Seraut Wajah Jokowi dalam Seujung Pensil
Satu tahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dihiasi berbagai kebijakan. Beragam apresiasi dan kritikan muncul untuk melihat perkembangan satu tahun ini. Hal ini pula yang dilakukan oleh seorang Taufik Noor Aditama dengan karya relief wajah dalam ujung pensil.
DWI AGUS, Sleman
TRAGEDI Abu Kelud setahun lalu menyisakan banyak kisah terutama bagi Jogjakarta. Seorang pemuda bernama Taufik Noor Aditama muncul dengan lukisan abu keludnya. Melalui lukisan ini dia ingin memberi pesan positif atas bencana alam yang terjadi.
Kini selang satu tahun, pria kelahiran Jogjakarta, 10 Maret 1991 ini tetap berkarya. Beragam lukisan dan sketsa wajah telah dia selesaikan. Bahkan karyanya memuat makna atau pesan hingga bentuk kritikan yang ingin disampaikan.
Setahun pemerintahan kabinet Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) pun menarik bagi Taufik. Selasa kemarin (20/10), tepat satu tahun pemerintahan Jokowi-JK, Taufik menghasilkan sebuah karya. Bertajuk I Don’t Read What I Sign, dia menorehkan ukiran wajah Jokowi dalam ujung pensil 2B.
”Karya ini tepat satu tahun pemerintahan Jokowi. Tujuan karya ini untuk merefleksikan kinerja kabinet pemerintahan selama satu tahun. Sehingga di Facebook dan Instagram saya minta komentar teman-teman,” kata Taufik ditemui di kediamannya, Sanggarahan, Depok, Condongcatur, Sleman, Rabu siang (21/10).
Karya ini memang berbeda dengan karya Taufik lainnya. Jika biasanya dia berkutat dengan lukisan maka kali ini menjajal hal lain. Beragam respons diberikan semenjak foto karya ini di-upload ke media sosial (medsos). Mulai dari sanjungan, kritik hingga refleksi pemerintahan Jokowi-JK.
Alumnus Teknik Informatika Telkom University Bandung ini mengungkapkan, karyanya merupakan wujud perenungan. Dalam secuil wajah Jokowi yang terukir dalam ujung pensil ini memiliki makna wujud pertanggungjawaban Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Hal ini pula yang membuat Taufik memilih judul I Don’t Read What I Sign, di mana judul ini pernah booming saat Jokowi menandatangani surat Peraturan Presiden no 39 tahun 2015 tanpa membacanya. Menurut Taufik, apapun keputusan Presiden sangatlah penting, karena merepresentasikan suatu negara.
”Saya simbolkan dalam wujud pensil yang diukir. Perumpaannya jika pensil kerap dipakai maka akan semakin habis. Begitu pula ujung pensil yang berwujud Presiden Jokowi. Jika tidak cermat dalam menetapkan kebijakan apalagi tanpa membacanya maka berakibat bagi keseluruhan negara Indonesia,” ungkapnya.
Untuk membuat karya ini diakuinya tidak mudah. Terutama dalam pemilihan media dan bahan yang akan digunakan. Untuk menyimbolkan kebijakan Taufik memilih sebatang pensil. Ukuran dan jenis yang dipilih adalah pensi 2B Jumbo.
Ujung pensil yang berukuran jumbo tidak begitu saja memudahkan Taufik. Bersenjatakan cutter pen dengan teliti dia mengukir wajah Jokowi dalam ujung pensil. Ukuran yang sangat kecil membuat dirinya harus ekstra hati-hati menorehkan cutter pen.
”Salah sedikit bisa patah nanti ujung pensilnya. Sempat pakai lup tapi kurang membantu, jadi pakai mata telanjang. Jaraknya sekitar 10 cm dari mata untuk mengukir ujung pensil,” ungkapnya.
