"KETAHUILAH, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur… (Al-Hadid / 57: 20)"
Setidaknya ada empat ayat di dalam Al-Qur’an yang intinya menegaskan bahwa (kehidupan) dunia tidak lebih dari permainan dan sesuatu yang melalaikan. Di samping surah al-Hadid di atas, ayat yang sama ditemukan di dalam surah Al-Ankabut/29:64, Al-An’am/6:32 dan Muhammad/47:36. Sedangkan kata la’ib (asalnya la’iba,bermain) itu sendiri dengan segala derivasinya disebut di dalam Al-Qur’an sebanyak 20 kali dalam berbagai ayat dan surah. Agaknya tidak berlebihan jika kita menarik sebuah doktrin kehidupan yang berbunyi, dunia ini Tidak lain sebagai senda gurau dan main-main. Kebalikannya hanya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan yang kekal abadi. Kendati dunia hanyalah la’ib dan lahwun, bukan berarti diabaikan. Namun harus dinikmati, disikapi karena dunia adalah tangga menuju akhirat. Kesuksesan di dunia akan menentukan kesuksesan kita di akhirat.
Dunia adalah permainan dan lahwun (tempat bersenang-senang). Di dalam permainan tentu ada yang kalah dan ada pula yang menang. Menang dan kalah merupakan keniscayaan. masalahnya pada bagaimana memperoleh dan menyikapi keduanya. Menang bermartabat dan kalah terhormat atau menang tercela kalah terhina.
Ibarat sepak bola, kita pernah mendengar sebuah tim yang menang dengan gol controversial. Kemenangan tersebut diperbincangkan dan diperdebatkan. Tidak sepenuhnya orang bisa menerima kemenangan kita karena di dalamnya ada kecurangan, rekasa dan keberpihakan. Namun ada pula kesebelasan yang kalah dengan terhormat. Mereka kalah bukan karena menerima keputusan apa adanya. Mereka kalah karena lawan lebih baik dan lebih berkualitas. Kendati demikian, mereka tetap mampu memberikan perlawanan yang mengesankan. Mungkin dalam konteks Piala Dunia, kekalahan Korea Utara dari Brasil dengan skor 1:2 dapat disebut sebagai kemenangan yang terhormat.
Demikian pula halnya dengan Pemilukada yang sudah berlangsung pada rabu,tanggal 9 desember yang baru lau. Di antara tiga pasang calon, dipastikan hanya ada satu pasanga calon yang keluar sebagai pemenang. Ini hukum alam. Lagi-lagi apakah kemenangan itu merupakan kemenangan yang bermartabat atau kemenangan yang menimbulkan mudharat. Kemenangan yang tercela. Demikian juga pasangan yang tidak terpilih. Apakah mereka menjadi pasangan calon yang malah terhormat ketika kalah atau malah semakin terhina.
Kemenangan yang bermartabat adalah kemenangan yang pada intinya bersumber pada diri kita sendiri. Dalam konteks Pilkada, calon yang diusung memang tidak bermasalah pada dirinya. Keimanan atau keberagamaannya tidak diragukan. Integritas moralnya teruji dan terpuji. Track recordnya mencengangkan. Visi dan misinya menjanjikan. Warga melihat masa depan yang cerah ketika melihat sang pemimpin. Ada harapan besar dan persentase keterpenuhannya melebihi 95%. Calon pemimpin yang seperti ini akan menang dan tidak akan bisa dikalahkan dengan cara apapun.
Kemenangan yang tercela biasanya kemanangan yang tidak bersumber pada diri sang calon. Kualitas pribadinya meragukan. Orang marketing bilang pribadinya tidak layak jual. Integritas moralnya penuh cacat dan cela. Track recordnya nol. Visi dan misinya lemah dan tak menyembulkan harapan akan perubahan. Calon seperti ini membutuhkan rekayasa untuk dapat menang. Ia membutuhkan konsultan yang diharapkan mampu mempolesnya menjadi pemimpin yang menawarkan harapan. Ia membutuhkan citra baru karena citranya selama ini buruk. Ia perlu bersolek agar kelihatan lebih berwibawa, lebih peduli dan lebih santun. Sungguh dinamika politik (baca: money politik) dapat memoles calon namun tidak akan dapat memoles hati rakyat yang bersih.
Money politik plus rekayasa politik inilah yang kerap menimbulkan masalah dalam pemilukada. Rekayasa politik menyebabkan kemenangan yang tidak diharapkan. Akibatnya rakyat tidak puas, akhirnya protes, menggugat dan dalam tingkat tertentu menimbulkan aksi anarkis dan kekerasan. Lagi-lagi penyebabnya karena kemenangan yang di dapat bukan bersumber pada diri sang calon. Sekali lagi, itulah kemenangan yang direkayasa.
