Di Kampung Dijuluki Menteri Lingkungan Hidup
Persoalan sampah menjadi masalah klasik di tengah masyarakat. Berbagai upaya dilakukan untuk pemanfaatan sampah ini. Seperti yang dilakukan pasangan suami istri (pasutri) Junaedi-Margaretha Rita, ini.
------------------------------------------
SEPTINA FADIA PUTRI, Solo
------------------------------------------
SEJAK 1998, Junaedi sudah mulai gelisah memikirkan masalah sampah. Sebab dia menempati lingkungan permukiman padat penduduk yang tidak disediakan tempat pengolah sampah. Sejak saat itu, muncul pemikiran pemanfaatan sampah, lantaran jika dibiarkan berdampak negatif.
”Sampah kalau tidak dikelola dengan baik, jelas akan menimbulkan masalah. Selain menumpuk, akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Padahal setiap hari sampah selalu ada dan volumenya banyak. Harus ada inovasi baru untuk mengelola sampah tersebut," jelas Junaedi, saat ditemui di Pameran Inovasi dan Teknologi di Solo Paragon Mall, kemarin.
Pada 2009, Junaedi memutuskan resign dari pekerjaan di salah satu bank swasta di Jogjakarta. Baginya, itu adalah keputusan yang tepat. Mengingat dirinya lebih memilih concern memperhatikan kondisi sampah dibanding menggeluti pekerjaan yang bukan passion-nya.
Junaedi rutin memberikan penyuluhan kepada masyarakat sekitar mengenai pengelolaan limbah sampah. Dirinya juga didapuk menjadi pembina pengelolaan bank sampah di daerah tempat tinggalnya. ”Saya selalu jadi Menteri Lingkungan Hidup di kampung sendiri," kelakarnya.
Junaedi membina pengelolaan sampah mandiri yang berbasis masyarakat. Sampah yang dikelola dapat diubah menjadi barang yang dekat dan dapat digunakan kembali oleh masyarakat. Sebut saja tas, bunga, lampu, bahkan flower crown yang cantik.
Pengelolaan limbah sampah ini, dia menyerahkan sepenuhnya kepada sang istri, Margaretha Rita. Sejak 2005, Rita turut mengabdi bersama suami menaikkan derajat limbah sampah. Berbagai macam pelatihan telah diikuti, bahkan hingga melanglang buana hingga ke luar pulau Jawa.
”Dulu baru ngetren payung, tas, dompet, dari perca sachet makanan yang disambung-sambung itu. Tapi karena sudah banyak yang bikin, orang-orang jadi bosen. Makanya saya terus berinovasi cari apa lagi yang baru," terang Rita.
Ide bisa datang dari mana saja. Pada 2011, Rita mendapat inspirasi untuk membuat karya dari kantong kresek yang berwarna-warni dari sebuah film dari Jerman. Dan beruntung, di Indonesia saat itu belum ada yang membuat handycraft berbahan kantong kresek.
”Saya jadi pelopor untuk yang pertama membuat tas, dompet, bunga, dan flower crown dari tas kresek. Karena masih belum ada yang pernah buat, untuk pengerjaannya saya masih manual. Karena memang belum ada alatnya," ungkap dia.
Setelah melakukan trial and error berulang-ulang, akhirnya Rita sukses membikin kantong kresek menjadi barang yang bernilai jual tinggi. Karena keunikannya pula membawa Rita terpilih menjadi 16 besar mengalahkan 66 industri rumahan yang mewakili 33 provinsi di Indonesia.
”Saat kompetisi lalu, ada pendampingan desainer untuk merancang produk model baru. Kemudian desainernya memberikan ide lampu contong ini karena teeinspirasi dari jajan kacang yang bentuknya seperti contong. Ternyata hasilnya bagus dan banyak yang suka," terang Rita.