Cerita belum berakhir untuk merampungkan karya ini. Mata Taufik sempat rabun sesaat seusai menyelesaikan karya. Ini karena jarak yang terlalu dekat dari mata. Sehingga ketika dia melihat objek jarak jauh menjadi tidak jelas.
”Bangun tidur mata langsung ngeblur tidak bisa melihat jauh. Kalau sekarang sudah agak mendingan dan tidak buram lagi. Pengalaman tidak terlupakan untuk sebuah karya,” candanya.
Sejatinya karya Taufik tentang Pemerintahan Jokowi-JK tidak hanya kali ini saja. Saat kebijakan menaikkan harga premium sebesar dua ribu, dia juga membuat karya. Jargon Jokowi-JK Salam Dua Jari dia pelesetkan menjadi Salam Dua Ribu.
Alhasil, beragam tanggapan negatif membanjiri media sosialnya. Mulai dari kecaman, sumpah serapah hingga cacian. Padahal dalam karya tersebut Taufik menyertakan sebuah caption. Sebait kalimat untuk lebih bijak menanggapi kenaikan harga BBM pada waktu itu.
”Jadi di-caption itu saya tulis sudah waktunya hidup sehat. Meski BBM naik, hidup harus tetap berjalan. Bisa dengan naik sepeda atau cara lainnya. Toh, kebijakan menaikkan BBM untuk memaksimalkan subsidi lainnya. Tapi sayangnya, pengguna medsos hanya melihat tanpa membaca, jadinya terlalu emosional,” ungkapnya.
Meski berwujud kritik, namun Taufik tidak sepenuhnya menolak segala kebijakan kabinet Jokowi-JK. Menurutnya, seorang pemimpin tidak hanya layak mendapatkan sanjungan namun juga kritikan. Hal inipula yang berlaku bagi pimpinan negara termasuk Jokowi.
”Harus membuka mata, sayangnya saat ini masih ada kubu-kubuan. Padahal pemilihan Presiden sudah selesai lama. Presiden Jokowi adalah pemimpin yang harus kita junjung. Tapi kita juga harus aktif memberi kritik demi pemerintahan yang lebih baik,” ungkapnya. (ila)
Add caption |
DWI AGUS, Sleman
TRAGEDI Abu Kelud setahun lalu menyisakan banyak kisah terutama bagi Jogjakarta. Seorang pemuda bernama Taufik Noor Aditama muncul dengan lukisan abu keludnya. Melalui lukisan ini dia ingin memberi pesan positif atas bencana alam yang terjadi.
Kini selang satu tahun, pria kelahiran Jogjakarta, 10 Maret 1991 ini tetap berkarya. Beragam lukisan dan sketsa wajah telah dia selesaikan. Bahkan karyanya memuat makna atau pesan hingga bentuk kritikan yang ingin disampaikan.
Setahun pemerintahan kabinet Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) pun menarik bagi Taufik. Selasa kemarin (20/10), tepat satu tahun pemerintahan Jokowi-JK, Taufik menghasilkan sebuah karya. Bertajuk I Don’t Read What I Sign, dia menorehkan ukiran wajah Jokowi dalam ujung pensil 2B.
”Karya ini tepat satu tahun pemerintahan Jokowi. Tujuan karya ini untuk merefleksikan kinerja kabinet pemerintahan selama satu tahun. Sehingga di Facebook dan Instagram saya minta komentar teman-teman,” kata Taufik ditemui di kediamannya, Sanggarahan, Depok, Condongcatur, Sleman, Rabu siang (21/10).
Karya ini memang berbeda dengan karya Taufik lainnya. Jika biasanya dia berkutat dengan lukisan maka kali ini menjajal hal lain. Beragam respons diberikan semenjak foto karya ini di-upload ke media sosial (medsos). Mulai dari sanjungan, kritik hingga refleksi pemerintahan Jokowi-JK.