Kalah yang terhina juga sama. Mengapa banyak orang yang sulit menerima kekalahan. Tentu ada beberapa jawaban yang dapat dikemukakan. Pertama, kekalahan itu disebabkan karena kemengan lawan penuh rekayasa. Kedua, kekalahan itu sebenarnya sudah menjadi niscaya tetapi sang calon tetap berupaya untuk berkompetisi, melakukan money politik dengan biaya yang tidak sedikit namun hasilnya tetap kalah. Ada rasa tidak puas karena modal tak kembali. Akhirnya dicari provokator kerusuhan seolah penyelenggaraan Pemilu tidak berkualitas. Ketiga, sejak awal keikutsertaan sang calon bukan untuk berkompetisi secara fair, melainkan hanya untuk mengacaukan permainan. Keempat, tidak memiliki jiwa besar untuk menerima kemenangan pihak lain.
Menang terhina kalah tercela tetap akan dicatat di dalam sejarah republik ini. Khalil Gibran pernah berujar di dalam Sayap-sayap Patahnya, “Hidup tidak lebih dari mengukir nama besar.” Hidup bagaimana mengharumkan nama di hadapan publik. Nama yang harum tidak identik dan sama dengan kemenangan. Nama besar juga dapat diperoleh dengan kekalahan yang terhormat. Jika demikian yang ada pada kita dalah, Kemenangan yang bermartabat dan kekalahan yang terhormat.
Ayat yang telah dikutip di awal artikel ini mengingatkan kita bahwa kehidupan dunia dalam gemerlapnya yang menggiurkan hanyalah permainan belaka. Sangat mungkin apa yang dihasilkannya tidak lain hanyalah menyenangkan hati namun tidak dapat membawa kita kepada tujuan yang sebenarnya dari kehidupan di muka bumi ini. sebaliknya, permainan itu malah melengahkan kita dari hal yang lebih penting dan mendesak.
Kehidupan dunia menjadi permainan karena jika kekalahan tidak diterima dengan lapang dada, akan melahirkan rasa benci, kedengkian yang tiada henti dan iri hati yang tak berkesudahan. Padahal tidak ada kekalahan yang abadi seperti tidak ada kemenangan yang abadi selagi kita di dunia. Hujan yang tercurah akan menyenangkan hati petani untuk sementara waktu. Namun tidak lama setelah itu, kemarau akan mendera. Tanaman yang hijau berubah menjadi kuning dan mulai berguguran. Itulah dunia yang disebut Al-Qur’an sebagai la’ib dan lahwun.
Hemat saya, Pemilukada meminjam bahasanya Al-Qur’an tidak lebih la’ib dan lahwun belaka. Ini permainan yang melelahkan. Namun karena kita hidup didunia, mau tidak mau kita harus terlibat di dalam permainan tersbeut. Tidaklah mengherankan jika setiap orang memainkan perannya masing-masing. Partai Politik punya perannya sendiri. Penyelenggara dan pengawas berperan untuk menyelenggarakan dan mengawasi pemilu ini agar berjalan dengan baik. Ustadz pun juga ikut berperan di dalam khutbah-khutbahnya. Wajar saja dari permainan itu ada orang yang memperoleh banyak harta dan kebanggaan namun ada pula yang tidak mendapatkan apa-apa.
Jika itu permainan, tentulah ada akhirnya. Kita akan dihadapankan dan mencari permainan baru. Tugas kita bagaimana agar permainan itu tidak sia-sia. Jadilah pemenang yang bermartabat. Itulah kemenangan yang besumber pada diri sang calon.Kemenangan yang berasal dari pribadi yang mengesankan. Andaipun kalah, terimalah kekalahan itu karena memang kita tidak lebih baik dari orang lain.
Semoga Pemilukada yang telah kita laksanakan dan berjalan dengan baik, dapat diterima semua pihak dengan segala kekurangan nya, bukti nyata sang pemenang yang menunjukkan dirinya pantas untuk menjadi pemenang kita tunggu. Kita juga menunggu pidato kekalahan yang berisi pengakuan bahwa orang lain lebih baik dan lebih pantas untuk menjadi pemimpin. Bagi warga masyarakat Kabupaten Kebumen menjadi penting untuk menyadari bahwa Pemilukada bukanlah segala-galanya. Akankah kita korbankan kedamaian yang kita bangun sejak lama hanya karena calon kita kalah…???
Oleh: Hariyanto Fadeli
Penulis adalah Presidium Komite Kajian Kebijakan Daerah (K3D) Kebumen.
