ISTIMEWA |
Belum berimbangnya lapangan kerja yang tersedia di Indonesia dengan jumlah pencari kerja, menjadikan bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan salah satu pilihan yang diambil para pencari kerja. Salah tujuan para TKI adalah Hong Kong, sebuah satu kota di negeri Cina (Tiongkok) yang perkembangannya cukup ekspansif dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi (sekitar 7 juta jiwa pada lahan seluas 1,104 km2 ). Sejak tahun 1984 Hong Kong menjadi bagian dari Republik Rakyat Tiongkok dan menjadi Daerah Administratif Khusus pertama di Tiongkok melalui asas "satu negara, dua sistem".
Di tahun 2014, Hong Kong menempati posisi kelima pada Indeks Kota Global 2014 setelah New York, London, Tokyo and Paris. Hong Kong juga memiliki pendapatan per kapita yang tinggi dan merupakan pusat keuangan ketiga terpenting setelah New York dan London. Ekonomi yang berbasis jasa, dicirikan dengan pajak rendah dan perdagangan bebas, dollar Hong Kong merupakan mata uang paling banyak diperdagangkan kedelapan di dunia.
Pengiriman TKI sektor domestik untuk bekerja di Hong Kong dimulai sejak 1993 dengan jumlah saat itu mencapai 6.100 orang. Data dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong, sampai Oktober 2012, jumlah TKI tercatat 150.375 orang, mayoritas perempuan (99,9%). Sebagian besar bekerja sebagai penatalaksana rumah tangga. Yang berasal dari Kabupaten Kebumen diperkirakan sekitar 500-an orang. Selain itu KJRI Hongkong sampai saat ini mencatat ada 239 agen resmi penyalur TKI di Hongkong.
Bagi TKI baru, yang belum pernah bepergian jauh, apalagi sampai ke luar negeri, tinggal di Hong Kong sesuai kontrak kerja selama dua tahun, pasti menghadirkan suasana kehidupan yang jauh berbeda dengan di daerah asalnya. Istilah kerennya cultural shock (keterkejutan budaya). Bisa saja mereka benar-benar hidup tanpa menginjak tanah, karena tinggal di apartemen lantai atas. Jika tugasnya mengasuh atau menuggui anak balita, sepanjang hari akan tinggal di apartemen terus. Saat libur pun belum tentu sempat keluar. Keadaan ini sangat bertolak belakang jika sebelumnya tinggal di desa, hampir setiap hari bisa bertandang ke rumah tetangga dan kegiatan di luar rumah lainnya.
Kebiasaan harian juga berbeda jauh. Di Hong Kong umumnya orang makan nasi hanya sekali dalam sehari, yaitu di malam hari. Pagi mereka makan roti sementara siangnya makan mie. Umumnya orang Indonesia, kalau belum makan nasi akan merasa belum makan, sehingga jika mengikuti kebiasaan orang Hong Kong, akan menyebut makannya sehari hanya sekali. Dari jenis makanan tidak begitu masalah. Makanan Indonesia atau produk Indonesia banyak ditemui di Hong Kong, hanya harganya lebih tinggi. Tahu isi yang kalau di Kebumen harga dua ribu rupiah saja mungkin sudah dinilai mahal, di Hong Kong harganya bisa mencapai enam dollar Hong Kong, atau sekitar sepuluh ribu rupiah lebih (1 dollar Hong Kong sekitar Rp1.700-an).
Perbedaan menyolok lainnya pada kebiasaan mandi. Orang Hong Kong hanya mandi sekali sehari saat mau tidur, karena air sudah mahal. Mau tidak mau para TKI mesti mengikuti kebiasaan tersebut. Beruntung tidak mesti keluar rumah, sehingga tidak terlalu risih tidak mandi di pagi hari sebagaimana kebiasaan di kampung.
