MODELtata kelola kebijakan tentang desa terhitung mulai tahun 2015 akan sangat berbeda dengan model sebelumnya. UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa menjadi penanda perubahan model tersebut.
Desa yang dulu hanya dimaknai sebagai kesatuan pemerintahan terkecil yang menjalankan fungsi pemerintahan di atasnya, melalui UU Desa masyarakat mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari desa. Secara kelembagaan UU Desa tidak membedakan antara self government community (masyarakat berpemerintahan) dengan local self government (pemerintahan lokal).
Jadi, desa tidak bisa hanya dipandang dari sisi pemerintahan saja tapi juga dari sisi kemasyarakatannya. Hal ini karena, pada dasarnya secara organik, pemerintah desa dan masyarakat desa adalah entitas desa yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam mewujudkan cita-cita hidup bersama dalam satu kesatuan wilayah dan hukum yang bernama desa atau nama lainnya.
Tahun 2015 menjadi awal tahun yang menantang desa.
Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi saat ini sudah menggeber realisasi program-program prioritas implementasi UU Desa. Salah satu program yang sudah mulai direalisasikan adalah transfer fiskal dari APBN ke desa dalam bentuk Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD). Sesuai dengan ketentuannya DD dan ADD menjadi sumber penerimaan dan belanja pembangunan desa yang harus dikelola secara terencana dan partisipatif oleh pemerintah desa. Terencana berarti bahwa pembelanjaan dana pembangunan harus mendasarkan pada analisa prioritas kebutuhan masyarakat yang terukur dan sesuai dengan visi misi bersama pemerintah dan masyarakat desa. Partisipatif berarti ada pelibatan masyarakat secara adil dan terbuka dalam berbagai proses pengambilan keputusan kebijakan pembangunan desa.
Dalam rangka mendukung realisasi kebijakan nasional tentang desa utamanya terkait dengan penyaluran Dana Desa dari APBN ke desa, Kementerian Desa, Pembangun Daerah Tertinggal dan Transmigrasi khususnya Direktorat Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Ditjend PPMD) telah menyiapkan anggaran yang disalurkan melalui mekanisme dana dekonsentrasi untuk membiayai pendampingan desa dan pendamping teknis untuk mendampingi pelaksanaan UU Desa di 74.093 desa yang tersebar di 6.383 kecamatan, 434 kabupaten/kota dan 33 provinsi.
Program pendampingan desa di atas ditujukan untuk memberdayaan serta memperkuat kapasitas desa baik dari sisi pemerintahan desanya maupun sosial kemasyarakatannya. Tujuannya, agar dalam pembelanjaan Dana Desa khususnya dan APBDes pada umumnya benar-benar dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik sekaligus mendapat dukungan partisipasi masyarakat yang kuat dan kritis. Pada akhirnya, proses pemberdayaan dan pendampingan desa tersebut dapat mengantarkan desa mencapai desa yang mandiri, sejahtera dan demokratis.
Dana Desa dan ADD bukanlah inti dari misi pembaharuan UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa. Anggaran untuk desa baik yang bersumber dari APBN maupun APBD adalah bentuk dukungan dan pengakuan negara atas desa untuk mengelola rumah tangganya sendiri berdasarkan ketentuan kewenangan yang berlaku. Untuk menjamin pengelolaan keuangan desa yang baik tentu tidak hanya membutuhkan kapasitas teknokratis dan administrative aparatur pemerintah desa. Tapi juga membutuhkan peran masyarakat yang cerdas dan aktiv berdialektika di dalamnya, mulai dari tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi kebijakan pembangunan desa.
Untuk memperkuat kedua entitas desa tersebut (pemerintah desa dan masyarakat) membutuhkan kepedulian pihak-pihak yang peduli desa. Saat ini Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi tengah meluncurkan program pendampingan desa. Secara ideal, program tersebut bertujuan menghimpun para aktor peduli desa untuk menjadi bagian apa yang disebut Tania Murray Li “wali masyarakat”. wali masyarakat oleh Murray Li diterjemahkan sebagai aktor atau para pihak yang berkehendak untuk memperbaiki. Kehendak tersebut mengarah pada upaya membebaskan masyarakat dari masalah kehidupan yang melingkupinya agar mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.Informasinya, jumlah pendamping desa yang akan direkrut sebanyak 44.030 orang yang akan diturunkan ke 33 provinsi, 74.093 desa.
