TAK lama lagi, bangsa kita akan menyelenggarakan perhelatan akbar pesta demokrasi yaitu pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada tanggal 9 Desember 2015. Sebuah momentum yang menentukan keberlanjutan pemerintahan daerah di negeri ini. Dalam perhelatan demokrasi ini, setiap warga negara wajib diakomodasi hak mereka dalam menyalurkan suara untuk memilih pemimpin yang dinilai layak untuk membawa daerahnya ke dalam kondisi pemerintahan yang lebih baik.
Namun, tidak dapat dipungkiri berbagai kelompok rentan seperti pemilih pemula, serta kelompok pemilih difabel acapkali terabaikan dalam proses penyelenggaraan demokrasi. Berbagai hambatan lingkungan maupun sosial seringkali mengabaikan proses penyelenggaraan pesta demokrasi ini. Seharusnya kita memastikan agar akses informasi yang luas dapat tersampaikan dalam rangka mendorong partisipasi kelompok di atas sebagai pemilih cerdas yang dapat menggunakan hak pilih mereka secara cerdas.
Berdasarkan data ASEAN General Election for Disability Access (AGENDA), difabel di seluruh dunia tercatat mencapai 15 persen dari total jumlah penduduk. Sementara jumlah difabel di Asia Tenggara mencapai 90 juta orang dari 600 juta penduduk dan untuk Indonesia berdasarkan data Susenas tahun 2003 jumlahnya diperkirakan 2.454.359 jiwa. Terkait data difabel memang masih mengundang banyak perdebatan karena jumlahnya bisa jauh lebih banyak dibandingkan data tersebut. Oleh sebab itu, komisi pemilihan umum (KPU) seharusnya melibatkan mitra difabel secara maksimal dalam merancang sistem pemilihan yang aksesibel bagi seluruh ragam difabel.
Pertanyaannya adalah apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pilkada Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Kebumen benar-benar siap mengakomodasi suara pemilih difabel mulai terkait soal lokasi tempat pemungutan suara (TPS) hingga bentuk bilik suara. Tentunya untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan data pemilih difabel dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akan menjadi basis data Komite Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) saat pemungutan suara.
Belum dipisahkannya data pemilih difabel juga disebabkan oleh kurangnya kontribusi keluarga yang memiliki anggota difabel untuk mencakupkan pemilih difabel dalam Pilkada ini. Banyak keluarga yang menganggap difabel adalah “aib”. Hal ini terjadi mengingat kuatnya stigma negatif yang menempatkan warga difabel sebagai warga kelas dua.
Adapun beberapa kendala bagi pemilih difabel dalam Pilkada 9 Desember nanti di antaranya: lokasi TPS yang menyulitkan pemilih, minimnya data pemilih difabel yang berimplikasi pada minimnya sarana bag pemilih difabel, sosialisasi Pilkada bagi difabel yang kurang masif dan dengan menggunakan media yang kurang aksesibel serta terjaminnya kerahasiaan pilihan walaupun pemilih harus didampingi di bilik suara.
Bila kita mengabaikan beberapa catatan ini, itu berarti mencederai demokrasi kita. Bahwa sesungguhnya Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Difabel yang berarti Indonesia harus siap menegakkan delapan prinsip CRPD yakni : penghormatan atas martabat yang dimiliki, otonomi dan kemandirian individu, non – diskriminasi, partisipasi secara penuh dan efektif, inklusi keikutsertaan masyarakat, penghormatan atas perbedaan dan penerimaan terhadap difabel sebagai bagian dari kemanusiaan dan keragaman manusia, kesempatan yang sama, aksesbilitas, kesetaraan antara laki-laki dan permepuan, penghormatan atas kapasitas anak difabel dan hak mereka untuk mempertahankan identitasnya.
Sekarang waktunya segenap pihak bersama-sama bergandeng tangan menyiapkan Pilkada Bupati dan Wakil Bupati agar ramah dengan difabel dengan cara menjadikan dokumen CRPD sebagai acuan dalam menata sistem pemilihan agar lebih manusiawi . Pilkada yang manusiawi menciptakan inklusivitas dalam pemerintahan ke depan. Salam Kesetaraan!