Selain mampu menarik minat konsumen, lampu contong ini juga mampu menyerap limbah sampah dalam jumlah yang besar. Untuk satu lampu saja, membutuhkan sekitar 60 lembar kantong kresek. Bayangkan saja, berapa banyak sampah yang termanfaatkan dari produksi lampu ini. (*/un)
JS: Jadi Mentor Pelatihan hingga Luar Jawa
SEPTINA FADIA PUTRI/RASO |
------------------------------------------
SEPTINA FADIA PUTRI, Solo
------------------------------------------
SEJAK 1998, Junaedi sudah mulai gelisah memikirkan masalah sampah. Sebab dia menempati lingkungan permukiman padat penduduk yang tidak disediakan tempat pengolah sampah. Sejak saat itu, muncul pemikiran pemanfaatan sampah, lantaran jika dibiarkan berdampak negatif.
”Sampah kalau tidak dikelola dengan baik, jelas akan menimbulkan masalah. Selain menumpuk, akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Padahal setiap hari sampah selalu ada dan volumenya banyak. Harus ada inovasi baru untuk mengelola sampah tersebut," jelas Junaedi, saat ditemui di Pameran Inovasi dan Teknologi di Solo Paragon Mall, kemarin.
Pada 2009, Junaedi memutuskan resign dari pekerjaan di salah satu bank swasta di Jogjakarta. Baginya, itu adalah keputusan yang tepat. Mengingat dirinya lebih memilih concern memperhatikan kondisi sampah dibanding menggeluti pekerjaan yang bukan passion-nya.
Junaedi rutin memberikan penyuluhan kepada masyarakat sekitar mengenai pengelolaan limbah sampah. Dirinya juga didapuk menjadi pembina pengelolaan bank sampah di daerah tempat tinggalnya. ”Saya selalu jadi Menteri Lingkungan Hidup di kampung sendiri," kelakarnya.
Junaedi membina pengelolaan sampah mandiri yang berbasis masyarakat. Sampah yang dikelola dapat diubah menjadi barang yang dekat dan dapat digunakan kembali oleh masyarakat. Sebut saja tas, bunga, lampu, bahkan flower crown yang cantik.
Pengelolaan limbah sampah ini, dia menyerahkan sepenuhnya kepada sang istri, Margaretha Rita. Sejak 2005, Rita turut mengabdi bersama suami menaikkan derajat limbah sampah. Berbagai macam pelatihan telah diikuti, bahkan hingga melanglang buana hingga ke luar pulau Jawa.
”Dulu baru ngetren payung, tas, dompet, dari perca sachet makanan yang disambung-sambung itu. Tapi karena sudah banyak yang bikin, orang-orang jadi bosen. Makanya saya terus berinovasi cari apa lagi yang baru," terang Rita.
Ide bisa datang dari mana saja. Pada 2011, Rita mendapat inspirasi untuk membuat karya dari kantong kresek yang berwarna-warni dari sebuah film dari Jerman. Dan beruntung, di Indonesia saat itu belum ada yang membuat handycraft berbahan kantong kresek.
”Saya jadi pelopor untuk yang pertama membuat tas, dompet, bunga, dan flower crown dari tas kresek. Karena masih belum ada yang pernah buat, untuk pengerjaannya saya masih manual. Karena memang belum ada alatnya," ungkap dia.
Setelah melakukan trial and error berulang-ulang, akhirnya Rita sukses membikin kantong kresek menjadi barang yang bernilai jual tinggi. Karena keunikannya pula membawa Rita terpilih menjadi 16 besar mengalahkan 66 industri rumahan yang mewakili 33 provinsi di Indonesia.
”Saat kompetisi lalu, ada pendampingan desainer untuk merancang produk model baru. Kemudian desainernya memberikan ide lampu contong ini karena teeinspirasi dari jajan kacang yang bentuknya seperti contong. Ternyata hasilnya bagus dan banyak yang suka," terang Rita.
Selain mampu menarik minat konsumen, lampu contong ini juga mampu menyerap limbah sampah dalam jumlah yang besar. Untuk satu lampu saja, membutuhkan sekitar 60 lembar kantong kresek. Bayangkan saja, berapa banyak sampah yang termanfaatkan dari produksi lampu ini. (*/un)
JS: Jadi Mentor Pelatihan hingga Luar Jawa