Kamis, 02 Juli 2015

Pesawat Tua Ibarat Peti Mati Terbang

JK Janji Remajakan Alutsista
JPNN
JAKARTA - Keterbatasan anggaran selalu menjadi masalah klasik dalam program peremajaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Meski demikian, Pengamat Militer Beni Sukadis mengatakan, pemerintah harus sadar jika sudah terlalu banyak kecelakaan akibat alutsista tua masih digunakan, terutama moda transportasi pesawat. "Pesawat tua itu ibarat peti mati terbang, karena tingginya risiko kerusakan teknis," ujarnya kemarin (1/7/2015).

Menurut Beni, pemerintah tidak bisa hanya mengucapkan bela sungkawa terhadap para tentara yang gugur dalam kecelakaan, namun di sisi lain masih mengizinkan operasional pesawat-pesawat yang usianya sudah separo abad. "Pesawat umur segitu mestinya sudah dikandangkan," kata direktur eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia tersebut.

Apalagi, lanjut Beni, akibat embargo oleh Amerika Serikat (AS) pada 1999 - 2005, banyak alutsista tua di Indonesia yang tidak mendapat perawatan layak. Bahkan, banyak diantaranya yang dikanibal alias diganti dengan suku cadang (spare parts) yang tidak orisinil. "Jadi, kelaikan terbangnya memang tidak prima," ucapnya.
Beni mengatakan, pada 2013 lalu, beberapa pesawat Hercules milik Indonesia sudah diretrovit (ganti mesin maupun servis besar) ke Amerika Serikat (AS). Namun, masih ada sekitar 10 pesawat yang belum diretrovit, sehingga kondisinya kurang fit dan mestinya sudah tidak dioperasionalkan. "Tapi menurut saya, daripada diretrovit dan keluar banyak biaya juga, lebih baik Indonesia beli pesawat baru," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla memastikan jika peremajaan alutsista menjadi prioritas pemerintah, terutama untuk pesawat angkut Hercules yang sudah tua. "Pasti nanti diganti, kita sesuaikan dengan anggaran," katanya.

Menurut JK, pemerintah juga menekankan agar perawatan pesawat betul-betul diperhatikan. Dia menyebut, mesin maupun sebagian spare part Hercules masih ada yang baru. Karena itu, perawatan harus diprioritaskan agar pesawat yang ada masih bisa digunakan sementara waktu. "Sebab, umur teknis pesawat itu sangat tergantung perawatan," ujarnya.

Di sisi lain, kloter pertama pengembalian jenazah korban kecelakaan Hercules kepada keluarga berlangsung tadi malam. 15 korban dari prajurit dan seorang korban sipil tiba di lapangan udara (Lanud) Halim Perdana Kusuma, Jakarta menggunakan dua pesawat CN295 dan satu pesawat Boeing 737. Upacara penghormatan terhadap belasan korban tersebut dipimpin langsung Presiden Jokowi.
    Dalam sambutannya, Jokowi meminta semua masyarakat Indonesia untuk mendoakan seluruh korban kecelakaan boeing. "Semoga semuanya diterima di sisi Allah, dan diampuni segala dosa-dosanya," kata mantan Gubernur Jakarta tersebut.

    Sementara itu, Kadispenau, Dwi bagarmanto mengatakan evakuasi terhadap korban sudah selesai dilakukan. Hanya saja, belum semua jenazah yang berhasil dievakuasi dapat diidentifikasi identitasnya. "Tinggal puing-puingnya saja yang belum dirapihkan sepenuhnya," ujar Dwi.

    Untuk mempermudah proses identifikasi, pihak TNI mengumpulkan semua korban di Rumah sakit Adam malik Medan. Dari semua korban dievakuasi, hanya 90 jenazah saja yang masih utuh. Sedangkan sisanya sudah terpotong-potong bentuk tubuhnya. Oleh karenanya, pihaknya mengutamakan prajurit dalam identifikasi. "Kalau prajurit masih agak mudah, bisa dilihat pakaian dinasnya, yang sipil ini sulit dikenali," imbuhnya.

  Sementara terkait penyebab kecelakaan, TNI masih belum bisa memastikan penyebabnya. Hanya saja, dugaan terkuat saat ini adalah kerusakan mesin. Pasalnya, setelah take off dua menit, Pilot sandi meminta untuk return to base. "Pilot meminta landing itu kemungkinan dia tahu ada yang salah dari pesawat yang dikendarainya." Untuk memastikan, TNI akan melanjutkan investigasi. Bahkan jika tidak ditemukan, TNI akan menghubungi pabrik secara langsung. Untuk menghindari peristiwa serupa, KSAU memutuskan untuk menghentikan penggunaan pesawat Hercules c130.

  Dia mencontohkan saat akhir 90-an dimana Indonesia telah berhasil membuat sendiri pesawat sebagai alat angkut militer. Meski belum mampu membuat sekelas Hercules C130, tapi saat itu Indonesia bisa memproduksi pesawat sekelas N-2130, CN-235 dan N-250. "Saat itu CN-235 kan sudah diproduksi versi militernya," ujar pengajar pasca sarjana di Universitas Pertahanan itu.

Haryo yakin putra-putra terbaik Indonesia bisa melakukan hal serupa jika ada dorongan kuat dari pemerintah. Dia mencontohkan bagaimana Indonesia mampu memodifikasi Hercules C-130 yang jatuh kemarin sebagai pesawat yang memiliki fungsi airborne refueling (pengisi bahan bakar pesawat jet).
   
Saat ini ada dua Hercules C-130 yang berhasil dimodifikasi sebagai pengisi bahan bakar pesawat jet. Modifikasi keduanya dilakukan di dalam negeri. "Tapi ya itu, sebagus-bagusnya modifikasi dan maintance, yang perlu diingat Hercules itu sudah terlalu tua. Penurunan kinerja pasti ada, itu yang tak bisa diabaikan," katanya.
   
Haryo mengatakan peremajaan alutsista memang harga mati. Pemerintah akan mengeluarkan biaya yang lebih besar jika peremajaan tak segera dilakukan. "Kita punya cost yang lebih besar kalau peremajaan diabaikan. Yakni, mendidik man behind the gun. Jangan sampai kita kembali kehilangan perwira-perwira terbaik karena faktor usia alutsista," jelasnya.

Meski peremajaan mendesak, namun Haryo berharap pemerintah, khususunya Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) menjaga sinergi dan keseimbangan antara dinamika yang ada dan rencana jangka panjang yang dibuat.

    Sejak 2009 Indonesia sebenarnya telah memiliki rencana jangka panjang Minimum Essential Force (MEF). "Rencana jangka panjang itu harus disinergikan dengan dinamika yang ada. Jangan sampai rencana jangka panjang itu tak relevan lagi dengan teknologi, ancaman, lingkungan geopolitik, geostrategi serta anggaran kita sendiri," jelasnya.(far/dyn/gun/owi/gus/jpnn)

Berita Terbaru :