Alumnus Teknik Informatika Telkom University Bandung ini mengungkapkan, karyanya merupakan wujud perenungan. Dalam secuil wajah Jokowi yang terukir dalam ujung pensil ini memiliki makna wujud pertanggungjawaban Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Hal ini pula yang membuat Taufik memilih judul I Don’t Read What I Sign, di mana judul ini pernah booming saat Jokowi menandatangani surat Peraturan Presiden no 39 tahun 2015 tanpa membacanya. Menurut Taufik, apapun keputusan Presiden sangatlah penting, karena merepresentasikan suatu negara.
”Saya simbolkan dalam wujud pensil yang diukir. Perumpaannya jika pensil kerap dipakai maka akan semakin habis. Begitu pula ujung pensil yang berwujud Presiden Jokowi. Jika tidak cermat dalam menetapkan kebijakan apalagi tanpa membacanya maka berakibat bagi keseluruhan negara Indonesia,” ungkapnya.
Untuk membuat karya ini diakuinya tidak mudah. Terutama dalam pemilihan media dan bahan yang akan digunakan. Untuk menyimbolkan kebijakan Taufik memilih sebatang pensil. Ukuran dan jenis yang dipilih adalah pensi 2B Jumbo.
Ujung pensil yang berukuran jumbo tidak begitu saja memudahkan Taufik. Bersenjatakan cutter pen dengan teliti dia mengukir wajah Jokowi dalam ujung pensil. Ukuran yang sangat kecil membuat dirinya harus ekstra hati-hati menorehkan cutter pen.
”Salah sedikit bisa patah nanti ujung pensilnya. Sempat pakai lup tapi kurang membantu, jadi pakai mata telanjang. Jaraknya sekitar 10 cm dari mata untuk mengukir ujung pensil,” ungkapnya.
Cerita belum berakhir untuk merampungkan karya ini. Mata Taufik sempat rabun sesaat seusai menyelesaikan karya. Ini karena jarak yang terlalu dekat dari mata. Sehingga ketika dia melihat objek jarak jauh menjadi tidak jelas.
”Bangun tidur mata langsung ngeblur tidak bisa melihat jauh. Kalau sekarang sudah agak mendingan dan tidak buram lagi. Pengalaman tidak terlupakan untuk sebuah karya,” candanya.
Sejatinya karya Taufik tentang Pemerintahan Jokowi-JK tidak hanya kali ini saja. Saat kebijakan menaikkan harga premium sebesar dua ribu, dia juga membuat karya. Jargon Jokowi-JK Salam Dua Jari dia pelesetkan menjadi Salam Dua Ribu.
Alhasil, beragam tanggapan negatif membanjiri media sosialnya. Mulai dari kecaman, sumpah serapah hingga cacian. Padahal dalam karya tersebut Taufik menyertakan sebuah caption. Sebait kalimat untuk lebih bijak menanggapi kenaikan harga BBM pada waktu itu.
”Jadi di-caption itu saya tulis sudah waktunya hidup sehat. Meski BBM naik, hidup harus tetap berjalan. Bisa dengan naik sepeda atau cara lainnya. Toh, kebijakan menaikkan BBM untuk memaksimalkan subsidi lainnya. Tapi sayangnya, pengguna medsos hanya melihat tanpa membaca, jadinya terlalu emosional,” ungkapnya.
Meski berwujud kritik, namun Taufik tidak sepenuhnya menolak segala kebijakan kabinet Jokowi-JK. Menurutnya, seorang pemimpin tidak hanya layak mendapatkan sanjungan namun juga kritikan. Hal inipula yang berlaku bagi pimpinan negara termasuk Jokowi.
”Harus membuka mata, sayangnya saat ini masih ada kubu-kubuan. Padahal pemilihan Presiden sudah selesai lama. Presiden Jokowi adalah pemimpin yang harus kita junjung. Tapi kita juga harus aktif memberi kritik demi pemerintahan yang lebih baik,” ungkapnya. (ila)