GUNTUR AGA/Radar Jogja |
Memperingati kelahiran UUPA 1960, kemarin (28/9) KARA menggelar aksi yang dipusatkan di DPRD DIJ. Dalam aksinya, massa membawa berbagai spanduk dan poster. Isi poster-poster tersebut sebagai respons atas pernyataan HB X, yang menyebut “Jogja Tidak Ada Tanah Negara”. Pernyataan tersebut dianggap KARA merupakan pelanggaran UU 45 pasal 33 ayat 3, UUPA 1960 Diktum IV, UU No.43/2008 Pasal 76.
Menurut Humas KARA Kus Sri Antoro, tidak diberlakukannya UUPA di DIJ membuat hak tanah rakyat hilang. Bahkan, kewenangan negara menguasai tanah di DIJ juga hilang. "Semua dikuasai keraton, tanah desa dikuasai keraton. Itu pelanggaran," tegasnya.
Dalam tuntutannya, mereka juga meminta menghentikan diskriminasi dalam kebijakan pertanahan, seperti sertifikasi hak milik atas tanah rakyat, menghentikan pembatasan hak atas tanah berbasis perbedaan etnis dan menghapuskan Sultan Ground (SG) serta Paku Alam Ground (PAG). "Juga mencabut semua produk UU dan peraturan yang bertentangan dengan UUPA," lanjutnya.
Ketua Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) Willie Sebastian yang ikut dalam aksi, mengatakan, di DIJ tidak ada lagi SG dan PAG, karena bukan lagi merupakan swapraja. Menurutnya, keraton swapraja sudah berakhir sejak HB IX membacakan amanat 5 September 1945, yang menyatakan bergabung dalam NKRI. "Sejak itu tak ada lagi swapraja," ujarnya.
Willie juga menilai kebijakan yang dibuat, seperti Pergub DIJ no112/2014 tentang Pemanfaatan Tanah Desa bertentangan dengan UUPA 1960. UUPA 1960 disebutnya merupakan UU induk untuk urusan pertanahan. "Tuntutan kami jelas, laksanakan UUPA 1960 secara penuh. Titik!" tegasnya.
Dalam aksinya yang berlangsung sekitar dua jam, aksi KARA tidak ditemui satu pun anggota DPRD DIJ. Hal itu sempat membuat beberapa orang melakukan sweeping mencari para wakil rakyat. Tapi usaha mereka berhasil diredam oleh Sekretariat DPRD DIJ dan security. Massa aksi pun melanjutkan perjalanan ke Kepatihan Jogja. Di sana mereka juga gagal masuk, karena dihadang Satpol PP.
Terpisah Penghageng Nidyo Budoyo Keraton Jogja GBPH Prabukusumo saat ditemui seusai rapat kerja pengurus KONI DIJ dengan Komisi D DPRD DIJ mengatakan, makna tanah untuk rakyat, seperti yang disampaikan HB IX, bukan berarti membagi-bagikan tanah. Tapi tanah tersebut bisa dipergunakan siapa saja yang mau menggunakan atas izin Keraton Jogja.
Gusti Prabu juga menegaskan, tanah Kasultanan atau SG, semua untuk kepentingan rakyat. "Itu yang dulu bapak (HB IX) sampaikan, dan juga leluhur-leluhur dulu," ungkapnya.
Terkait dengan permasalahan, yang menyangkut SG, Ketua KONI DIJ tersebut yakin semua bisa diselesaikan, tanpa ada yang harus dirugikan. Gusti Prabu menegaskan, pada dasarnya SG tidak boleh diperjualbelikan. Menurut dia, semua harta keraton untuk kepentingan rakyat dengan cara disewakan. "Kalau bisa membuktikan jual beli dan keraton tidak bisa membuktikan tanah keraton ya itu hak milik," ujarnya. (pra/jko)