Pendamping Desa dan Kehendak Memperbaiki
Maraknya organisasi sosial kemasyarakatan dan partai politik yang ingin anggotanya masuk ke dalam jajaran pendamping desa di satu sisi perlu disambut baik. Barangkali mereka memiliki visi membumikan visi pembaharuan desa UU Desa. Tapi di sisi lain, menjadi pendamping tentu bukan perkara mudah. Terlebih di tengah depresiasi ekonomi secara nasional sekarang ini. Angka pertumbuhan ekonomi yang melambat dari 4,7 persen menjadi 4,67 persen dan melemahnya nilai tukar rupiah atas dolar telah menciptakan kegamangan ekonomi. Maka, pagu anggaran yang disediakan pemerintah untuk membiayai program pendamping desa tersebut menjadi magnet bagi para pencari kerja agar pendapatan rumah tangga tidak goncang. Tulisan ini tidak bermaksud mempertanyakan motivasi pragmatis para aktor yang hendak bergabung menjadi pendamping desa karena membutuhnan uang. Tapi hendak mencari piranti lunak yang penting diketahui dan dikuasai para calon pendamping desa, agar tidak terjebak pada motivasi mencari pendapatan honor yang tinggi.
Dalam kerangka pelaksanaan UU Desa, pendamping desa memegang posisi penting. Ada beberapa alasan di sini. Pertama,publik belum memahami secara komprehensif tentang visi pembaharuan desa. Hal ini disebabkan lemahnya proses sosialisasi desa oleh pemerintah dan kurangnya agency dan aktor yang mampu mendiseminasikan dan menterjemahkan posisi UU Desa dalam kerangka pembangunan nasional. Kedua, masih adanya kelemahan kapasitas pemerintah desa.Di Jawa bisa dipastikan aparatur pemerintah desa sudah bepengalaman mengoperasikan komputer sebagai bagian alat kerja administrative. Tapi bagi desa-desa di pedalaman Papua, keterampilan teknis tersebut adalah barang baru. Keterampilan ini tentu hanya satu dari sekian keterampilan yang penting untuk dikuasai. Kelemahan ini memang tidak semata-mata disebabkan oleh sumber daya manusia desa, melainkan perlakuan kebijakan pengembangan kapasitas desa yang diperankan oleh pemerintah selama ini masih rendah.Ketiga, meski di beberapa tempat telah tercipta kader-kader desa sebagai prototype masyarakat aktif.
Tapi secara umum, masyarakat dan organisasi masyarakat desa belum tumbuh menjadi komunitas aktif dan kritis sebagai mitra pemerintah desa. Ancaman dalam dunia governance seperti opportunistic behavior, rent seekers, free rider tetap akan menjadi ancaman bagi desa. Karena itu pendamping desa sebisa mungkin bisa berperan sebagai benteng pengaman kerusakan village governance dan participatory community dari ancaman-ancaman kelembagaan tersebut.
Ada beberapa diskursus yang penting menjadi perhatian para pendamping desa ke depan. Diskursus tersebut pertama penguatan penyelenggaraan layanan publik. Dalam diskursus ini, tipe layanan public yang perlu didekatkan pada masyarakat desa adalah bagaimana pemerintah desa menjalankan new public service(NPS).Prinsip dasar layanan publik tipe ini adalah mengalaskan pada hak publik di mana akuntabilitas dan partisipasi masyarakat diutamakan. Kedua pelibatan masyarakat (civic engagement) untuk mendorong penciptaan public policy making di desa yang partisipatif.
Penyelenggaraan pemerintahan desa pada hakikatnya selalu berujung pada pengambilan keputusan kebijakan, program/kegiatan pembangunan yang kemanfaatannya akan kembali dirasakan masyarakat. Maka mempertemukan dua nalar (nalar publik dan nalar pemerintah) dalam satu ruang proses pengambilan keputusan perlu menjadi perhatian pendamping. Karena disinilah praktik dominasi elite untuk melakukan capturedan free riding bermain. Jika ini tidak dijaga, maka seluruh proses pengambilan keputusan desa tidak berpihak pada mereka yang marginal dan lemah dalam akses kebijakan desa.
Ketiga, penguatan pemenuhan hak informasi publik untuk mendorong tata kelola kebijakan desa yang transparan dan akuntabel. Informasi adalah elemen penting membangun relasi dialogis antara pemerintah desa dengan warganya. Karena jika kedua belah pihak saling menyumbat, masyarakat takut atau enggan menyampaikan kritik atas penyelenggaraan pemerintahan, dan pemerintah sendiri menahan untuk mengkomunikasikan produk kebijakannya kepada rakyat, ibarat negara, maka keseimbangan hubungan (balance of power)negara dengan rakyat akan terganggu.
Keempat,tranformasi sumber daya desa dari kapital menjadi kesejahteraan. Salah satu resource yang sudah pasti akan dikelola adalah dana pembangunan (DD dan ADD). Pekerjaan berikutnya bagi seorang pendamping adalah mendampingi desa menemukan formula perencanaan dan pembelanjaan anggaran publik yang berpihak pada kebutuhan strategis penanggulangan kemiskinan, penciptaan ekonomi kerakyatan, pemenuhan hak dasar masyarakat. (*)
Oleh: Borni Kurniawan
TA Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi
Desa yang dulu hanya dimaknai sebagai kesatuan pemerintahan terkecil yang menjalankan fungsi pemerintahan di atasnya, melalui UU Desa masyarakat mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari desa. Secara kelembagaan UU Desa tidak membedakan antara self government community (masyarakat berpemerintahan) dengan local self government (pemerintahan lokal).