Oleh : Budi Wicaksono
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES)
Pemerhati Difabel
Namun, tidak dapat dipungkiri berbagai kelompok rentan seperti pemilih pemula, serta kelompok pemilih difabel acapkali terabaikan dalam proses penyelenggaraan demokrasi. Berbagai hambatan lingkungan maupun sosial seringkali mengabaikan proses penyelenggaraan pesta demokrasi ini. Seharusnya kita memastikan agar akses informasi yang luas dapat tersampaikan dalam rangka mendorong partisipasi kelompok di atas sebagai pemilih cerdas yang dapat menggunakan hak pilih mereka secara cerdas.
Berdasarkan data ASEAN General Election for Disability Access (AGENDA), difabel di seluruh dunia tercatat mencapai 15 persen dari total jumlah penduduk. Sementara jumlah difabel di Asia Tenggara mencapai 90 juta orang dari 600 juta penduduk dan untuk Indonesia berdasarkan data Susenas tahun 2003 jumlahnya diperkirakan 2.454.359 jiwa. Terkait data difabel memang masih mengundang banyak perdebatan karena jumlahnya bisa jauh lebih banyak dibandingkan data tersebut. Oleh sebab itu, komisi pemilihan umum (KPU) seharusnya melibatkan mitra difabel secara maksimal dalam merancang sistem pemilihan yang aksesibel bagi seluruh ragam difabel.
Pertanyaannya adalah apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pilkada Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Kebumen benar-benar siap mengakomodasi suara pemilih difabel mulai terkait soal lokasi tempat pemungutan suara (TPS) hingga bentuk bilik suara. Tentunya untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan data pemilih difabel dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akan menjadi basis data Komite Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) saat pemungutan suara.
Belum dipisahkannya data pemilih difabel juga disebabkan oleh kurangnya kontribusi keluarga yang memiliki anggota difabel untuk mencakupkan pemilih difabel dalam Pilkada ini. Banyak keluarga yang menganggap difabel adalah “aib”. Hal ini terjadi mengingat kuatnya stigma negatif yang menempatkan warga difabel sebagai warga kelas dua.
Adapun beberapa kendala bagi pemilih difabel dalam Pilkada 9 Desember nanti di antaranya: lokasi TPS yang menyulitkan pemilih, minimnya data pemilih difabel yang berimplikasi pada minimnya sarana bag pemilih difabel, sosialisasi Pilkada bagi difabel yang kurang masif dan dengan menggunakan media yang kurang aksesibel serta terjaminnya kerahasiaan pilihan walaupun pemilih harus didampingi di bilik suara.
Bila kita mengabaikan beberapa catatan ini, itu berarti mencederai demokrasi kita. Bahwa sesungguhnya Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Difabel yang berarti Indonesia harus siap menegakkan delapan prinsip CRPD yakni : penghormatan atas martabat yang dimiliki, otonomi dan kemandirian individu, non – diskriminasi, partisipasi secara penuh dan efektif, inklusi keikutsertaan masyarakat, penghormatan atas perbedaan dan penerimaan terhadap difabel sebagai bagian dari kemanusiaan dan keragaman manusia, kesempatan yang sama, aksesbilitas, kesetaraan antara laki-laki dan permepuan, penghormatan atas kapasitas anak difabel dan hak mereka untuk mempertahankan identitasnya.
Sekarang waktunya segenap pihak bersama-sama bergandeng tangan menyiapkan Pilkada Bupati dan Wakil Bupati agar ramah dengan difabel dengan cara menjadikan dokumen CRPD sebagai acuan dalam menata sistem pemilihan agar lebih manusiawi . Pilkada yang manusiawi menciptakan inklusivitas dalam pemerintahan ke depan. Salam Kesetaraan!
Oleh : Budi Wicaksono
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES)
Pemerhati Difabel