• Berita Terkini

    Selasa, 20 Oktober 2015

    Ketua Fraksi Gerindra DPRD Sleman Jadi Bulan-bulanan Massa


    GUNTUR AGA TIRTANA/RADAR JOGJA
    SLEMAN - Ketua Fraksi Gerindra DPRD Sleman Arif Priyo Susanto menjadi bulan-bulanan massa pengunjuk rasa pendukung pasangan Sri Purnomo-Sri Muslimatun (Santun) dalam aksi protes terhadap pimpinan dewan, kemarin (19/10). Kejadian itu bermula saat Arif keluar dari pintu gerbang halaman kantor DPRD dan mendekati sekelompok orang yang mengenakan aribut Partai Gerindra.

    Saat itu, Arif meminta mereka menurunkan bendera bergambar garuda emas, lambang partai besutan Prabowo Subianto. Sikap Arif sontak membuat suasana memanas. Sekelompok lain berbaju hijau lantas menghujamkan pukulan dan tendangan ke arah tubuh Arif. Beruntung, seorang berseragam satgas bergambar Ka'bah bertindak cepat melindungi Arif dan menggiringnya masuk halaman kantor DPRD. Saat digiring menuju gerbang, massa tetap melancarkan tendangan dan pukulan.

    Melihat situasi itu, Kapolres AKBP Faried Zulkarnain meminta massa beratribut selain partai pendukung Santun melepaskan seragam identitas mereka. Namun, imbauan kapolres seolah tak digubris. Bahkan, seorang di antara massa beratribut Gerindra bernama Gogon turut berorasi di atas mobil terbuka dengan pengeras suara.
    ”Kami di sini mendukung Santun. Saya tanggung jawab dengan apa yang kami lakukan,” ujar Gogon yang disebut sebagai satgas Garuda Kalasan.

    Bendera garuda dilepas dan dilipat setelah kapolres turun langsung menghampiri pembawa atribut tersebut. Didit Endrianto, yang mengaku anggota Laskar Prabowo menyatakan, kasus yang menimpa Arif akibat spontanitas yang didasari ketersinggungan karena dipaksa mencopot bendera garuda. ”Kami itu cinta Gerindra. Tapi ada mosi tak percaya kepada DPC di bawah komando Sukaptono,” ujarnya.

    Didit mengaku tak sendirian. Dia bersama sekitar 30 bekas kader Gerindra yang dipecat sepihak oleh DPC Gerindra Sleman karena beda haluan. Merasa dilecehkan, 13 PAC dari total 17 kecamatan pilih alih haluan. Bukan mendukung pasangan Yuni Satia Rahayu-Danang. Wicaksana Sulistya, yang diusung PDIP, Gerindra, dan PKS. Ke-13 PAC tersebut kecuali Turi, Pakem, Ngemplak, dan Moyudan. ”Kami tidak kenal siapa Danang kok tiba-tiba dicalonkan,” katanya.

    Koordinator Laskar Garuda Subardono membeberkan bahwa mosi tak percaya ditujukan kepada DPC karena tak pernah transparan dalam setiap kebijakan. Bahkan, dia mengklaim dirinya masih sah sebagai Ketua PAC Ngaglik sesuai surat keputusan partai. ”Yang jelas akar rumput Gerindra mendukung Santun,” tegasnya.

    Terpisah, Arif membenarkan bahwa massa yang terlibat aksi unjuk rasa telah dipecat dari partai karena melangar AD/ART. Soal tindakannya meminta atribut Gerindra, Arif berdalih tindakan nekatnya sebagai bentuk prefentif. Dia khawatir keberadaan atribut garuda emas justru memperkeruh suasana. Arif mengklaim partainya tetap solid tanpa perpecahan antarkader.
    ”Kalau secara pribadi tidak masalah, silahkan lepas baju. Tapi ini membawa nama partai,” katanya.