Jadi, desa tidak bisa hanya dipandang dari sisi pemerintahan saja tapi juga dari sisi kemasyarakatannya. Hal ini karena, pada dasarnya secara organik, pemerintah desa dan masyarakat desa adalah entitas desa yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam mewujudkan cita-cita hidup bersama dalam satu kesatuan wilayah dan hukum yang bernama desa atau nama lainnya.
Tahun 2015 menjadi awal tahun yang menantang desa.
Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi saat ini sudah menggeber realisasi program-program prioritas implementasi UU Desa. Salah satu program yang sudah mulai direalisasikan adalah transfer fiskal dari APBN ke desa dalam bentuk Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD). Sesuai dengan ketentuannya DD dan ADD menjadi sumber penerimaan dan belanja pembangunan desa yang harus dikelola secara terencana dan partisipatif oleh pemerintah desa. Terencana berarti bahwa pembelanjaan dana pembangunan harus mendasarkan pada analisa prioritas kebutuhan masyarakat yang terukur dan sesuai dengan visi misi bersama pemerintah dan masyarakat desa. Partisipatif berarti ada pelibatan masyarakat secara adil dan terbuka dalam berbagai proses pengambilan keputusan kebijakan pembangunan desa.
Dalam rangka mendukung realisasi kebijakan nasional tentang desa utamanya terkait dengan penyaluran Dana Desa dari APBN ke desa, Kementerian Desa, Pembangun Daerah Tertinggal dan Transmigrasi khususnya Direktorat Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Ditjend PPMD) telah menyiapkan anggaran yang disalurkan melalui mekanisme dana dekonsentrasi untuk membiayai pendampingan desa dan pendamping teknis untuk mendampingi pelaksanaan UU Desa di 74.093 desa yang tersebar di 6.383 kecamatan, 434 kabupaten/kota dan 33 provinsi.
Program pendampingan desa di atas ditujukan untuk memberdayaan serta memperkuat kapasitas desa baik dari sisi pemerintahan desanya maupun sosial kemasyarakatannya. Tujuannya, agar dalam pembelanjaan Dana Desa khususnya dan APBDes pada umumnya benar-benar dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik sekaligus mendapat dukungan partisipasi masyarakat yang kuat dan kritis. Pada akhirnya, proses pemberdayaan dan pendampingan desa tersebut dapat mengantarkan desa mencapai desa yang mandiri, sejahtera dan demokratis.
Dana Desa dan ADD bukanlah inti dari misi pembaharuan UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa. Anggaran untuk desa baik yang bersumber dari APBN maupun APBD adalah bentuk dukungan dan pengakuan negara atas desa untuk mengelola rumah tangganya sendiri berdasarkan ketentuan kewenangan yang berlaku. Untuk menjamin pengelolaan keuangan desa yang baik tentu tidak hanya membutuhkan kapasitas teknokratis dan administrative aparatur pemerintah desa. Tapi juga membutuhkan peran masyarakat yang cerdas dan aktiv berdialektika di dalamnya, mulai dari tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi kebijakan pembangunan desa.
Untuk memperkuat kedua entitas desa tersebut (pemerintah desa dan masyarakat) membutuhkan kepedulian pihak-pihak yang peduli desa. Saat ini Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi tengah meluncurkan program pendampingan desa. Secara ideal, program tersebut bertujuan menghimpun para aktor peduli desa untuk menjadi bagian apa yang disebut Tania Murray Li “wali masyarakat”. wali masyarakat oleh Murray Li diterjemahkan sebagai aktor atau para pihak yang berkehendak untuk memperbaiki. Kehendak tersebut mengarah pada upaya membebaskan masyarakat dari masalah kehidupan yang melingkupinya agar mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.Informasinya, jumlah pendamping desa yang akan direkrut sebanyak 44.030 orang yang akan diturunkan ke 33 provinsi, 74.093 desa.
