Peristiwa ini bermula saat Hidayat, warga Kabupaten Banyumas melaporkan ke Polda Jawa Tengah telah menjadi korban penipuan investasi bodong dengan pelaku Dian Agus Risqianto warga Desa/Kecamatan Pejagoan dan Giyatmo warga Desa Kutosari/Kecamatan Kebumen. Pada kejadian tahun 2011 itu, Hidayat pengusaha properti dan mantan pengusaha jamu itu dirugikan Rp 23,25 miliar. Polda dan Kejaksaan Tinggi Jateng kemudian menyeret Dian Agus Risqianto dan Giyatmo ke meja hijau.
Lantaran kejadiannya di Kebumen, perkara itu ditangani Pengadilan Negeri (PN) Kebumen. Setelah serangkaian persidangan yang melelahkan, pada Mei 2015, PN Kebumen memutus bersalah keduanya. Giyatmo divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair satu tahun kurungan. Adapun Dian Agus divonis 9 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair satu tahun kurungan.
Selain memenjarakan Dian Agus dan Giyatmo, itu, PN Kebumen memberi ijin khusus penyitaan uang tunai pada rekening antar bank milik Perusahaan Daerah (PD) BPR BKK Kebumen senilai Rp 8,7 miliar atau persisnya Rp 8.771.928.594 yang ditindaklanjuti Kejaksaan Negeri (Kejari) Kebumen pada 1 Juni 2015. Menindaklanjuti putusan PN Kebumen, uang Rp 8,7 miliar tersebut dikembalikan kepada Hidayat.
Namun, menurut Dosen Tindak Pidana di Bidang Pidana Khusus Universitas Tri Sakti Jakarta, Dr Yenti Garnarsih SH MH, persoalan itu seharusnya tak berhenti sampai pada "bobolnya" dana milik PD BPR BKK Kebumen. Sebab, dalam kasus TPPU dengan terpidana Dian Agus dan Giyatmo ini, ada indikasi tindak pidana lainnya yaitu kejahatan perbankan. Yakni adanya fakta persidangan yang mengungkap, Giyatmo meminjam dana kepada PD BPR BKK Kebumen sebesar Rp 12,44 miliar pada tahun 2011.
Giyatmo sendiri kemudian melunasi utang tersebut pada akhir tahun 2011. Persoalannya, uang yang dipergunakan untuk mengembalikan utang tersebut diperoleh Giyatmo dari hasil kejahatannya menipu Hidayat yang dilakukan bersama Dian Agus. "Langkah hukum menyita uang Rp 8,7 miliar milik PD BPR BKK Kebumen dan mengembalikan kepada saksi korban Hidayat sudah benar. Sebab, uang itu merupakan tindak pidana TPPU sehingga bukan uang milik PD BPR BKK Kebumen lagi melainkan milik saksi korban (Hidayat)," kata perempuan yang juga menjadi salah satu saksi ahli dan dihadirkan di persidangan pada kasus tersebut.
Pada kasus ini, Yenti juga meminta aparat hukum mencermati fakta lain di persidangan soal proses persetujuan dan pencairan uang Rp 12,44 miliar oleh PD BPR BKK Kebumen kepada Giyatmo. Menurutnya, proses persetujuan dan pencairan itu jelas bermasalah. Selain karena melebihi batas maksimum pemberian kredit (BMPK) dan jumlah agunan tidak memenuhi syarat, pencairan itu mengalir ke satu rekening atas nama Giyatmo. Parahnya, uang itu cair terlebih dahulu bahkan sebelum proses verifikasi.
Dengan demikian, vonis untuk Giyatmo dan Dian Agus baru sebatas pada tindak kejahatan mereka "menggelapkan" dana Hidayat untuk kepentingan pribadi atau baru pada tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sementara, indikasi adanya kejahatan perbankan pada pencairan Rp 12,44 miliar kepada Giyatmo belum tersentuh.
Dr Yenti Garnarsih mendesak para penegak hukum segera menindaklanjuti perkara tindak kejahatan perbankan tersebut. "Dari sejumlah kasus kejahatan perbankan, sebagian besar diantaranya dipastikan melibatkan orang dalam atau jajaran direksi atau dewan pengawas," kata perempuan yang juga menjadi salah satu anggota Pansel KPK tersebut.
Nantinya, bila terbukti, selain terkena pasal pidana, jajaran direksi juga berkewajiban mengembalikan uang hasil kejahatan itu. Hal itu sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi nomor 19 tahun 2002 khususnya pasal 37. "Disana disebutkan, direktur atau pegawai, baik sengaja atau tidak sengaja atau karena kelalaian menimbulkan kerugian, wajib mengganti kerugian dimaksud," katanya.
Hingga kini, aparat hukum tampaknya belum merespons harapan Yenti itu. Namun demikian, kalangan dewan meminta, PD BPR BKK Kebumen tidak mengulangi kesalahan dalam memberikan kredit kepada nasabah seperti pada 2011 lalu.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) III DPRD Kebumen, Stevani Dwi Artiningsih, mengatakan PD BPR BKK Kebumen tahun 2016 akan kembali mendapatkan penyertaan modal dari APBD. Melalui penyertaan modal tersebut PD BPR BKK Kebumen dapat menurunkan Non Performing Loan (NPL). Agar tidak terulang lagi pemberian kredit yang tidak sesuai ketentuan. "Yang berakibat pada kerugian bank, seperti kejadian pemberian kredit tahun 2011. Perlu menerapkan azaz kehati-hatian," kata M Stevani.
Penyertaan modal daerah untuk PD BPR BKK Kebumen hingga 2015 telah mencapai Rp 9,4 miliar lebih. Mulai 2016, kata Stevani, penyertaan modal tersebut akan ditambah sebesar Rp 6,2 milar lebih. (cah/ori)