TUJUH puluh tahun sudah Indonesia memasuki usia kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945 Soekarno dan Hatta mewakili Bangsa Indonesia membacakan teks proklamasi kemerdekaan. Proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak berdiri sendiri.
Ada konteks historis yang mengiringi dan melatarbelakanginya yaitu peristiwa pengeboman dua kota penting di Jepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 oleh Amerika Serikat, yang berdampak goyahnya moral tentara Jepang di Asia Tenggara khususnya di Indonesia.
Peristiwa jatuhnya bom bernama Little Boy dari pesawat B-29 yang dipiloti Paul Tibet, telah menyebabkan Jepang kehilangan power untuk melanjutkan Perang Pasifik. Perang Pasifik atau Perang Asia Pasifik, atau yang dikenal di Jepang dengan nama Perang Asia Timur Raya (Greater East Asia War) adalah perang yang terjadi di Samudra Pasifik, pulau-pulaunya, dan di Asia. Konflik ini terjadi antara tahun 1937 dan 1945, namun peristiwa-peristiwa yang lebih penting terjadi setelah 7 Desember 1941, ketika Jepang menyerang Amerika Serikat di Peral Harbour, Hawai serta wilayah-wilayah yang dikuasai Britania Raya dan banyak negara lain serta yang dikuasai oleh Sekutu.
Para pemuda pergerakan Indonesia selalu memantau secara rahasia melalui siaran radio BBC mengenai perkembangan Perang Pasifik termasuk pengeboman Hiroshima dan Nagasaki yang mengakibatkan menyerahnya Jepang kepada sekutu pada Tanggal 15 Agustus 1945. Namun Jepang masih menyembunyikan informasi menyerahnya kekaisaran Jepang kepada sekutu agar tidak sampai pada para pemimpin Indonesia. Kekalahan Jepang atas Sekutu menyebabkan Indonesia mengalami power of vacum, dan kondisi ini hendak dimanfaatkan oleh para pemuda Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia terlepas dari pengaruh dan janji kemerdekaan oleh Jepang. Sebelumnya, Jepang telah menjanjikan kemerdekaan Indonesia dengan mengijinkan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1Maret 1945. Janji kemerdekaan ini dikarenakan Jepang telah berhitung sejak akhir 1944 semakin terdesak oleh kekuatan sekutu.
Setelah terjadi perdebatan antara Soekarno, Hatta dan para pemuda pergerakan mengenai kapan dan bagaimana proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan, akhirnya sampailah hari yang dinantikan dan bersejarah itu yaitu 17 Agustus 1945 sebagai hari dimana Indonesia secara De Facto dan De Jure menyatakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka.
Hari ini kita kembali mengenang, merayakan, menggemakan peristiwa bersejarah tersebut dalam bentuk-bentuk ritual simbolik formal yaitu upacara 17 Agustus mulai di Istana Negara hingga lembaga atau institusi pemerintahan serta pendidikan. Tentu saja bukan hanya melalui bentuk-bentuk simbolik formal melainkan bentuk-bentuk ritual non formal seperti lomba dan perayaan lainnya untuk memeriahkan dan mengekspresikan kebahagiaan sebagai bangsa yang telah mengalami kemerdekaan 70 tahun lalu melalui jerih dan juang para pemimpin bangsa yang gigih memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Merdekakan Mentalitas Bangsa Terjajah
Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan berbagai ritual simbolik formal maupun ritual non formal yang berulang setiap tahunnya barulah sebuah pernyataan yang mengingatkan kesadaran bersama seluruh komponen bangsa bahwa kita bangsa Indonesia telah mengalami kemerdekaan secara De Facto maupun De Jure. Yang tidak kurang penting dan harus terus menerus diperjuangkan adalah membebaskan dan memerdekakan mentalitas sebagai bangsa yang terjajah. Terlepas berapa lamanya Indonesia telah mengalami penjajahan sebagaimana dikritisi oleh G.J. Resink dalam buku Bukan 350 Tahun Dijajah, namun bangsa kita telah lama mengalami penindasan dan penguasaan bangsa asing, mulai dari zaman VOC hingga pemerintahan Hindia Belanda serta Jepang.