Pendamping Desa dan Kehendak Memperbaiki
Maraknya organisasi sosial kemasyarakatan dan partai politik yang ingin anggotanya masuk ke dalam jajaran pendamping desa di satu sisi perlu disambut baik. Barangkali mereka memiliki visi membumikan visi pembaharuan desa UU Desa. Tapi di sisi lain, menjadi pendamping tentu bukan perkara mudah. Terlebih di tengah depresiasi ekonomi secara nasional sekarang ini. Angka pertumbuhan ekonomi yang melambat dari 4,7 persen menjadi 4,67 persen dan melemahnya nilai tukar rupiah atas dolar telah menciptakan kegamangan ekonomi. Maka, pagu anggaran yang disediakan pemerintah untuk membiayai program pendamping desa tersebut menjadi magnet bagi para pencari kerja agar pendapatan rumah tangga tidak goncang. Tulisan ini tidak bermaksud mempertanyakan motivasi pragmatis para aktor yang hendak bergabung menjadi pendamping desa karena membutuhnan uang. Tapi hendak mencari piranti lunak yang penting diketahui dan dikuasai para calon pendamping desa, agar tidak terjebak pada motivasi mencari pendapatan honor yang tinggi.
Dalam kerangka pelaksanaan UU Desa, pendamping desa memegang posisi penting. Ada beberapa alasan di sini. Pertama,publik belum memahami secara komprehensif tentang visi pembaharuan desa. Hal ini disebabkan lemahnya proses sosialisasi desa oleh pemerintah dan kurangnya agency dan aktor yang mampu mendiseminasikan dan menterjemahkan posisi UU Desa dalam kerangka pembangunan nasional. Kedua, masih adanya kelemahan kapasitas pemerintah desa.Di Jawa bisa dipastikan aparatur pemerintah desa sudah bepengalaman mengoperasikan komputer sebagai bagian alat kerja administrative. Tapi bagi desa-desa di pedalaman Papua, keterampilan teknis tersebut adalah barang baru. Keterampilan ini tentu hanya satu dari sekian keterampilan yang penting untuk dikuasai. Kelemahan ini memang tidak semata-mata disebabkan oleh sumber daya manusia desa, melainkan perlakuan kebijakan pengembangan kapasitas desa yang diperankan oleh pemerintah selama ini masih rendah.Ketiga, meski di beberapa tempat telah tercipta kader-kader desa sebagai prototype masyarakat aktif.
Tapi secara umum, masyarakat dan organisasi masyarakat desa belum tumbuh menjadi komunitas aktif dan kritis sebagai mitra pemerintah desa. Ancaman dalam dunia governance seperti opportunistic behavior, rent seekers, free rider tetap akan menjadi ancaman bagi desa. Karena itu pendamping desa sebisa mungkin bisa berperan sebagai benteng pengaman kerusakan village governance dan participatory community dari ancaman-ancaman kelembagaan tersebut.
Ada beberapa diskursus yang penting menjadi perhatian para pendamping desa ke depan. Diskursus tersebut pertama penguatan penyelenggaraan layanan publik. Dalam diskursus ini, tipe layanan public yang perlu didekatkan pada masyarakat desa adalah bagaimana pemerintah desa menjalankan new public service(NPS).Prinsip dasar layanan publik tipe ini adalah mengalaskan pada hak publik di mana akuntabilitas dan partisipasi masyarakat diutamakan. Kedua pelibatan masyarakat (civic engagement) untuk mendorong penciptaan public policy making di desa yang partisipatif.
Penyelenggaraan pemerintahan desa pada hakikatnya selalu berujung pada pengambilan keputusan kebijakan, program/kegiatan pembangunan yang kemanfaatannya akan kembali dirasakan masyarakat. Maka mempertemukan dua nalar (nalar publik dan nalar pemerintah) dalam satu ruang proses pengambilan keputusan perlu menjadi perhatian pendamping. Karena disinilah praktik dominasi elite untuk melakukan capturedan free riding bermain. Jika ini tidak dijaga, maka seluruh proses pengambilan keputusan desa tidak berpihak pada mereka yang marginal dan lemah dalam akses kebijakan desa.
Ketiga, penguatan pemenuhan hak informasi publik untuk mendorong tata kelola kebijakan desa yang transparan dan akuntabel. Informasi adalah elemen penting membangun relasi dialogis antara pemerintah desa dengan warganya. Karena jika kedua belah pihak saling menyumbat, masyarakat takut atau enggan menyampaikan kritik atas penyelenggaraan pemerintahan, dan pemerintah sendiri menahan untuk mengkomunikasikan produk kebijakannya kepada rakyat, ibarat negara, maka keseimbangan hubungan (balance of power)negara dengan rakyat akan terganggu.
Keempat,tranformasi sumber daya desa dari kapital menjadi kesejahteraan. Salah satu resource yang sudah pasti akan dikelola adalah dana pembangunan (DD dan ADD). Pekerjaan berikutnya bagi seorang pendamping adalah mendampingi desa menemukan formula perencanaan dan pembelanjaan anggaran publik yang berpihak pada kebutuhan strategis penanggulangan kemiskinan, penciptaan ekonomi kerakyatan, pemenuhan hak dasar masyarakat. (*)
Oleh: Borni Kurniawan
TA Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi