• Berita Terkini

    Selasa, 25 Agustus 2015

    Jalan Damai Bagi Urut Sewu

    URUT Sewu bergolak lagi, Sabtu (22/8/2015
    ) lalu. Kekerasan kembali terjadi, justru saat bangsa Indonesia masih dalam suasana memperingati Kemerdekaan.

    Beberapa orang menjadi korban, akibat bentrok fisik dengan aparat TNI AD. Bentrok yang tidak berimbang kalau dilihat dari sudut peralatan dan kemampuan personil.
     Sehingga polisi juga tak kuasa menengahi. Dua di antara korban adalah kepala desa (kades), yakni Widodo Sunu Nugroho (Kades Wiromartan) dan Muhlisin (Kades Petangkuran). Lebih tragis lagi ada seorang korban perempuan yang sedang hamil 4 bulan, yaitu Sri Rohani warga Desa Wiromartan.

    Tanda-tanda Urut Sewu hendak memanas lagi sebenarnya sudah dimulai saat umat Islam masih menunaikan ibadah puasa. Rabu (8/7) massa petani Urut Sewu bersama sejumlah elemen masyarakat yang mendatangi kantor DPRD Kabupaten Kebumen mendapat penjagaan ketat aparat TNI AD yang bersenjata pentungan dan dipimpin langsung oleh Komandan Kodim 0709 Kebumen Letkol Inf Putra Widyawinaya. Padahal sebagaimana lazimnya, masyarakat mendatangi DPRD tentulah hendak beraudiensi dengan para wakilnya, tak perlu dijaga tentara.

    Perbedaan persepsi terjadi di sini. Massa petani Urut Sewu menganggap penjagaan aparat TNI AD sebagai bentuk intimidasi. Sementara menurut Putra Widyawinaya, hanya untuk mengamankan dari orang-orang ketiga yang mencoba memanfaatkan situasi ini. Terlebih terdapat dua kubu dalam aksi tersebut, yaitu antara kubu yang pro terhadap pemagaran dan kubu yang menolak pemagaran lahan pesisir Urut Sewu.


    Situasi ini mengagetkan Koordinator Urut Sewu Bersatu (USB), Widodo Sunu Nugroho, sebab menurutnya pihaknyalah yang mengajukan permohonan audiensi dengan anggota DPRD Kebumen. Mengapa ada pihak lain yang ikut audiensi, apalagi dengan menyuarakan aspirasi berbeda?

    Audiensi sendiri tak memberikan hasil memuaskan. Permintaan massa petani Urut Sewu agar DPRD Kabupaten Kebumen membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelesaikan konflik Urut Sewu, ditolak Komisi A DPRD Kabupaten Kebumen. Menurut ketuanya, Yudi Tri Hartanto, konflik Urut Sewu terkait dengan kebijakan Pemerintah Pusat, sehingga tugas Komisi A adalah memfasilitasi konsultasi dengan Pemerintah Pusat dan Badan Pertahanan Nasional. Permintaan jangka pendek agar pemagaran dihentikan juga bukan kewenangan DPRD untuk meluluskan.

    Di lain pihak, menurut Kepala Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD Setrojenar, Mayor Inf Kusmayadi, program pemagaran lahan di Urut Sewu merupakan program nasional dan dari Pemerintah Pusat sehingga tak bisa dihentikan di tengah jalan. Pagar yang dibangun mengitari area kawasan tembak TNI AD adalah untuk mengamankan aset negara dan menjaga perbatasan. Sejumlah desa lain yang termasuk dalam area pembangunan pagar juga tidak mempermasalahkan karena tidak mengganggu aktivitas warga bercocok tanam dan mengolah lahan.

    Apa yang dikhawatirkan kemudian terjadi. Saat suasana lebaran masih terasa, sejumlah alat berat, beberapa truk batu dan sejumlah satuan TNI AD didatangkan di Desa Lembupurwo, Kecamatan Mirit, informasinya untuk latihan militer. Hal ini memicu reaksi warga yang masih menolak pemagaran. Sekitar 200 warga masyarakat, khususnya warga desa Lembupurwo, berkumpul di lokasi untuk menolak pemagaran. Aksi yang semula berlangsung damai menjadi memanas karena pasukan TNI terus didatangkan dan bertambah jumlahnya di lokasi tersebut. Aksi dorong mendorong tak terelakkan menyebabkan seorang warga terluka.

    Unjuk rasa warga mereda, namun pemagaran tetap berjalan terus. Untuk tahun ini yang merupakan pemagaran tahap II sepanjang delapan kilometer, melintasi lima desa, yakni Ayamputih (Buluspesantren), Entak dan Petangkuran (Ambal), serta Lembupurwo dan Wiromartan (Mirit). Pemagarannya sendiri direncanakan selama tiga tahap, total sepanjang 23 km dan lebar 500 meter, sesuai daerah latihan TNI AD.

    Meredanya aksi massa Urut Sewu rupanya bukan berarti mereka sudah bisa menerima pemagaran yang dilakukan TNI AD. Terbukti unjuk rasa kembali terjadi Sabtu (22/8) lalu dan harus berakhir dengan bentrok fisik yang menyebabkan  sepuluh orang pengunjuk rasa terluka dilarikan ke Puskesmas Kecamatan Mirit.

