredit mestinya juga memperhatikan kemampuan debitur dan ketersediaan dana yang dimiliki bank agar tidak mengganggu likuiditas bank," kata Suharno lagi.
Selain faktor keterlibatan orang dalam PD BPR BKK Kebumen, faktor lemahnya pengawasan juga bisa menjadi penyebab. "Apakah dulu tidak ada pengawasan dari BI atau saat ini OJK. Kalau bermasalah tentu dari dulu dah ada temuan. Kalau tidak ada penemuan, berarti BI/OJK juga lemah dalam pengawasan," katanya. Sementara itu, salah satu Dewan pengawas PD BPR BKK Kebumen Wahyu Siswanti SE mengatakan belum bisa memberikan keterangan detail mengenai kejadian iu.
Saat ini, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Pemprov Jateng untuk menyikapi persoalan itu. “ Saat ini saya sedang berkoordinasi dengan pemprov Jateng,” katanya.
Dia mengatakan, hingga kemarin, belum ada penyitaan uang Rp 8,7 miliar dimaksud. “Belum (belum ada penyitaan dari kejaksaaan),” kata perempuan yang sehari-hari Kabag Perekonomian Setda Kabupaten Kebumen tersebut.
Itu setelah majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kebumen memerintahkan Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat menyita uang Rp 8,7 miliar milik PD BPR BKK Kebumen. Uang tersebut disita lantaran terbukti merupakan hasil kejahatan Giyatmo.
"Disitanya dana Rp 8,7 miliar dipastikan akan mengganggu kinerja PD BPR BKK Kebumen," ujar Dosen Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Suharno SE MSI Jumat (22/5/2015).
Giyatmo,warga Desa Kutosari Kebumen, terbukti melakukan tindak kejahatan penipuan dan pencucian uang milik Hidayat, warga Kabupaten Banyumas sebesar Rp 23,25 miliar. Uang yang awalnya dimaksudkan korban untuk investasi, oleh Giyatmo, malah dipergunakan untuk membayar utangnya kepada PD BPR BKK Kebumen yang sebesar Rp 13 miliar.
Kejadian pada tahun 2011 itu juga melibatkan pelaku lain, Dian Agus Risqianto, warga Desa/Kecamatan Pejagoan. Keduanya sudah divonis bersalah dan saat ini mendekam di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kebumen.
Selain itu, Hakim juga memerintahkan Jaksa untuk menyita uang sejumlah Rp 8,7 miliar uang milik PD BPR BKK Kebumen yang saat ini berada di rekening bank Mandiri. Sebab, uang tersebut terbukti merupakan uang hasil kejahatan Giyatmo dan Agus Risqianto. Nantinya, uang sebesar Rp 8,7 miliar itu akan dikembalikan kepada Hidayat selaku pemilik uang.
Untuk diketahui, PD BPR BKK Kebumen merupakan bank milik pemerintah, dalam hal ini Pemkab Kebumen dan pemprov Jawa Tengah selaku pemgang saham. "Bank pasti akan terganggu karena jumlah kredit macet akan bertambah sebesar tunggakan (bertambah Rp 8,7 miliar,red) yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank, "jelas Suharno kemarin.
" Disisi lain, untuk menjaga tingkat kesehatan bank akibat penambahan kredit macet tersebut, maka bank harus menambah cadangan yang berarti kapasitas penyaluran kreditnya akan tertahan," imbuhnya.
Lalu, bagaimana kemungkinan Bank PD BPR BKK kebumen kolaps? Menurut Suharno, masih terlalu dini untuk menyimpulkan hal tersebut. Namun, kemungkinan itu bisa saja terjadi bila kondisi keuangan PD BPR BKK Kebumen tidak dalam kondisi sehat. "Mengetahui sehat tidaknya sebuah bank kewenangannya ada pada otoritas jasa Keuangan (OJK/ lembaga pengawas bank). Penentuan sehat tidaknya bank ada kriteria sendiri," katanya.
Suharno justru mempertanyakan pencairan uang Rp 13 miliar kepada Giyatmo. Apalagi, pencairan itu mengalir ke satu rekening atas nama Giyatmo. Pencairan itu melebihi batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Selain itu, fakta bahwa pencairan itu tanpa melalui proses verifikasi jelas menyalahi aturan. "Kalau dulu bermasalah kok tetap bisa cair ke A (Giyatmo). Barangkali ada orang dalam BPR juga yang bermain dalam proses pencairan. Yang ikut memproses mencairkan harus tanggung jawab," katanya.
Namun untuk mengetahui siapa saja yang harus bertanggung jawab, menurut Suharno, kewenangan ada di tingkat penyidik. Untuk menyimpulkan harus melihat fakta dan keterangan saksii. "Pendapat awal saya, pencairan kredit mestinya dilakukan dengan memperhatikan ketentuan internal bank maupun ketentuan yang dibuat oleh regulator. Selain itu pemberian kredit mestinya juga memperhatikan kemampuan debitur dan ketersediaan dana yang dimiliki bank agar tidak mengganggu likuiditas bank," kata Suharno lagi.
Selain faktor keterlibatan orang dalam PD BPR BKK Kebumen, faktor lemahnya pengawasan juga bisa menjadi penyebab. "Apakah dulu tidak ada pengawasan dari BI atau saat ini OJK. Kalau bermasalah tentu dari dulu dah ada temuan. Kalau tidak ada penemuan, berarti BI/OJK juga lemah dalam pengawasan," katanya. Sementara itu, salah satu Dewan pengawas PD BPR BKK Kebumen Wahyu Siswanti SE mengatakan belum bisa memberikan keterangan detail mengenai kejadian iu.
Saat ini, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Pemprov Jateng untuk menyikapi persoalan itu. “ Saat ini saya sedang berkoordinasi dengan pemprov Jateng,” katanya.
Dia mengatakan, hingga kemarin, belum ada penyitaan uang Rp 8,7 miliar dimaksud. “Belum (belum ada penyitaan dari kejaksaaan),” kata perempuan yang sehari-hari Kabag Perekonomian Setda Kabupaten Kebumen tersebut.