![]() |
WIBATSU ARISUDEWO/RASO |
Akhir Agustus hingga awal September lalu, tim Jawa Pos Radar Solo dan Bagian Humas Setda Wonogiri melakoni ekspedisi susur Pantai Selatan. Kami berupaya merekam semua potensi yang mungkin bisa dikembangkan di wilayah Wonogiri selatan itu dalam sebuah buku foto dan video. Berikut liputannya.
WIBATSU ARISUDEWO, Wonogiri
MATAHARI bersinar cukup terik ketika kendaraan yang kami tumpangi memasuki halaman kantor Kecamatan Paranggupito, Senin (31/8) silam. Kami
sengaja mampir untuk kulonuwun sekaligus menjemput guide yang disiapkan untuk memandu perjalanan kami.
Ada dua pemandu yang disiapkan Camat Paranggupito Haryanto. Mereka adalah Danang Indarto dan Ripto Dwi Hartono. Tak lama di kantor kecamatan, Danang mengambil alih kemudi mobil kemudian mengantarkan kami menuju Dusun Klampeyan, Desa Paranggupito.
Dusun itu merupakan wilayah paling tepi di Desa Paranggupito. Jaraknya sekitar lima kilometer dari kantor Kecamatan Paranggupito. Gersang, kering dan panas menemani sepanjang perjalanan. Pohon-pohon jati meranggas menjadi “penghias” bukit-bukit batu di sisi kiri dan kanan jalan. Tanah-tanah pertanian di antara bukit-bukit itu juga terlihat kering. Bahkan, terlihat jelas angin menerbangkan lapisan debu di atas tanah merah merekah.
Di ujung jalan berlapis cor beton, perjalanan menggunakan mobil berakhir. Objek yang dituju harus ditempuh dengan berjalan kaki sejauh sekitar dua kilometer. Jumblang Ilat-Ilat, sebuah luweng di antara tanah pertanian berbatu di tepi dusun adalah tujuan pertama kami.
Akses menuju luweng hanya tersedia jalan setapak yang medannya naik turun di antara runcingnya batuan kapur perbukitan. Sesekali, untuk mempersingkat jarak, kami sengaja potong kompas dengan melintasi bagian tengah lahan pertanian yang kering dan tak tergarap. Sesekali pula kami berhenti di bawah bayangan pohon kelapa untuk mengurangi suhu panas yang mulai melanda badan.
Setelah beberapa saat, kami sampai di sebuah hamparan tanah pertanian di sisi timur sebuah bukti batu kecil. Ada bagian cekung di dasar bukit batu. Dari jauh, kami melihat bagian tersebut ditumbuhi beragam
jenis pepohonan. Termasuk serumpun bambu duri. “Itu adalah mulut luweng Jumblang Ilat-Ilat,” kata Pak Ripto sambil melihat kami yang sedikit terengah-engah dan bermandi keringat.
Mantan Sekretaris Desa Paranggupito ini kemudian mengajak kami menuruni lahanan pertanian guna menjangkau mulut luweng. Lagi-lagi, kami menemui jalan setapak di antara runcingnya batuan kapur. Semakin dekat ke mulut luweng, jalan semakin ekstrim.
Akhirnya, kami sampai di bibir mulut luweng yang mengangga di sisi selatan tebing. Ada sebatang pohon besar yang tumbuh dari dasar luweng hingga daunnya jauh muncul ke permukaan. Tak diketahui secara pasti
jenis pohon liar itu. Yang jelas, pohon ini yang digunakan dasar untuk menamai luweng dengan nama Jumblang Ilat-Ilat. Sebab keberadaan pohon di tengah lubang menyerupai lidah (Jawa: ilat) di tengah mulut yang menganga.
Tak ada jalan untuk masuk ke luweng berdiameter sekitar 30 meter yang bagian tepinya ditumbuhi semak belukar rapat dan beberapa jenis pohon. Pak Ripto kemudian berinisiatif membuka jalan ala kadarnyauntuk menjangkau sedekat mungkin dengan bagian dalam luweng yang atapnya dihiasi ratusan stalagtit.