    Muncul Tudingan Konspirasi Pimpinan Dewan

    Suasana panas tak hanya terjadi di luar gedung paripurna DPRD Sleman, kemarin (19/10). Arus interupsi cukup menggerahkan sejuknya ruangan ber-AC di dalam gedung dewan. Aroma konspirasi menyeruak di ranah pimpinan DPRD Sleman, menyusul belum diprosesnya surat pengunduran diri Sri Muslimatun.
    Tudingan itu muncul dari sesama anggota dewan, yang mendukung pasangan Sri Purnomo-Sri Muslimaun (Santun). Sekadar diketahui, pimpinan DPRD Sleman terdiri atas empat orang. Yakni, seorang ketua, dijabat Haris Sugiharta dari PDIP. Tiga wakil ketua, masing-masing Sukaptono (Gerindra), Sofyan Setyo Darmawan (PKS), dan Inoki Azmi Purnomo (PAN).

    Dari empat tokoh tersebut, hanya Inoki yang mendukung Santun. Dari situlah muncul tudingan dari sejumlah anggota DPRD bahwa sikap pimpinan dewan yang bergeming dan tidak memproses surat pengunduran diri Muslimatun didasari intervensi dari partai masing-masing.

    Inoki mengaku tak pernah dilibatkan dalam pembahasan menyangkut kasus Muslimatun. Bahkan, dia mengklaim tak pernah tahu alasan pimpinan dewan (pimwan) tak berinisiatif menanyakan kasus tersebut ke gubernur. Atau sekadar berkirim surat ke gubernur untuk mencari jalan keluar atas mundurnya Muslimatun, yang belum mendapat surat pemberhentian dari PDIP. ”Saya tak pernah tahu rembugannya,” bebernya, kemarin (19/10).

    Hingga kemarin, tiga pimwan masih keukeuh belum memproses surat Muslimatun dengan alasan tak mau melanggar undang-undang. Yakni UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan PP 16/2010 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD.

    Tapi, Inoki merasa masih ada hal yang disembunyikan oleh tiga pimwan lain saat memberi penjelasan pada Tim Santun. Terkait hasil konsultasi pimwan ke KPU Pusat dan Kemendagri RI dalam menghadapi polemik pilkada Sleman. Menurut Inoki, pimwan telah rapat untuk membahas rencana komunikasi dengan DPC PDIP. ”Yang belum dilakukan komunikasi dengan gubernur,” tandasnya.

    Ketua Fraksi PPP Untung Basuki Rahmad merasa pimwan belum pernah mengajak anggota untuk membahas surat Muslimatun yang dilayangkan sejak 24 Juli. Bahkan, pimwan juga tak membahas surat tembusan pemecatan dari DPD PDIP.

    ”Kami ini lembaga kolektif kolegial. Mestinya pimpinan menggelar rapat konsultasi paling lama tujuh hari setelah menerima surat,” paparnya.
    Ketua Fraksi Nasdem Surana menuding pimwan sengaja melakukan pembiaran. Alasannya,  selama muncul polemik, pimwan tak pernah beriktikad untuk mencari solusi. ”Pimpinan itu ngapain saja,” sindirnya.

    Surana mengingatkan, sikap pimwan bisa berimplikasi hukum yang berujung pada gugatan pidana. ”Kalau pimpinan tak bisa selesaikan, kirim surat saja ke gubernur. Selesai persoalan,” lanjutnya.

    Ketua DPC PPP Farchan Hariem mempertanyakan sikap pimpinan dalam melindungi hak konstitusional warga negara. Farchan menuding sikap pimwan secara tak langsung turut menjegal langkah Muslimatun. ”Faktanya, pimpinan parpol (PDIP) tak mau kirim surat pemberhentian Muslimatun. Ini karena ketidaktahuan atau konspirasi,” sindirnya.

    Menjawab tudingan sesama koleganya di legislatif, Ketua DPRD Haris Sugiharta mengaku tak berani melanggar ketentuan regulasi. Dia menegaskan, UU 23/2014 pasal 194 mengharuskan adanya usulan dari pimpinan parpol sebagai dasar pimwan memproses pemberhentian Muslimatun ke gubernur. ”Tolong hargai pendapat kami,” pintanya.

    Wakil Ketua Sofyan Setyo Darmawan menambahkan, hasil konsultasi ke KPU Pusat, proses pemberhentian anggota DPRD tetap harus merujuk pada pasal 103, PP 16/2010 yang klausul hukumnya persis dengan amanat UU 23/2014. ”Kemendagri mengakui kasus ini baru pertama kali terjadi. Tak ada regulasi lain sehingga harus ada mekanisme usulan partai,” katanya. (yog/din/ila)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top