RYANTONO P.S/RASO |
Pada jumpa pers kemarin, Utomo mengatakan, tiga hari terakhir sebelum Edi meninggal, pihak rumah sakit tidak memberikan obat. Karena itu, Utomo menilai hal tersebut merupakan bentuk penyimpangan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit BAB III Pasal 29 ayat F.
Selain itu, pihak RSIS juga dituding melanggar keputusan Menteri Kesehatan No.920/Maks/Pen/XII 1986 tentang upaya pelayanan sosial di bidang medis. Pada butir 5 dinyatakan bahwa 25 persen dari tempat tidur disediakan bagi penderita kurang mampu membayar.
Berdasar informasi dari kliennya, sejak 29 September sampai hari meninggalnya Edi, perban tidak pernah diganti. Ketika perawat ditanya kenapa tidak mengganti perban Edi? Mereka mengatakan pergantian perban berisiko medis yang lebih besar, yakni menyebabkan koma.
Padahal sebelum 29 September, perban diganti dua hari sekali. Setelah dilakukan pengusutan, ternyata pada 29 September tersebut ada masalah administrasi yakni tunggakan berobat senilai Rp 35 juta.
Menurut Utomo, apapun kondisi pasien, seharusnya penanganan tetap dilakukan secara maksimal. Kejadian lain yang mengecekawan, imbuh dia, adalah ketika mengambil rekam medis dipersulit pihak RSIS. ”Alasannya waktu itu (pelayanan) sudah tutup,” terang Utomo.
Selain menyomasi RSIS, tim pengacara keluarga Toyani juga melaporkan secara resmi ke Propam Polres Wonogiri. ”Ini (penganiayaan) insiden buruk bagi kepolisian. Kita desak adanya pemecatan TI,” tandasnya.
Staf Humas dan Marketing RSIS Dimas Arisandi SW menuturkan belum menerima somasi dari keluarga Toyani. Terkait tudingan pelayanan tidak maksimal, Dimas membantahnya. Sebab, selama Edi dirawat di RSIS kurang lebih selama sebulan, perawatan dilakukan sesuai prosedur. (yan/wa)