Tak Marah, Maklumi Tingkah Polah Para ABG
Sempat ramai di media sosial (medsos) karena rusak dalam waktu dua hari saja, kebun bunga amarilis di Patuk, Gunungkidul masih banyak dikunjungi warga. Hanya, sekarang aktivitas pengunjung dibatasi. Agar keberadaan bunga yang masuk suku bakung-bakungan ini tak terinjak-injak dan diduduki demi sebuah eksistensi berupa foto selfie.
GUNAWAN, Gunungkidul
PEMILIK ladang bunga amarilis Sukadi tidak menyangka usaha budidaya kembang miliknya bakal meledak. Kurang lebih dua minggu lalu, ladang bunga amarilis miliknya mekar. Tidak hanya setangkai dua tangkai, namun mencapai ribuan kucup bunga yang mekar secara bersamaan.
Pemandangan menawan langsung terlihat. Padang bunga amarilis dengan warna merah jingga (hippeastrum ruticulatum) lantas memancing perhatian pengguna jalan. ”Mereka izin minta foto, ya kami persilakan,” ujar Sukadi ditemui di kediamannya di Dusun Ngasemayu, Salam, Patuk, Gunungkidul, kemarin (29/11).
Dari situ, kemudian banyak orang yang datang ke kebun yang tepat berada di depan kediamannya. Sukadi kaget, tepatnya Rabu (25/11) lalu banyak orang mulai hilir mudik ke lokasi budidaya tanamannya. Lebih terperanjat lagi, tamu tak diundang itu semakin membeludak memenuhi depan rumahnya dengan membawa alat kamera tongsis (tongkat narsis).
”Rupanya, kebun bunga saya terkenal lantaran banyak foto dengan latar belakang bunga ramai diunggah di media sosial,” ucapnya.
Dia mencatat, hingga saat ini jumlah pengunjung mencapai ribuan orang. Tak hanya dari DIJ saja, namun sebagian bahkan datang dari Jawa Tengah. Menurut Sukadi, kebanyakan pengunjung didominasi anak baru gede (ABG). Kebanyakan dari mereka banyak yang duduk diantara rimbunan bunga tersebut. Hal itu yang membuat bunga rusak, selain itu ada sebagian lagi yang terinjak-injak.
”Namanya juga masa puber, tidak mau buru-buru menghakimi mereka (para ABG) sebagai pelaku perusakan tanaman,” ungkapnya.
Dari informasi yang dia diperoleh, kerusakan tanaman miliknya heboh di dunia maya. Bahkan “perang” netizen tidak terbendung. ”Sampai-sampai, pemerhati tanaman datang untuk mengucapkan bela sungkawa ke sini,” ungkapnya.
Sukadi mengakui, kejadian ini memang sangat mendadak. Sedari awal, ladang bunga miliknya memang tidak dipersiapkan untuk berwisata. Namun, nasi sudah menjadi bubur sebagian bunga yang ditanam di lahan 2.300 meter persegi tersebut patah dan layu sebelum waktunya.
Awalnya Dianggap Gulma, Kini Dibudidayakan
Sukadi mengungkapkan, dia tidak marah dengan ulah wisatawan dadakan itu. Hanya, sekarang aktivitas pengunjung dibatasi. Melalui pengeras suara, semua yang datang diminta hati-hati agar tidak menginjak tanaman.
”Supaya bunga tetap indah, jangan sampai yang masih ada ikut rusak terinjak-injak,” terangnya.
Ditanya sejak kapan Sukadi mulai membudidayakan bunga amarilis di kebunnya? Dia mengisahkan, sekitar dua tahun lalu dia berjualan bunga di pinggiran Jalan Jogja-Wonosari. Bunga yang hanya mekar setahun sekali ini dijual seharga Rp 5.000 per polybag.
”Nah, saat itu saya membudidayakan sedikit demi sedikit. Tidak langsung banyak seperti yang terlihat sekarang,” tuturnya.
Dari situ, lahan di depan rumahnya lantas ditumbuhi banyak bunga amarilis. Lahan penuh bunga tersebut dia rawat setiap hari. Menurutnya, pemilihan bunga yang sering disebut lili hujan ini bukannya tanpa sebab. Sukadi memiliki alasan tersendiri, di mana bunga awalnya diangap sebagai gulma atau tumbuhan pengganggu. Biasanya oleh petani atau pemilik lading akan mencabut bunga tersebut.
”Padahal bunganya sangat cantik, saya khawatir jika populasi bunga ini musnah karena dianggap gulma. Makanya saya budidayakan saja. Hingga akhirnya seperti sekarang,” terang Sukadi yang juga berjualan es kelapa muda ini.
Sementara itu, salah seorang pengunjung, Mufti Ismail mengaku, terpesona dengan keindahan bunga tersebut. Bersama dengan keluarga, dia menyempatkan diri berfoto ria di lokasi. Namun, Kepala Kantor Pos Wonosari mengingatkan pada keluarganya agar berhati-hati saat melewati tengah-tengah bunga. Agar tidak tambah rusak dan tetap terlihat cantik.