Sekalipun demikian, perbedaan kebiasaan hidup sehari-hari mungkin hanya terkait persoalan beradaptasi dengan lingkungan, berbeda masalahnya kalau sudah menyangkut kewajiban agama. Masyarakat Hong Kong banyak penganut Budha atau Kristen, tapi sebagaimana halnya dengan orang Islam di Indonesia, sepertinya mereka lebih banyak yang abangan. Bagi penatalaksana rumah tangga, kewajiban shalat lima waktu umumnya masih bisa dilaksanakan, karena hanya memerlukan waktu yang relatif singkat. Apalagi perempuan tidak memiliki kewajiban shalat Jum’at, sehingga praktis tidak ada kewajiban yang harus dilaksanakan dengan keluar tempat tinggal majikan.
Yang sedikit bisa menjadi masalah terkait dengan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Karena tidak memahami masalah puasa, mungkin dianggap seperti mogok makan, para majikan mengkhawatirkan penatalaksana rumah tangganya meninggal karena berpuasa. Bisa merepotkan, dalam istilah Kantonis (bahasa sehari-hari orang Hong Kong) mereka menyebutnya mafan. Namun rasa penghargaan terhadap kewajiban orang Islam, membuat umumnya para majikan mengijinkan pekerjanya berpuasa.
Karena mayoritas TKI yang bekerja di Hong Kong adalah perempuan, baik berstatus lajang maupun berkeluarga, semestinya mereka memiliki kerabat di daerahnya. Mereka bekerja tentunya tidak hanya untuk diri mereka sendiri. Penghasilannya sebagian pasti disisihkan untuk membantu keluarganya. Sehingga sudah semestinya juga ada timbal balik dari keluarganya berupa perhatian. Setidaknya di bulan Ramadhan seperti sekarang ini, keluarganya yang di Indonesia mengingatkan untuk berpuasa dan meningkatkan amal ibadah lainnya.
Persoalan yang tampaknya sepele, bagi yang belum merasakan hidup jauh dari sanak saudara, apalagi di negeri orang dan berbeda agama pula. Tapi berpuasa adalah ibadah yang rahasia, hanya diketahui oleh diri sendiri. Yang masih di tanah air saja kabarnya mulai banyak yang hanya berpura-pura berpuasa, apalagi yang jauh dari tanah air dan jarang berjumpa pula dengan saudara-saudara sebangsa. Padahal niat semula merantau ke manca negara adalah bekerja mencari rezeki untuk menepati salah satu kewajiban agama. Apa jadinya kalau justru semakin meninggalkan kewajiban agamanya.
Bagi masyarakat Kabupaten Kebumen, yang memiliki saudara yang bekerja di Hong Kong, di bagian negeri Cina lainnya, Taiwan, Korea, Eropa atau Amerika, bahkan yang hanya sekadar bekerja di luar kota, sudah sepatutnya di bulan Ramadhan ini menghubungi mereka. Sekadar mengingatkan kewajiban berpuasa dan meningkatkan ibadahnya, agar rezeki yang didapat dengan berpisah jauh dari keluarga, bisa berkah dan membawa kebahagiaan keluarga, baik di dunia maupun akhirat.
Dengan cara seperti itu mungkin bisa ikut mengurangi angka perceraian di Kebumen, yang kabarnya meningkat setelah lebaran. Banyak gugatan cerai dari pihak istri, terutama istri yang memiliki penghasilan sendiri atau malah lebih besar dari penghasilan suami. Misalnya mereka yang merantau untuk bekerja, meninggalkan anak dan suaminya di Kebumen. Tentunya bukan tujuan emansipasi, ketika istri bisa dan boleh bekerja namun keutuhan keluarga malah tak bisa dipertahankan.
Mengingatkan akan kewajiban merupakan tindakan yang tampaknya sepele, tapi sesungguhnya memiliki pengaruh luar biasa. Bukan semata karena asap dapur yang tetap mengepul menjadikan keharmonisan keluarga tetap terpelihara. Kemauan untuk saling menjaga dan mempertahankan langkah tetap di jalan yang benar, membuat semua masalah dalam keluarga bisa diselesaikan dengan baik. Selamat menjalankan ibadah puasa bagi masyarakat Kebumen. Tetaplah semangat bekerja meski sedang berpuasa.(*)
Oleh : Anita Rokhmah
Penulis adalah TKI asal Kebumen yang bekerja di Hongkong.