KEBUMEN (Kebumen Ekspres)-Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kebumen, Supriyanto SH MH menyatakan pihaknya tetap akan melakukan penyitaan uang sebesar Rp 8, 7 miliar milik PD BPR BKK Kebumen. Meski ada keberatan dari Pemkab Kebumen dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah ( (Pemprov Jateng) ), penyitaan itu tetap dilakukan dan tinggal menunggu waktu.
"Ya. Tetap akan kita eksekusi dalam waktu dekat. Secepatnya," ujar Supriyanto, Selasa (26/5/2015), kemarin.
Pengadilan Negeri (PN) Kebumen memerintahkan Kejaksaan Negeri menyita uang milik PD BPR BKK Kebumen sebesar Rp 8,7 miliar. Sebab, uang yang saat ini berada di Bank Mandiri cabang Kebumen tersebut merupakan hasil kejahatan dua terpidana tindak pidana pencucian uang (TPPU) Dian Agus Risqianto warga Desa/Kecamatan Pejagoan dan Giyatmo, warga Desa Kutosari Kecamatan Kebumen.
Keputusan menyita uang milik PD BPR BKK Kebumen itu sudah memiliki kekuatan hukum tetap (incracht) setelah dua terpidana tidak mengajukan banding sejak divonis pada awal Mei lalu. Meski demikian, eksekusi penyitaan dana itu masih alot. Hingga, Selasa (26/5) rekening antar bank aktiva PD BPR BKK yang ditempatkan di Bank Mandiri Cabang Kebumen senilai Rp 8.771.928.594 masih belum dilakukan penyitaan.
Menanggapi putusan itu, pihak PD BPR BKK Kebumen menyatakan keberatan atas penyitaan terhadap rekening antar bank aktiva PD BPR BKK yang ditempatkan di Bank Mandiri Cabang Kebumen itu. Bahkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyampaikan surat keberatan kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Kebumen dan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Surat tertanggal 11 Mei 2015, Gubernur Ganjar Pranowo meminta agar Kejaksaan Negeri Kebumen dan JPU tidak melakukan penyitaan terhadap rekening antar bank aktiva PD BPR BKK Kebumen di Bank Mandiri Cabang Kebumen. Surat keberatan tersebut ditembuskan kepada antara lain Kejaksaan Agung RI, Menteri Keuangan RI, Jampidum Kejagung, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) RI.
Ada "perlawanan" dari Pemkab Kebumen dan Pemprov Jawa Tengah itu, ditegaskan Supriyanto, tidak memengaruhi jajarannya. Korps Adhyaksa tetap berpedoman pada keputusan majelis hakim PN Kebumen. "Tidak. Tidak ada itu. Saat ini kita masih menunggu petunjuk dari pimpinan (Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung). Bila ada instruksi, eksekusi langsung kita lakukan," tegasnya.
Peristiwa ini bermula saat Hidayat, warga Kabupaten Banyumas melaporkan ke Polda Jawa Tengah telah menjadi korban penipuan investasi bodong Dian Agus Risqianto dan Giyatmo. Pada kejadian tahun 2011 itu, Hidayat pengusaha properti dan mantan pengusaha jamu itu dirugikan Rp 23,25 miliar. PD BPR BKK Kebumen terseret dalam kasus ini setelah uang milik Hidayat digunakan Giyatmo untuk membayar utangnya kepada PD BPR BKK Kebumen sebesar Rp 13 miliar.
Kemudian diungkap di persidangan, persetujuan dan pencairan uang Rp 13 miliar oleh PD BPR BKK Kebumen kepada Giyatmo bermasalah. Selain karena melebihi batas maksimum pemberian kredit (BMPK) dan jumlah agunan tidak memenuhi syarat, pencairan itu mengalir ke satu rekening atas nama Giyatmo. Parahnya, uang itu cair terlebih dahulu bahkan sebelum proses verifikasi.
Belum dieksekusinya putusan PN Kebumen membuat investor sekaligus korban tindak kejahatan pencucian uang, Hidayat mengaku kecewa dengan perkembangan perkara yang menimpa dirinya itu.
Hidayat yang sudah dinyatakan sebagai pemilik Rp 8,7 miliar itupun meminta, tidak ada intervensi dari pihak manapun dalam perkara ini."Saya menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. Namun kalau boleh saya jujur, tentu saya kecewa sekali," ujar Hidayat dihubungi via ponselnya kemarin (27/5/2015).
Kekecewaan itu, kata Hidayat, setelah melihat perkembangan perkara tersebut yang saat ini terkesan jalan ditempat. Salah satunya soal belum disitanya Rp 8,7 miliar uang di PD BPR BKK Kebumen yang menjadi haknya. Apalagi, dengan pernyataan dari PD BPR BKK Kebumen yang keberatan dengan keputusan vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kebumen yang memerintahkan pihak kejaksaan untuk menyita uang Rp 8,7 miliar. Ditambah, dengan adanya surat keberatan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah melalui Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo makin membuatnya kecewa.