Saking sulitnya, Pak Ripto sampai harus merangkak layaknya cicak untuk turun ke bagian dalam mulut luweng.
Dia berhasil. Kemudian, Arif Budiman (juru foto Jawa Pos Radar Solo) dan Purna Aji (pehobi fotografi yang kami ajak berpetualang) memutuskan untuk ikut “uji
nyali” Pak Ripto. Keduanya merangkak turun untuk mendapatkan foto luweng itu dari sudut terdekat.
Saya, Bintoro, Sutris, dan Rima (ketiganya staf di Bagian Humas Setda Wonogiri) memilih berupaya merekam luweng dari bagian atas barat tebing. Tapi, tetap saja tak ada tempat terbaik untuk bisa mengabadikan luweng itu dari sisi atas. “Dijupuk sakkenekke wae, wong angel (diambil sekenannya saja karena sulit),” kata Bintoro dari atas tonjolan batu di bagian barat luweng lantas terkekeh.
Setelah itu, sambil menunggu Arif, Aji, dan Pak Ripto kembali ke atas, kami lebih menghabiskan waktu untuk me-review jadwal perjalanan sambil berteduh di bawah pohon kelapa. Beruntung, dua perempuan petani kemudian melintas. Mereka menyapa kami ramah. Bahkan, mereka kemudian menawarkan sesuatu yang sangat sulit untuk kami tolak di tengah
sengatan panas matahari.
Keduanya menawarkan degan (kelapa muda) di pohon kelapa rendah yang tumbuh di tengah lahan pertanian kepada kami untuk pelepas dahaga. Sebagian langsung dinikmati dan sebagian kami siapkan untuk Arif,Aji dan Pak Ripto yang berada di bagian lebih dalam mulut luweng.
Melalui pesawat radio komunikasi (HT), kami mendapat kabar dari Pak Ripto jika mereka sudah bergerak ke permukaan lagi. Kami kemudian
bergeser kembali ke mulut luweng. Benar saja, mereka tiba di bagian bibir luweng tak lama setelah kami juga tiba di sana. “Capek. Tapi objek fotonya bagus. Menghibur dan jalannya menegangkan. Uji nyali,pol. Kalau bisa motret dari dalam pasti lebih bagus. Tapi, tidak ada jalan masuknya,” kata Arif usai menenggak air kelapa muda yang saya sodorkan.
Dia kemudian memamerkan frame demi frame foto yang ia abadikan di mulut Jumblang Ilat-Ilat. Pak Ripto juga menambahkan cerita bahwa di bagian dasar luweng ada bagian tanah lapang yang sempat hendak digunakan untuk menggelar upacara bendera. Tapi, acara itu urung terlaksana karena sulitnya akses untuk masuk ke dasar luweng. “Di bagian bawah juga ada rongga yang belum dimasuki,” katanya.
Setelah keringat kering, perjalanan kembali dilanjutkan. Semula kami minta langsung disambungkan ke pantai dengan cara mendaki pegunungan. Tapi, Pak Ripto mengatakan itu tidak memungkinkan. Sebab akan menghabiskan banyak waktu melintasi gunung di sisi selatan luweng.
Akhirnya, kami dibawa kembali melintasi jalan yang sebelumnya dilewati untuk menuju luweng dan tiba kembali ke ujung jalan desa. Ternyata, Pak Ripto
dan Danang sebelumnya sudah sepakat untuk saling menunggu. Setelah itu, kami kembali diantar menggunakan mobil ke bagian desa yang lebih selatan.
Kali ini, jalannya bukan berupa cor beton. Tapi, hanya berupa jalan berlapis batu kapur terjal. Danang kemudian menghentikan mobilnya di simpang tiga. “Kita turun di sini. Kita berjalan kaki ke Pantai Dhadapan. Ini pantai di bagian perbatasan Jateng-Jogjakarta. Setelah itu, dari Dhadapan kita akan berjalan kaki menyusuri pantai ke arah timur. Semoga sebelum magrib kita bisa sampai di Pantai Sembukan,” kata Pak Ripto lantas meminta Danang untuk kembali ke kantor Kecamatan Paranggupito. (bersambung)