”Kondisinya memang sudah tak seindah awalnya. Semoga bisa kembali tumbuh dengan cantik,” harap Mufti. (bersambung)
GUNAWAN/RADARJOGJA |
GUNAWAN, Gunungkidul
PEMILIK ladang bunga amarilis Sukadi tidak menyangka usaha budidaya kembang miliknya bakal meledak. Kurang lebih dua minggu lalu, ladang bunga amarilis miliknya mekar. Tidak hanya setangkai dua tangkai, namun mencapai ribuan kucup bunga yang mekar secara bersamaan.
Pemandangan menawan langsung terlihat. Padang bunga amarilis dengan warna merah jingga (hippeastrum ruticulatum) lantas memancing perhatian pengguna jalan. ”Mereka izin minta foto, ya kami persilakan,” ujar Sukadi ditemui di kediamannya di Dusun Ngasemayu, Salam, Patuk, Gunungkidul, kemarin (29/11).
Dari situ, kemudian banyak orang yang datang ke kebun yang tepat berada di depan kediamannya. Sukadi kaget, tepatnya Rabu (25/11) lalu banyak orang mulai hilir mudik ke lokasi budidaya tanamannya. Lebih terperanjat lagi, tamu tak diundang itu semakin membeludak memenuhi depan rumahnya dengan membawa alat kamera tongsis (tongkat narsis).
”Rupanya, kebun bunga saya terkenal lantaran banyak foto dengan latar belakang bunga ramai diunggah di media sosial,” ucapnya.
Dia mencatat, hingga saat ini jumlah pengunjung mencapai ribuan orang. Tak hanya dari DIJ saja, namun sebagian bahkan datang dari Jawa Tengah. Menurut Sukadi, kebanyakan pengunjung didominasi anak baru gede (ABG). Kebanyakan dari mereka banyak yang duduk diantara rimbunan bunga tersebut. Hal itu yang membuat bunga rusak, selain itu ada sebagian lagi yang terinjak-injak.
”Namanya juga masa puber, tidak mau buru-buru menghakimi mereka (para ABG) sebagai pelaku perusakan tanaman,” ungkapnya.
Dari informasi yang dia diperoleh, kerusakan tanaman miliknya heboh di dunia maya. Bahkan “perang” netizen tidak terbendung. ”Sampai-sampai, pemerhati tanaman datang untuk mengucapkan bela sungkawa ke sini,” ungkapnya.
Sukadi mengakui, kejadian ini memang sangat mendadak. Sedari awal, ladang bunga miliknya memang tidak dipersiapkan untuk berwisata. Namun, nasi sudah menjadi bubur sebagian bunga yang ditanam di lahan 2.300 meter persegi tersebut patah dan layu sebelum waktunya.
Awalnya Dianggap Gulma, Kini Dibudidayakan
Sukadi mengungkapkan, dia tidak marah dengan ulah wisatawan dadakan itu. Hanya, sekarang aktivitas pengunjung dibatasi. Melalui pengeras suara, semua yang datang diminta hati-hati agar tidak menginjak tanaman.
”Supaya bunga tetap indah, jangan sampai yang masih ada ikut rusak terinjak-injak,” terangnya.
Ditanya sejak kapan Sukadi mulai membudidayakan bunga amarilis di kebunnya? Dia mengisahkan, sekitar dua tahun lalu dia berjualan bunga di pinggiran Jalan Jogja-Wonosari. Bunga yang hanya mekar setahun sekali ini dijual seharga Rp 5.000 per polybag.
”Nah, saat itu saya membudidayakan sedikit demi sedikit. Tidak langsung banyak seperti yang terlihat sekarang,” tuturnya.
Dari situ, lahan di depan rumahnya lantas ditumbuhi banyak bunga amarilis. Lahan penuh bunga tersebut dia rawat setiap hari. Menurutnya, pemilihan bunga yang sering disebut lili hujan ini bukannya tanpa sebab. Sukadi memiliki alasan tersendiri, di mana bunga awalnya diangap sebagai gulma atau tumbuhan pengganggu. Biasanya oleh petani atau pemilik lading akan mencabut bunga tersebut.
”Padahal bunganya sangat cantik, saya khawatir jika populasi bunga ini musnah karena dianggap gulma. Makanya saya budidayakan saja. Hingga akhirnya seperti sekarang,” terang Sukadi yang juga berjualan es kelapa muda ini.
Sementara itu, salah seorang pengunjung, Mufti Ismail mengaku, terpesona dengan keindahan bunga tersebut. Bersama dengan keluarga, dia menyempatkan diri berfoto ria di lokasi. Namun, Kepala Kantor Pos Wonosari mengingatkan pada keluarganya agar berhati-hati saat melewati tengah-tengah bunga. Agar tidak tambah rusak dan tetap terlihat cantik.
”Kondisinya memang sudah tak seindah awalnya. Semoga bisa kembali tumbuh dengan cantik,” harap Mufti. (bersambung)