SUKOHARJO – Perilaku kasar Wahyudi, 43, warga Dukuh Windan RT 1 RW 7 Desa Makamhaji, Kecamatan Kartasura, Sukoharjo tidak hanya dialami Rodiyah Romlah yang akhirnya tewas setelah dipukuli Jumat (11/12). Tapi juga terhadap istri pertamanya.
Akibatnya, sang istri memilih pulang ke rumah orang tuanya sebab tak kuat kerap dianiaya. Selain itu, warga juga menjauhi pria pengangguran tersebut karena perangainya yang buruk.
Ketua RT 1 RW 7 Dukuh Windan Sumarsono menjelaskan, Wahyudi memang besar dan lahir di Dukuh Windan. Namun, sejak memiliki istri pertama, dia pindah status kependudukan.
”Status kependudukannya mengambang. Karena setelah pindah, dia belum mengurus administrasi perpindahan kembali sebagai warga Windan,” tegasnya kemarin (13/12).
Istri pertama Wahyudi, lanjut Sumarsono, kerap menjadi sasaran amarahnya. Warga selalu mengingatkan agar tidak berbuat kasar namun tak digubris. Bagaimana status perkawinan dengan istri pertama? Sumarmsono menuturkan, keduanya belum mengajukan cerai.
Di sela status yang tidak jelas itu, Wahyudi bertemu Rodiyah Romlah. Mereka tinggal di gubuk yang menempel pabrik rosok bersama buah hatinya yang masih berumur dua tahun.
Informasi yang dihimpun Jawa Pos Radar Solo, Wahyudi pernah memiliki rumah warisan dari orang tuanya. Namun, lantaran persoalan ekonomi, rumah tersebut dijual dan tinggal di gubuk bersama Romlah dan buah hatinya yang masih bawah lima tahun (balita) selama tiga tahun terakhir.
Pernah suatu ketika Wahyudi diminta menjaga salah satu toko bangunan. Tapi diduga dia malah menyia-nyiakan amanah tersebut dengan mengambil semen dan besi. Mengetahui prilakunya seperti itu, akhirnya banyak yang enggan menerima Wahyudi untuk bekerja.
Karena tak mendapatkan penghasilan, Wahyudi sangat gampang marah dan melakukan kekerasan. “Setiap ada masalah ekonomi, selalu saja main tangan. Tindakan kekerasan,” ujar Sumarsono.
Karena itu, lanjut dia, warga sepakat Wahyudi mendapat hukuman setimpal akibat perbuatannya. Lalu apakah keberadaan Wahyudi masih bisa diterima masyarakat? Sumarsono menekankan secara manusiawi tidak ada alasan menolak. Namun, melihat perilakunya selama ini, warga sebenarnya berat menerima.
”Kalau dia bisa sembuh (usai jalani hukuman), ya masyarakat senang. Jadi bisa damai dan tentram,” terang Sumarsono. Sedangkan terkait anak Wahyudi yang masih balita, imbuh Sumarsono, dirawat oleh ibu Wahyudi. (yan/wa)
Akibatnya, sang istri memilih pulang ke rumah orang tuanya sebab tak kuat kerap dianiaya. Selain itu, warga juga menjauhi pria pengangguran tersebut karena perangainya yang buruk.
Ketua RT 1 RW 7 Dukuh Windan Sumarsono menjelaskan, Wahyudi memang besar dan lahir di Dukuh Windan. Namun, sejak memiliki istri pertama, dia pindah status kependudukan.
”Status kependudukannya mengambang. Karena setelah pindah, dia belum mengurus administrasi perpindahan kembali sebagai warga Windan,” tegasnya kemarin (13/12).
Istri pertama Wahyudi, lanjut Sumarsono, kerap menjadi sasaran amarahnya. Warga selalu mengingatkan agar tidak berbuat kasar namun tak digubris. Bagaimana status perkawinan dengan istri pertama? Sumarmsono menuturkan, keduanya belum mengajukan cerai.
Di sela status yang tidak jelas itu, Wahyudi bertemu Rodiyah Romlah. Mereka tinggal di gubuk yang menempel pabrik rosok bersama buah hatinya yang masih berumur dua tahun.
Informasi yang dihimpun Jawa Pos Radar Solo, Wahyudi pernah memiliki rumah warisan dari orang tuanya. Namun, lantaran persoalan ekonomi, rumah tersebut dijual dan tinggal di gubuk bersama Romlah dan buah hatinya yang masih bawah lima tahun (balita) selama tiga tahun terakhir.
Pernah suatu ketika Wahyudi diminta menjaga salah satu toko bangunan. Tapi diduga dia malah menyia-nyiakan amanah tersebut dengan mengambil semen dan besi. Mengetahui prilakunya seperti itu, akhirnya banyak yang enggan menerima Wahyudi untuk bekerja.
Karena tak mendapatkan penghasilan, Wahyudi sangat gampang marah dan melakukan kekerasan. “Setiap ada masalah ekonomi, selalu saja main tangan. Tindakan kekerasan,” ujar Sumarsono.
Karena itu, lanjut dia, warga sepakat Wahyudi mendapat hukuman setimpal akibat perbuatannya. Lalu apakah keberadaan Wahyudi masih bisa diterima masyarakat? Sumarsono menekankan secara manusiawi tidak ada alasan menolak. Namun, melihat perilakunya selama ini, warga sebenarnya berat menerima.
”Kalau dia bisa sembuh (usai jalani hukuman), ya masyarakat senang. Jadi bisa damai dan tentram,” terang Sumarsono. Sedangkan terkait anak Wahyudi yang masih balita, imbuh Sumarsono, dirawat oleh ibu Wahyudi. (yan/wa)