Setidaknya ada empat ayat di dalam Al-Qur’an yang intinya menegaskan bahwa (kehidupan) dunia tidak lebih dari permainan dan sesuatu yang melalaikan. Di samping surah al-Hadid di atas, ayat yang sama ditemukan di dalam surah Al-Ankabut/29:64, Al-An’am/6:32 dan Muhammad/47:36. Sedangkan kata la’ib (asalnya la’iba,bermain) itu sendiri dengan segala derivasinya disebut di dalam Al-Qur’an sebanyak 20 kali dalam berbagai ayat dan surah. Agaknya tidak berlebihan jika kita menarik sebuah doktrin kehidupan yang berbunyi, dunia ini Tidak lain sebagai senda gurau dan main-main. Kebalikannya hanya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan yang kekal abadi. Kendati dunia hanyalah la’ib dan lahwun, bukan berarti diabaikan. Namun harus dinikmati, disikapi karena dunia adalah tangga menuju akhirat. Kesuksesan di dunia akan menentukan kesuksesan kita di akhirat.
Dunia adalah permainan dan lahwun (tempat bersenang-senang). Di dalam permainan tentu ada yang kalah dan ada pula yang menang. Menang dan kalah merupakan keniscayaan. masalahnya pada bagaimana memperoleh dan menyikapi keduanya. Menang bermartabat dan kalah terhormat atau menang tercela kalah terhina.
Ibarat sepak bola, kita pernah mendengar sebuah tim yang menang dengan gol controversial. Kemenangan tersebut diperbincangkan dan diperdebatkan. Tidak sepenuhnya orang bisa menerima kemenangan kita karena di dalamnya ada kecurangan, rekasa dan keberpihakan. Namun ada pula kesebelasan yang kalah dengan terhormat. Mereka kalah bukan karena menerima keputusan apa adanya. Mereka kalah karena lawan lebih baik dan lebih berkualitas. Kendati demikian, mereka tetap mampu memberikan perlawanan yang mengesankan. Mungkin dalam konteks Piala Dunia, kekalahan Korea Utara dari Brasil dengan skor 1:2 dapat disebut sebagai kemenangan yang terhormat.
Demikian pula halnya dengan Pemilukada yang sudah berlangsung pada rabu,tanggal 9 desember yang baru lau. Di antara tiga pasang calon, dipastikan hanya ada satu pasanga calon yang keluar sebagai pemenang. Ini hukum alam. Lagi-lagi apakah kemenangan itu merupakan kemenangan yang bermartabat atau kemenangan yang menimbulkan mudharat. Kemenangan yang tercela. Demikian juga pasangan yang tidak terpilih. Apakah mereka menjadi pasangan calon yang malah terhormat ketika kalah atau malah semakin terhina.
Kemenangan yang bermartabat adalah kemenangan yang pada intinya bersumber pada diri kita sendiri. Dalam konteks Pilkada, calon yang diusung memang tidak bermasalah pada dirinya. Keimanan atau keberagamaannya tidak diragukan. Integritas moralnya teruji dan terpuji. Track recordnya mencengangkan. Visi dan misinya menjanjikan. Warga melihat masa depan yang cerah ketika melihat sang pemimpin. Ada harapan besar dan persentase keterpenuhannya melebihi 95%. Calon pemimpin yang seperti ini akan menang dan tidak akan bisa dikalahkan dengan cara apapun.
Kemenangan yang tercela biasanya kemanangan yang tidak bersumber pada diri sang calon. Kualitas pribadinya meragukan. Orang marketing bilang pribadinya tidak layak jual. Integritas moralnya penuh cacat dan cela. Track recordnya nol. Visi dan misinya lemah dan tak menyembulkan harapan akan perubahan. Calon seperti ini membutuhkan rekayasa untuk dapat menang. Ia membutuhkan konsultan yang diharapkan mampu mempolesnya menjadi pemimpin yang menawarkan harapan. Ia membutuhkan citra baru karena citranya selama ini buruk. Ia perlu bersolek agar kelihatan lebih berwibawa, lebih peduli dan lebih santun. Sungguh dinamika politik (baca: money politik) dapat memoles calon namun tidak akan dapat memoles hati rakyat yang bersih.
Money politik plus rekayasa politik inilah yang kerap menimbulkan masalah dalam pemilukada. Rekayasa politik menyebabkan kemenangan yang tidak diharapkan. Akibatnya rakyat tidak puas, akhirnya protes, menggugat dan dalam tingkat tertentu menimbulkan aksi anarkis dan kekerasan. Lagi-lagi penyebabnya karena kemenangan yang di dapat bukan bersumber pada diri sang calon. Sekali lagi, itulah kemenangan yang direkayasa.
