• Berita Terkini

    Kamis, 19 November 2015

    Tradisi ”Merti Tuk” yang Terus Dilestarikan Warga Lereng Gunung Merapi

    TRI WIDODO/RASO
    Jaga Ekosistem Mata Air demi Kelangsungan Hidup

    Kearifan lokal di lereng Gunung Merapi terus dijaga oleh para warga sekitar. Seperti kelestarian air bersih yang bersumber dari berbagai penjuru di kaki Merapi. Cara warga untuk menjaga ekosistem ini pun setiap tahun digelar. Seperti apa?
    ----------------------------------
    TRI WIDODO, Boyolali
    -------------------------------------

    PAGI kemarin (18/11), warga Dusun Kuncen, Desa Samiran, Kecamatan Selo, Boyolali berbondong-bondong menuruni jurang di ujung permukiman. Dengan membawa peralatan tradisional, seperi cangkul dan sabit, mereka asyik ngobrol. Sesampainya di sebuah sendang (sumber air bersih), mereka gotong royong membersihkan sampah dan rumput yang menghambat aliran air.

    Kegiatan bersih sumber air ini sudah dilakukan secara turun-temurun. Para warga membersihkan mata air yang selama ini menjadi penopang kebutuhan air bersih di musim kemarau. Usai membersihkan kompleks sumber air bersih, warga membawa aneka makanan. Yakni berupa tumpeng berikut lauk dan sejumlah polo pendem atau umbi-umbian.
    Bagi mereka, tradisi itu dinamakan ”Merti Tuk”. Yakni dengan harapan kepada Tuhan agar mata air (tuk) tersebut tetap lestari dan terus mengalir. Di tempat tersebut, warga kenduri bersama. Satu nampan tumpeng diletakkan di dekat sumber air, yang lantas berdoa bersama.

    Tradisi warga lereng Merapi ini digelar setiap tahun, bertepatan dengan tradisi Saparan. Kearifan lokal itu telah berlangsung turun-temurun sejak zaman nenek moyang. Yakni untuk menjaga kelestarian sumber air yang ada. ”Sumber air ini tak pernah kering sepanjang tahun,” kata Widodo Ripto Hartono, salah satu tokoh pemuda setempat.
    Ada empat sumber air di wilayah tersebut. Yakni Tuk Tretes, Tuk Dadapan, Tuk Tampung, dan Kali Tampah. Muncul istilah yang hingga sekarang menjadi teka-teki warga. Para sesepuh dulu mengatakan kalau nebang pohon di sekitar sumber mata air itu tidak baik untuk kelestarian alam.

    ”Kami membahasakan ora ilok (tidak baik, Red). Kami tanyakan kepada para sesepuh, mempunyai tujuan bagaimana pelestarian sumber air tetap terjaga. Ketika pepohonan yang ada sekitar sumber air ditebang seenaknya oleh masyarakat, maka debit air sumber akan berkurang,” katanya.

    Sekitar dua jam berada di kompleks sumber air, warga kembali ke rumah salah satu tokoh masyarakat desa setempat. Warga bersama kelompok tani di dusun ini ngudoroso dengan menghadirkan tokoh masyarakat. Yakni perwakilan Pemerintah Desa Samiran, Balai Taman Nasional Gunung Merapi, dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Boyolali.

    Kepala Urusan (Kaur) Pemerintahan Desa Samiran Kusnadar meminta tradisi ini tak hanya sebatas ”Merti Tuk” saja. Tetapi juga diikuti dengan kegiatan pelestarian alam di sekitar sumber air dengan melakukan penanaman pohon. Sebab di kawasan Gunung Merapi dan Merbabu dahulu kala pernah tumbuh pohon-pohon yang mampu menyimpan air. ”Seperti pohon Tampung itu luar biasa. Ditebang sudah satu bulan tidak kering, batangnya tidak bisa dibakar itu,” jelas Kusnandar.

    Selain pohon Tampung, juga pohon Pasang, Gesik, Pesek, Ladok, dan pohon Sowo. Pohon-pohon itu sekarang sudah hampir punah. Dengan demikian, harapan besar para tokoh masyarakat setempat agar warga ikut menjaga kelestarian alam dengan tidak menebang pohon sembarangan. (*/un)
    JS: Warga Sadar Sudah Tak Tebang Pohon


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top