Kondisi ketertindasan dan penguasaan bangsa lain menimbulkan endapan dan lapisan-lapisan kesadaran sebagai bangsa yang inferior yang turun temurun diturunkan dan membentuk pola pikir dan tindakan-tindakan seseorang. Inferioritas hanyalah salah satu ekspresi dan jejak ketertindasan dalam diri individu dan bangsa. Masih dapat kita lacak dan deretkan sejumlah jejak ketertindasan dalam pola pikir dan perilaku kita seperti, takut mengemukakan gagasan, tidak inovatif dan cenderung meniru tindakan orang lain, mengiblatkan dirinya kepada segala sesuatu yang berbau Barat (gaya hidup, makanan, pakaian, kendaraan dll) sebagai simbol modernisasi dan peradaban kemajuan, dll.
Ketertindasan dan penguasaan bangsa lain telah menghapuskan ingatan bahwa sebelum ada negara Indonesia, di zaman raja-raja telah berdiri kerajaan besar dengan kekuasaan yang luas dengan nama Majapahit. Irawan Djoko Nugroho dalam bukunya setebal 422, Majapahit Peradaban Maritim: Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia, menguntai data mengenai kejayaan Nusantara di bidang kemaritiman melalui penelusuran naskah-naskah kuno baik dalam bentuk manuskrip maupun prasasti yang ditulis oleh orang Nusantara maupun luar Nusantara. Menurut Kenneth R. Hall, Nusantara memiliki 3 laut utama. Hall juga menyatakan ada lima zona komersial di Asia Tenggara pada Abad ke-14 dan awal Abad ke-15. Pertama, zona Teluk Benggala (India Selatan, Sri Lanka, Birma, pantai utara Sumatra) Kedua, zona Selat Malaka. Ketiga, zona Laut China Selatan (semenanjung Malaysia, Thailand, Vietnam Selatan), Keempat, zona Sulu (pantai barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanau dan pantai utara Kalimantan). Kelima, zona Laut Jawa (Kalimantan Tengah, Jawa, Sulawesi, Sumatra, Nusa Tenggara)
Mengenai eksistensi Laut Jawa, Irawan Djoko Nugroho dalam bukunya mengatakan, “Di antara zona-zona tersebut, Laut Jawa adalah kawasan terpenting karena telah terintegrasi oleh jaringan pelayaran dan perdagangan sebelum bangsa Eropa datang. Menurut Vincent J.H. Houben, Laut Jawa merupakan inti bagi Asia Tenggara…Dapat dikatakan Laut Jawa merupakan mediterranean sea (laut tengah) bagi Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Ia menjadi jembatan penghubung berbagai komunitas yang berada di sekitarnya, baik dalam kegiatan budaya, politik maupun ekonomi” (Hal 14). Dalam bagian lain, Irawan menyimpulkan, “Besarnya armada Laut Jawa dibandingkan kerajaan lain semasanya membuat Jawa menjadi kerajaan maritim terkemuka di seluruh kawasan. Saking dominannya, beberapa kerajaan datang untuk meminta Jawa ikut menyelesaikan persoalan dalam negerinya” (Hal 23)
Jadi Momentum Penyadaran
Perayaan 70 Indonesia Merdeka hendaklah menjadi momentum penyadaran bahwa sebagai bangsa yang pernah dijajah beratus-ratus tahun telah sedemikian rupa membentuk pola pikir dan perilaku keterjajahan dan mental minderwardig atau inferiority. Sukarno dan para pendiri bangsa terus menerus menggemakan pentingnya membebaskan diri dari mentalitas bangsa terjajah sebagaimana dikatakan: "Aku ingin agar Indonesia dikenal orang. Aku ingin memperlihatkan kepada dunia, bagaimana rupa orang Indonesia. Aku ingin menjampaikan kepada dunia, bahwa kami bukan "Bangsa jang pandir" seperti orang Belanda berulang-ulang kali mengatakan kepada kami. Bahwa kami bukan lagi "Inlander goblok hanja baik untuk diludahi" seperti Belanda mengatakan kepada kami berkali-kali. Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing jang berdjalan menjuruk-njuruk dengan memakai sarung dan ikat-kepala, merangkak-rangkak seperti jang dikehendaki oleh madjikan-madjikan kolonial dimasa jang silam. Setelah Republik Rakjat Tiongkok, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat, maka kami adalah bangsa jang kelima didunia dalam hal djumlah penduduk. 3000 dari pulau-pulau kami dapat didiami. Tapi tahukah Saudara berapa banjak rakjat jang tidak mengetahui tentang Indonesia ? Atau dimana letaknja ? Atau tentang warna kulitnja, apakah kami sawomatang, hitam, kuning atau putih ? Jang mereka ketahui hanja nama Sukarno. Dan mereka mengenal wadjah Sukarno.
Mereka tidak tahu, bahwa negeri kami adalah rangkaian pulau jang terbesar didunia. Bahwa negeri kami terhampar sepandjang 5.000 kilometer atau menutupi seluruh negeri-negeri Eropa sedjak dari pantai Barat benuanja sampai keperbatasan paling udjung disebelah Timur. Mereka tidak tahu, bahwa kami sesudah Australia adalah negara keenam terbesar, dengan luas tanah sebesar dua djuta mil persegi. Mereka umumnja tidak menjadari, bahwa kami terletak antara dua benua, benua Asia dan Australia, dan dua buah Samudra raksasa, Lautan Teduh dan Samudra Indonesia". Sudah seharusnya pemikiran dan ajaran Sukarno dan para pendiri bangsa lainnya dihidupkan terus menerus serta diaktualisasi dalam memori anak bangsa pada tiap-tiap waktu dan khususnya di saat ritual simbolik formal upacara 17 Agustus 1945 bahwa Indonesia berdiri dan diadakan bukan untuk menjadi bangsa pewaris nilai-nilai dan mental keterjajahan melankan menjadi bangsa yang mendatangkan kesejahteraan bagi rakyatnya dan yang menyejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa lain dalam menentukan wajah dunia. Presiden Jokowi dalam pidato Peringatan Hari Pancasila 1 Juni 2015 lalu mengatakan, "Dalam arti sesungguhnya tugas sejarah bangsa Indonesia adalah mewarisi api dari pemikiran perjuangan Bung Karno, bukan mewarisi abunya”.
Api pemikiran perjuangan Sukarno dan para pendiri bangsa lainnya untuk memerdekakan bangsanya dari keterjajahan dan mental bangsa terjajah hendaklah terus menerus digemakan dan diaktualisasikan melalui lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan melalui mata pelajaran sejarah, hendaknya tidak semata-mata menyajikan sebuah pembelajaran yang hanya mengisahkan tahun dan peristiwa yang sudah berlalu secara dingin namun menghidupkan api perjuangan dan pemikiran para pendiri bangsa sehingga membakar dan mengobarkan jiwa serta mentalitas sebagai bangsa yang merdeka untuk menjadi penentu wajah dunia ditengah-tengah hegemoni Barat. Kotbah keagamaan bukan hanya mengajarkan perihal surga dan neraka serta kesalehan individual yang mencerabut individu dari realitas sosial melainkan mendorong mengejawantahkan kesalehan sosial dan kesadaran sebagai umat Tuhan yang fungsional bagi perubahan sosial. Inilah panggilan sejarah kita untuk terus menerus menjadi bangsa yang memerdekakan dirinya dari sisa-sisa mentalitas keterjajahan dan membentuk wajah dan masa depan Indonesia dan dunia yang lebih baik. Merdeka!
