YOGI ISTI P/RADAR JOGJA |
Mereka tetap semangat meskipun tak tahu harus sampai kapan bisa kembali belajar di kelas. Proses belajar dibagi dua kelompok besar. Siswa kelas I-III menggunakan lobi lantai satu. Sisanya, kelas IV-VI di lantai 2.
Mereka tidak bisa masuk ke area sekolah lantaran pintu gerbang digembok oleh ahli waris pemilik lahan, yang dibangun sekolah tersebut. Penyegelan dilakukan Selasa malam (20/10). Di belakang tembok halaman, terpasang tiga spanduk bertuliskan kronologis hingga terjadi penyegelan.
Kepala SDN Cancangan Wukirsari Pujiami mengaku baru mengetahui hal itu kemarin pagi. Agar proses belajar mengajar tetap berjalan, para siswa digiring ke masjid desa yang berjarak sekitar 200 meter dari sekolah. Semula, Pemerintah Desa Wukirsari berencana memindahkan sekolah sementara di barak pengungsian di Dusun Brayut. Tapi, jarak barak dengan sekolah sejauh dua kilometer dianggap membebani siswa.
”Sampai kapan harus bertahan, tentu setelah masalah terselesaikan,” ungkapnya saat ditemui rombongan Komisi D DPRD Sleman.
Para siswa terpaksa tak bisa menjalani waktu belajar secara penuh. Jika pada hari biasa jam belajar usai pukul 12.30, mulai kemarin dimajukan menjadi 11.25 WIB. Atau lima menit sebelum masuk waktu Duhur. ”Lobi perlu dibersihkan karena masjid mau untuk salat,” lanjut Pujiami.
Perempuan berhijab itu berharap, pemerintah desa maupun kabupaten segera bisa mencari jalan keluar secara kekeluargaan. Harapannya, hari ini, siswa sudah bisa kembali ke kelas. Pujiami meminta kesediaan pemerintah berembuk dengan ahli waris pemilik lahan dan memastikan semua proses pengurusan tanah bisa selesai.
Melalui tiga spanduk yang dipasang, pihak yang menyebut sebagai ahli waris Amad Sumadi mengklaim bahwa berdasarkan Surat Gubernur DIJ No. 51/IZ/2014, proses tukar guling tanah sekolah dengan ahli waris pemilik lahan belum tuntas sejak 1984. Karena itu, siapapun diminta menghentikan aktivitas di atas tanah seluas 1.734 meter persegi hingga proses tukar guling rampung.
Sekretaris Desa Wukirsari Riswanto mengatakan, sengketa lahan terjadi menyusul adanya perbedaan perhitungan luas lahan saat pengukuran oleh petugas Badan Pertanahan Negara pada Januari 2015. Pengukuran lahan berdasarkan surat izin gubernur yang berlaku satu tahun sejak pengajuan tukar guling untuk keperluan sertifikasi. Izin berakhir pada 20 Oktober 2015. ”Saat pengukuran ulang ada selisih 267 meter persegi,” ungkapnya.
Karena terdapat selisih luas, lanjut Riswanto, ahli waris pemilik lahan meminta ganti rugi. Itulah yang menyebabkan proses tukar guling tersendat sampai kemarin. Menurut Riswanto, ahli waris meminta ganti berupa tanah atau pembayaran sebesar nilai jual objek pajak (NJOP) saat ini. Bukan saat transaksi sekitar 31 tahun lalu. ”Dulu cuma Rp 10 ribu, sekarang Rp 300 ribu. Itu masalahnya,” ujar Riswanto.
Di sisi lain, jika pemdes harus mengganti kekurangan luas tersebut tetap harus melalui mekanisme perizinan ke gubernur untuk membebaskan lahan. Meskipun tanahnya tersedia.
Sayangnya, tidak ada pihak yang tahu keberadaan ahli waris pemilik lahan yang bisa dikonformasi kemarin. Warga hanya mengetahui bahwa pihak bersangkutan berdomisili di kawasan Kaliurang.
Disdikpora Harus Ikut Tanggung Jawab
Anggota Komisi D DPRD Sleman Prasetyo Budi Utomo meminta Pemkab Sleman segera menyelesaikan persoalan SD Cancangan. ”Sebenarnya dulu sudah pernah saya peringatkan. Kok jadinya seperti ini, kasihan siswanya,” kata politikus Golkar itu saat meninjau lokasi, kemarin.
Pras, sapaan akrabnya, membeberkan, kasus itu pernah diadukan ke dewan sekitar setahun lalu. Soal ancaman penyegelan juga telah diutarakan oleh ahli waris pemilik tanah. Pras menganggap pemkab telah kecolongan dengan aksi penyegelan sepihak oleh pihak ahli waris. ”Yang penting itu utamakan penyelamatan pendidikan anak,” tegasnya.
Dalam pekan ini, Komisi D mengagendakan pemanggilan jajaran Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (disdikpora) serta Kantor Pengendalian Pertanahan Daerah untuk dimintai keterangan. ”Jangan sampai kita kecolongan lagi,” ingatnya.
Sejak pagi hingga sore kemarin, Kepala Disdikpora Arif Haryono belum bisa dimintai keterangan. Saat dihubungi telepon selulernya terdengar nada sambung tapi tak pernah direspons. ”Saya kontak Pak Arif dua kali juga tidak diangkat. Kami akan panggil secara resmi,” lanjutnya.
Setelah digembok seharian, tersiar informasi bahwa sekolah telah dibuka gerbangnya. Namun, untuk memastikan kebenarannya, Komisi D tetap mendesak semua pihak agar segera menyelesaikan permasalahan demi menjamin kenyamanan siswa dalam proses belajar. (yog/din)