Kalah yang terhina juga sama. Mengapa banyak orang yang sulit menerima kekalahan. Tentu ada beberapa jawaban yang dapat dikemukakan. Pertama, kekalahan itu disebabkan karena kemengan lawan penuh rekayasa. Kedua, kekalahan itu sebenarnya sudah menjadi niscaya tetapi sang calon tetap berupaya untuk berkompetisi, melakukan money politik dengan biaya yang tidak sedikit namun hasilnya tetap kalah. Ada rasa tidak puas karena modal tak kembali. Akhirnya dicari provokator kerusuhan seolah penyelenggaraan Pemilu tidak berkualitas. Ketiga, sejak awal keikutsertaan sang calon bukan untuk berkompetisi secara fair, melainkan hanya untuk mengacaukan permainan. Keempat, tidak memiliki jiwa besar untuk menerima kemenangan pihak lain.
Menang terhina kalah tercela tetap akan dicatat di dalam sejarah republik ini. Khalil Gibran pernah berujar di dalam Sayap-sayap Patahnya, “Hidup tidak lebih dari mengukir nama besar.” Hidup bagaimana mengharumkan nama di hadapan publik. Nama yang harum tidak identik dan sama dengan kemenangan. Nama besar juga dapat diperoleh dengan kekalahan yang terhormat. Jika demikian yang ada pada kita dalah, Kemenangan yang bermartabat dan kekalahan yang terhormat.
Ayat yang telah dikutip di awal artikel ini mengingatkan kita bahwa kehidupan dunia dalam gemerlapnya yang menggiurkan hanyalah permainan belaka. Sangat mungkin apa yang dihasilkannya tidak lain hanyalah menyenangkan hati namun tidak dapat membawa kita kepada tujuan yang sebenarnya dari kehidupan di muka bumi ini. sebaliknya, permainan itu malah melengahkan kita dari hal yang lebih penting dan mendesak.
Kehidupan dunia menjadi permainan karena jika kekalahan tidak diterima dengan lapang dada, akan melahirkan rasa benci, kedengkian yang tiada henti dan iri hati yang tak berkesudahan. Padahal tidak ada kekalahan yang abadi seperti tidak ada kemenangan yang abadi selagi kita di dunia. Hujan yang tercurah akan menyenangkan hati petani untuk sementara waktu. Namun tidak lama setelah itu, kemarau akan mendera. Tanaman yang hijau berubah menjadi kuning dan mulai berguguran. Itulah dunia yang disebut Al-Qur’an sebagai la’ib dan lahwun.
Hemat saya, Pemilukada meminjam bahasanya Al-Qur’an tidak lebih la’ib dan lahwun belaka. Ini permainan yang melelahkan. Namun karena kita hidup didunia, mau tidak mau kita harus terlibat di dalam permainan tersbeut. Tidaklah mengherankan jika setiap orang memainkan perannya masing-masing. Partai Politik punya perannya sendiri. Penyelenggara dan pengawas berperan untuk menyelenggarakan dan mengawasi pemilu ini agar berjalan dengan baik. Ustadz pun juga ikut berperan di dalam khutbah-khutbahnya. Wajar saja dari permainan itu ada orang yang memperoleh banyak harta dan kebanggaan namun ada pula yang tidak mendapatkan apa-apa.
Jika itu permainan, tentulah ada akhirnya. Kita akan dihadapankan dan mencari permainan baru. Tugas kita bagaimana agar permainan itu tidak sia-sia. Jadilah pemenang yang bermartabat. Itulah kemenangan yang besumber pada diri sang calon.Kemenangan yang berasal dari pribadi yang mengesankan. Andaipun kalah, terimalah kekalahan itu karena memang kita tidak lebih baik dari orang lain.
Semoga Pemilukada yang telah kita laksanakan dan berjalan dengan baik, dapat diterima semua pihak dengan segala kekurangan nya, bukti nyata sang pemenang yang menunjukkan dirinya pantas untuk menjadi pemenang kita tunggu. Kita juga menunggu pidato kekalahan yang berisi pengakuan bahwa orang lain lebih baik dan lebih pantas untuk menjadi pemimpin. Bagi warga masyarakat Kabupaten Kebumen menjadi penting untuk menyadari bahwa Pemilukada bukanlah segala-galanya. Akankah kita korbankan kedamaian yang kita bangun sejak lama hanya karena calon kita kalah…???
Oleh: Hariyanto Fadeli
Penulis adalah Presidium Komite Kajian Kebijakan Daerah (K3D) Kebumen.