Teguh Hindarto
Peminat Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial
Ada konteks historis yang mengiringi dan melatarbelakanginya yaitu peristiwa pengeboman dua kota penting di Jepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 oleh Amerika Serikat, yang berdampak goyahnya moral tentara Jepang di Asia Tenggara khususnya di Indonesia.
Peristiwa jatuhnya bom bernama Little Boy dari pesawat B-29 yang dipiloti Paul Tibet, telah menyebabkan Jepang kehilangan power untuk melanjutkan Perang Pasifik. Perang Pasifik atau Perang Asia Pasifik, atau yang dikenal di Jepang dengan nama Perang Asia Timur Raya (Greater East Asia War) adalah perang yang terjadi di Samudra Pasifik, pulau-pulaunya, dan di Asia. Konflik ini terjadi antara tahun 1937 dan 1945, namun peristiwa-peristiwa yang lebih penting terjadi setelah 7 Desember 1941, ketika Jepang menyerang Amerika Serikat di Peral Harbour, Hawai serta wilayah-wilayah yang dikuasai Britania Raya dan banyak negara lain serta yang dikuasai oleh Sekutu.
Para pemuda pergerakan Indonesia selalu memantau secara rahasia melalui siaran radio BBC mengenai perkembangan Perang Pasifik termasuk pengeboman Hiroshima dan Nagasaki yang mengakibatkan menyerahnya Jepang kepada sekutu pada Tanggal 15 Agustus 1945. Namun Jepang masih menyembunyikan informasi menyerahnya kekaisaran Jepang kepada sekutu agar tidak sampai pada para pemimpin Indonesia. Kekalahan Jepang atas Sekutu menyebabkan Indonesia mengalami power of vacum, dan kondisi ini hendak dimanfaatkan oleh para pemuda Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia terlepas dari pengaruh dan janji kemerdekaan oleh Jepang. Sebelumnya, Jepang telah menjanjikan kemerdekaan Indonesia dengan mengijinkan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1Maret 1945. Janji kemerdekaan ini dikarenakan Jepang telah berhitung sejak akhir 1944 semakin terdesak oleh kekuatan sekutu.
Setelah terjadi perdebatan antara Soekarno, Hatta dan para pemuda pergerakan mengenai kapan dan bagaimana proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan, akhirnya sampailah hari yang dinantikan dan bersejarah itu yaitu 17 Agustus 1945 sebagai hari dimana Indonesia secara De Facto dan De Jure menyatakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka.
Hari ini kita kembali mengenang, merayakan, menggemakan peristiwa bersejarah tersebut dalam bentuk-bentuk ritual simbolik formal yaitu upacara 17 Agustus mulai di Istana Negara hingga lembaga atau institusi pemerintahan serta pendidikan. Tentu saja bukan hanya melalui bentuk-bentuk simbolik formal melainkan bentuk-bentuk ritual non formal seperti lomba dan perayaan lainnya untuk memeriahkan dan mengekspresikan kebahagiaan sebagai bangsa yang telah mengalami kemerdekaan 70 tahun lalu melalui jerih dan juang para pemimpin bangsa yang gigih memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Merdekakan Mentalitas Bangsa Terjajah
Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan berbagai ritual simbolik formal maupun ritual non formal yang berulang setiap tahunnya barulah sebuah pernyataan yang mengingatkan kesadaran bersama seluruh komponen bangsa bahwa kita bangsa Indonesia telah mengalami kemerdekaan secara De Facto maupun De Jure. Yang tidak kurang penting dan harus terus menerus diperjuangkan adalah membebaskan dan memerdekakan mentalitas sebagai bangsa yang terjajah. Terlepas berapa lamanya Indonesia telah mengalami penjajahan sebagaimana dikritisi oleh G.J. Resink dalam buku Bukan 350 Tahun Dijajah, namun bangsa kita telah lama mengalami penindasan dan penguasaan bangsa asing, mulai dari zaman VOC hingga pemerintahan Hindia Belanda serta Jepang.
Kondisi ketertindasan dan penguasaan bangsa lain menimbulkan endapan dan lapisan-lapisan kesadaran sebagai bangsa yang inferior yang turun temurun diturunkan dan membentuk pola pikir dan tindakan-tindakan seseorang. Inferioritas hanyalah salah satu ekspresi dan jejak ketertindasan dalam diri individu dan bangsa. Masih dapat kita lacak dan deretkan sejumlah jejak ketertindasan dalam pola pikir dan perilaku kita seperti, takut mengemukakan gagasan, tidak inovatif dan cenderung meniru tindakan orang lain, mengiblatkan dirinya kepada segala sesuatu yang berbau Barat (gaya hidup, makanan, pakaian, kendaraan dll) sebagai simbol modernisasi dan peradaban kemajuan, dll.
Ketertindasan dan penguasaan bangsa lain telah menghapuskan ingatan bahwa sebelum ada negara Indonesia, di zaman raja-raja telah berdiri kerajaan besar dengan kekuasaan yang luas dengan nama Majapahit. Irawan Djoko Nugroho dalam bukunya setebal 422, Majapahit Peradaban Maritim: Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia, menguntai data mengenai kejayaan Nusantara di bidang kemaritiman melalui penelusuran naskah-naskah kuno baik dalam bentuk manuskrip maupun prasasti yang ditulis oleh orang Nusantara maupun luar Nusantara. Menurut Kenneth R. Hall, Nusantara memiliki 3 laut utama. Hall juga menyatakan ada lima zona komersial di Asia Tenggara pada Abad ke-14 dan awal Abad ke-15. Pertama, zona Teluk Benggala (India Selatan, Sri Lanka, Birma, pantai utara Sumatra) Kedua, zona Selat Malaka. Ketiga, zona Laut China Selatan (semenanjung Malaysia, Thailand, Vietnam Selatan), Keempat, zona Sulu (pantai barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanau dan pantai utara Kalimantan). Kelima, zona Laut Jawa (Kalimantan Tengah, Jawa, Sulawesi, Sumatra, Nusa Tenggara)
Mengenai eksistensi Laut Jawa, Irawan Djoko Nugroho dalam bukunya mengatakan, “Di antara zona-zona tersebut, Laut Jawa adalah kawasan terpenting karena telah terintegrasi oleh jaringan pelayaran dan perdagangan sebelum bangsa Eropa datang. Menurut Vincent J.H. Houben, Laut Jawa merupakan inti bagi Asia Tenggara…Dapat dikatakan Laut Jawa merupakan mediterranean sea (laut tengah) bagi Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Ia menjadi jembatan penghubung berbagai komunitas yang berada di sekitarnya, baik dalam kegiatan budaya, politik maupun ekonomi” (Hal 14). Dalam bagian lain, Irawan menyimpulkan, “Besarnya armada Laut Jawa dibandingkan kerajaan lain semasanya membuat Jawa menjadi kerajaan maritim terkemuka di seluruh kawasan. Saking dominannya, beberapa kerajaan datang untuk meminta Jawa ikut menyelesaikan persoalan dalam negerinya” (Hal 23)
Jadi Momentum Penyadaran
Perayaan 70 Indonesia Merdeka hendaklah menjadi momentum penyadaran bahwa sebagai bangsa yang pernah dijajah beratus-ratus tahun telah sedemikian rupa membentuk pola pikir dan perilaku keterjajahan dan mental minderwardig atau inferiority. Sukarno dan para pendiri bangsa terus menerus menggemakan pentingnya membebaskan diri dari mentalitas bangsa terjajah sebagaimana dikatakan: "Aku ingin agar Indonesia dikenal orang. Aku ingin memperlihatkan kepada dunia, bagaimana rupa orang Indonesia. Aku ingin menjampaikan kepada dunia, bahwa kami bukan "Bangsa jang pandir" seperti orang Belanda berulang-ulang kali mengatakan kepada kami. Bahwa kami bukan lagi "Inlander goblok hanja baik untuk diludahi" seperti Belanda mengatakan kepada kami berkali-kali. Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing jang berdjalan menjuruk-njuruk dengan memakai sarung dan ikat-kepala, merangkak-rangkak seperti jang dikehendaki oleh madjikan-madjikan kolonial dimasa jang silam. Setelah Republik Rakjat Tiongkok, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat, maka kami adalah bangsa jang kelima didunia dalam hal djumlah penduduk. 3000 dari pulau-pulau kami dapat didiami. Tapi tahukah Saudara berapa banjak rakjat jang tidak mengetahui tentang Indonesia ? Atau dimana letaknja ? Atau tentang warna kulitnja, apakah kami sawomatang, hitam, kuning atau putih ? Jang mereka ketahui hanja nama Sukarno. Dan mereka mengenal wadjah Sukarno.