Perintah penyitaan Rp 8,7 miliar yang sudah ditetapkan awal Mei tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (incracht). Artinya, tetap harus dilaksanakan. Fakta bahwa hingga saat ini eksekusi belum dilaksanakan pun menjadi pertanyaan. Apalagi, bila benar bahwa alotnya pelaksanaan itu karena ada intervensi dari pihak-pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan adanya keputusan itu. Bila itu benar dan memang ada pihak-pihak melakukan intervensi, kata Hidayat, sama saja dengan melawan negara. Atau, dalam hal ini, tatanan hukum di Indonesia. "Keputusan penyitaan Rp 8,7 miliar itu adalah keputusan lembaga hukum di Indonesia dan bukan keputusan seorang Hidayat. Bila ada yang melawan keputusan itu artinya bukan melawan Hidayat namun negara," ujarnya.
Sebagai individu, Hidayat mengungkapkan tidak bisa memengaruhi proses mau pun keputusan hukum. Namun demikian, ia meminta tidak ada pihak lain yang mengintervensi proses hukum yang berlangsung. Adanya keberatan dari PD BPR BKK Kebumen ditambah surat keberatan dari Gubernur Jawa Tengah, dinilainya jelas-jelas sebuah intervensi.
Hidayat lantas meminta, hukum ditegakkan seadil-adilnya. Mengingat dalam perkara ini, ia adalah korban. Apalagi, dia merasa tidak memusuhi siapa pun, baik individu apalagi, pemerintah. Juga Pemkab Kebumen dan Pemprov Jawa Tengah. Hidayat mengaku hanya ingin mendapatkan kembali haknya dan sama sekali tidak berkeinginan merugikan atau melawan pihak manapun.
Hidayat juga mengaku mengapresiasi langkah PD BPR BKK Kebumen yang akan menempuh jalur hukum terkait penyitaan Rp 8,7 miliar. Namun demikian, upaya itu tidak boleh mengganggu keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa uang Rp 8,7 miliar itu adalah haknya. Dia pun berharap, PD BPR BKK Kebumen dapat terus berbenah dan semakin meningkatkan kinerja agar masyarakat dapat terlayani dengan baik. "Saya justru mengajak semua pihak dalam hal ini untuk mencari solusi terbaik. Jangan sampai ada pihak yang dikorbankan, "tegasnya.(cah)
"Ya. Tetap akan kita eksekusi dalam waktu dekat. Secepatnya," ujar Supriyanto, Selasa (26/5/2015), kemarin.
Pengadilan Negeri (PN) Kebumen memerintahkan Kejaksaan Negeri menyita uang milik PD BPR BKK Kebumen sebesar Rp 8,7 miliar. Sebab, uang yang saat ini berada di Bank Mandiri cabang Kebumen tersebut merupakan hasil kejahatan dua terpidana tindak pidana pencucian uang (TPPU) Dian Agus Risqianto warga Desa/Kecamatan Pejagoan dan Giyatmo, warga Desa Kutosari Kecamatan Kebumen.
Keputusan menyita uang milik PD BPR BKK Kebumen itu sudah memiliki kekuatan hukum tetap (incracht) setelah dua terpidana tidak mengajukan banding sejak divonis pada awal Mei lalu. Meski demikian, eksekusi penyitaan dana itu masih alot. Hingga, Selasa (26/5) rekening antar bank aktiva PD BPR BKK yang ditempatkan di Bank Mandiri Cabang Kebumen senilai Rp 8.771.928.594 masih belum dilakukan penyitaan.
Menanggapi putusan itu, pihak PD BPR BKK Kebumen menyatakan keberatan atas penyitaan terhadap rekening antar bank aktiva PD BPR BKK yang ditempatkan di Bank Mandiri Cabang Kebumen itu. Bahkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyampaikan surat keberatan kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Kebumen dan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Surat tertanggal 11 Mei 2015, Gubernur Ganjar Pranowo meminta agar Kejaksaan Negeri Kebumen dan JPU tidak melakukan penyitaan terhadap rekening antar bank aktiva PD BPR BKK Kebumen di Bank Mandiri Cabang Kebumen. Surat keberatan tersebut ditembuskan kepada antara lain Kejaksaan Agung RI, Menteri Keuangan RI, Jampidum Kejagung, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) RI.
Ada "perlawanan" dari Pemkab Kebumen dan Pemprov Jawa Tengah itu, ditegaskan Supriyanto, tidak memengaruhi jajarannya. Korps Adhyaksa tetap berpedoman pada keputusan majelis hakim PN Kebumen. "Tidak. Tidak ada itu. Saat ini kita masih menunggu petunjuk dari pimpinan (Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung). Bila ada instruksi, eksekusi langsung kita lakukan," tegasnya.
Peristiwa ini bermula saat Hidayat, warga Kabupaten Banyumas melaporkan ke Polda Jawa Tengah telah menjadi korban penipuan investasi bodong Dian Agus Risqianto dan Giyatmo. Pada kejadian tahun 2011 itu, Hidayat pengusaha properti dan mantan pengusaha jamu itu dirugikan Rp 23,25 miliar. PD BPR BKK Kebumen terseret dalam kasus ini setelah uang milik Hidayat digunakan Giyatmo untuk membayar utangnya kepada PD BPR BKK Kebumen sebesar Rp 13 miliar.
Kemudian diungkap di persidangan, persetujuan dan pencairan uang Rp 13 miliar oleh PD BPR BKK Kebumen kepada Giyatmo bermasalah. Selain karena melebihi batas maksimum pemberian kredit (BMPK) dan jumlah agunan tidak memenuhi syarat, pencairan itu mengalir ke satu rekening atas nama Giyatmo. Parahnya, uang itu cair terlebih dahulu bahkan sebelum proses verifikasi.
Belum dieksekusinya putusan PN Kebumen membuat investor sekaligus korban tindak kejahatan pencucian uang, Hidayat mengaku kecewa dengan perkembangan perkara yang menimpa dirinya itu.
Hidayat yang sudah dinyatakan sebagai pemilik Rp 8,7 miliar itupun meminta, tidak ada intervensi dari pihak manapun dalam perkara ini."Saya menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. Namun kalau boleh saya jujur, tentu saya kecewa sekali," ujar Hidayat dihubungi via ponselnya kemarin (27/5/2015).
Kekecewaan itu, kata Hidayat, setelah melihat perkembangan perkara tersebut yang saat ini terkesan jalan ditempat. Salah satunya soal belum disitanya Rp 8,7 miliar uang di PD BPR BKK Kebumen yang menjadi haknya. Apalagi, dengan pernyataan dari PD BPR BKK Kebumen yang keberatan dengan keputusan vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kebumen yang memerintahkan pihak kejaksaan untuk menyita uang Rp 8,7 miliar. Ditambah, dengan adanya surat keberatan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah melalui Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo makin membuatnya kecewa.
Perintah penyitaan Rp 8,7 miliar yang sudah ditetapkan awal Mei tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (incracht). Artinya, tetap harus dilaksanakan. Fakta bahwa hingga saat ini eksekusi belum dilaksanakan pun menjadi pertanyaan. Apalagi, bila benar bahwa alotnya pelaksanaan itu karena ada intervensi dari pihak-pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan adanya keputusan itu. Bila itu benar dan memang ada pihak-pihak melakukan intervensi, kata Hidayat, sama saja dengan melawan negara. Atau, dalam hal ini, tatanan hukum di Indonesia. "Keputusan penyitaan Rp 8,7 miliar itu adalah keputusan lembaga hukum di Indonesia dan bukan keputusan seorang Hidayat. Bila ada yang melawan keputusan itu artinya bukan melawan Hidayat namun negara," ujarnya.
Sebagai individu, Hidayat mengungkapkan tidak bisa memengaruhi proses mau pun keputusan hukum. Namun demikian, ia meminta tidak ada pihak lain yang mengintervensi proses hukum yang berlangsung. Adanya keberatan dari PD BPR BKK Kebumen ditambah surat keberatan dari Gubernur Jawa Tengah, dinilainya jelas-jelas sebuah intervensi.
Hidayat lantas meminta, hukum ditegakkan seadil-adilnya. Mengingat dalam perkara ini, ia adalah korban. Apalagi, dia merasa tidak memusuhi siapa pun, baik individu apalagi, pemerintah. Juga Pemkab Kebumen dan Pemprov Jawa Tengah. Hidayat mengaku hanya ingin mendapatkan kembali haknya dan sama sekali tidak berkeinginan merugikan atau melawan pihak manapun.
Hidayat juga mengaku mengapresiasi langkah PD BPR BKK Kebumen yang akan menempuh jalur hukum terkait penyitaan Rp 8,7 miliar. Namun demikian, upaya itu tidak boleh mengganggu keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa uang Rp 8,7 miliar itu adalah haknya. Dia pun berharap, PD BPR BKK Kebumen dapat terus berbenah dan semakin meningkatkan kinerja agar masyarakat dapat terlayani dengan baik. "Saya justru mengajak semua pihak dalam hal ini untuk mencari solusi terbaik. Jangan sampai ada pihak yang dikorbankan, "tegasnya.(cah)