    Pendaftaran Tanah

    Patut diapresiasi kehadiran dua orang kades yakni Widodo Sunu Nugroho (Kades Wiromartan) dan Muhlisin (Kades Petangkuran) mendampingi warganya yang melakukan unjuk rasa, bahkan kemudian ikut menjadi korban kekerasan. Kehadiran mereka bersama warga yang belum bisa menerima kegiatan pemagaran yang dilakukan TNI AD, memberi angin segar bagi masyarakat yang merindukan sosok pemimpin yang benar-benar mengayomi mereka. Akan semakin bijak langkah kedua kades tersebut, bila mau memfasilitasi warganya melakukan pendaftaran tanah sampai terbitnya sertifikat hak atas tanah.

    Salah satu pemicu konflik kepemilikan lahan yang berujung pada konflik penggunaannya sampai melahirkan konflik fisik adalah bukti kepemilikan. Sampai saat ini bukti kepemilikan lahan umumnya masih berupa girik (letter C) dan belum berupa sertifikat. Padahal sesuai UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) hak milik atas tanah harus dibuktikan dengan sertifikat. Sehingga semestinya mereka yang hanya memiliki girik sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, mesti melakukan pendaftaran agar nantinya bisa dilakukan penerbitan sertifikat (Pasal 12 ayat 1).


    Buku letter C sebenarnya hanya merupakan dasar catatan penarikan pajak. Keterangan mengenai tanah yang ada di dalamnya belum lengkap dan cara pencatatannya tidak begitu teliti sehingga masih memungkinkan terjadi permasalahan di kemudian hari. Kutipan letter C ini terdapat di kantor desa/kelurahan, sedangkan induk dari kutipan letter C terdapat di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam Surat Pemberitahuan Pajak Tertunggak Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) juga dinyatakan kalau bukan merupakan bukti kepemilikan objek pajak. SPPT hanya menentukan bahwa atas objek pajak tersebut dibebankan hutang yang harus dibayarkan oleh subjeknya. Berbeda dengan buku tanah sebagai kumpulan arsip sertifikat tanah. Dalam arsip buku tanah tercantum secara detil mengenai tanah, baik data fisik maupun data yuridis seperti luas, batas-batas, dasar kepemilikan, data-data pemilik dan data-data lainnya.

    Situasi di kawasan Urut Sewu seperti sekarang ini, sebenarnya sudah cukup menjadi alasan untuk dilakukannya pendaftaran tanah, baik secara sistematik maupun sporadik sebagaimana diatur Pasal 13 PP Nomor 24 Tahun 1997. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri (ayat 2). Apabila suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik bisa dilakukan pendaftaran tanah secara sporadik atas permintaan pihak yang berkepentingan (ayat 3 dan 4). Karena itu ada dua alternatif yang bisa dilakukan masyarakat di kawasan Urut Sewu, pertama mengajukan permohonan melalui pihak-pihak terkait agar desa mereka dimasukkan dalam penetapan wilayah pendaftaran tanah secara sistematik. Kedua, melakukan pendaftaran tanah secara sporadik, baik secara sendiri-sendiri atau dikoordinasi kades masing-masing.

    Memprioritaskan solusi

    Pihak TNI AD semestinya juga tidak hanya memberikan alasan klise atas pelaksanaan pemagaran tersebut, yakni karena program Pemerintah Pusat maka harus dijalankan dalam situasi dan kondisi apa pun. Bagi masyarakat yang sudah sedikit memahami peraturan tentu akan mempertanyakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari pemagaran tersebut sesuai Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kebumen Nomor 6 Tahun 2008 tentang Izin Mendirikan Bangunan. Terbitnya IMB dimungkinkan bila sudah dipenuhinya persyaratan administratif antara lain status hak atas tanah dan kepemilikan bangunan (Pasal 9).

    Memang ada ketentuan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 22, yakni pengaturan tersendiri terhadap bangunan khusus, antara lain semua bangunan milik Departemen Pertahanan dan Keamanan (ayat 1 dan 2). Kalaupun pemagaran tersebut bisa dikategorikan sebagai bangunan khusus, apakah tidak memerlukan pemberitahuan kepada kades setempat, sehingga dua kades ikut mendampingi warganya unjuk rasa memprotes pemagaran?

    Hanya masyarakat dari dua desa yang berunjuk rasa, dari lima desa yang dilakukan pemagaran juga tak bisa dijadikan alasan untuk menyalahkan pengunjuk rasa. Bisa jadi di tiga desa lainnya tidak ada permasalahan yang terkait dengan status hak atas tanah sehingga tidak ada protes masyarakat atas pemagaran tersebut. Sangat membahayakan sebenarnya bila pernyataan seperti itu dikeluarkan, karena bisa memancing konflik horisontal, warga dari dua desa yang berbeda responnya terhadap pemagaran.

    Jika semua pihak memperjuangkan haknya sesuai prosedur yang ada, maka semestinya tidak perlu ada konflik, apalagi sampai bentrok fisik. Pertanyaannya sederhana, hendak menyelesaikan masalah atau malah memperuncingnya? Bagi yang terlibat konflik secara langsung mestinya bisa merumuskan kembali inti masalahnya dan langkah kongkret yang lebih efektif untuk menyelesaikannya. Setiap pernyataan dan tindakan yang dilakukan harus berorientasi pada satu hal, solusi. Nah, apakah tindakan yang sudah dilakukan semua pihak terkait selama ini sudah mengarah pada solusi? Kalau bisa menempuh jalan damai, mengapa harus menggunakan kekerasan?


    Oleh: Achmad Marzoeki
    Penulis adalah admin group facebook “Pemilihan Bupati Kebumen 2015-2020” dan “Suara Rakyat Kebumen”.


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top