Mereka tidak tahu, bahwa negeri kami adalah rangkaian pulau jang terbesar didunia. Bahwa negeri kami terhampar sepandjang 5.000 kilometer atau menutupi seluruh negeri-negeri Eropa sedjak dari pantai Barat benuanja sampai keperbatasan paling udjung disebelah Timur. Mereka tidak tahu, bahwa kami sesudah Australia adalah negara keenam terbesar, dengan luas tanah sebesar dua djuta mil persegi. Mereka umumnja tidak menjadari, bahwa kami terletak antara dua benua, benua Asia dan Australia, dan dua buah Samudra raksasa, Lautan Teduh dan Samudra Indonesia". Sudah seharusnya pemikiran dan ajaran Sukarno dan para pendiri bangsa lainnya dihidupkan terus menerus serta diaktualisasi dalam memori anak bangsa pada tiap-tiap waktu dan khususnya di saat ritual simbolik formal upacara 17 Agustus 1945 bahwa Indonesia berdiri dan diadakan bukan untuk menjadi bangsa pewaris nilai-nilai dan mental keterjajahan melankan menjadi bangsa yang mendatangkan kesejahteraan bagi rakyatnya dan yang menyejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa lain dalam menentukan wajah dunia. Presiden Jokowi dalam pidato Peringatan Hari Pancasila 1 Juni 2015 lalu mengatakan, "Dalam arti sesungguhnya tugas sejarah bangsa Indonesia adalah mewarisi api dari pemikiran perjuangan Bung Karno, bukan mewarisi abunya”.
Api pemikiran perjuangan Sukarno dan para pendiri bangsa lainnya untuk memerdekakan bangsanya dari keterjajahan dan mental bangsa terjajah hendaklah terus menerus digemakan dan diaktualisasikan melalui lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan melalui mata pelajaran sejarah, hendaknya tidak semata-mata menyajikan sebuah pembelajaran yang hanya mengisahkan tahun dan peristiwa yang sudah berlalu secara dingin namun menghidupkan api perjuangan dan pemikiran para pendiri bangsa sehingga membakar dan mengobarkan jiwa serta mentalitas sebagai bangsa yang merdeka untuk menjadi penentu wajah dunia ditengah-tengah hegemoni Barat. Kotbah keagamaan bukan hanya mengajarkan perihal surga dan neraka serta kesalehan individual yang mencerabut individu dari realitas sosial melainkan mendorong mengejawantahkan kesalehan sosial dan kesadaran sebagai umat Tuhan yang fungsional bagi perubahan sosial. Inilah panggilan sejarah kita untuk terus menerus menjadi bangsa yang memerdekakan dirinya dari sisa-sisa mentalitas keterjajahan dan membentuk wajah dan masa depan Indonesia dan dunia yang lebih baik. Merdeka!
Teguh Hindarto
Peminat Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial