PURBALINGGA- Ahli Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto, Prof DR Muhammad Fauzan SH MHum menilai langkah untuk membuktikan adanya dugaan pelanggaran dalam Pilkada kali ini tetap harus menempuh jalur hukum. Yatu sebagai wujud demokrasi moderen yang mengharuskan demokrasi dan hukum berjalan beriringan.
“Saya rasa jika saat ini tim paslon Sugeng- Sutjipto melangkah wajar saja untuk upaya hukum. Namun lebih penting, kondisi masyarakat di Purbalingga saat ini masih kondusif dan bisa dikatakan menerima hasil pilkada ini, meski belum secara resmi ditetapkan KPU Purbalingga,” kata dosen asli Purbalingga ini, Minggu (13/12).
Perspektif demokrasi moderen khususnya dalam pilkada juga tetap melalui jalur hukum. Baik itu melalui pelaporan dan tahapan dalam penanganan persoalan pilkada yang sudah diatur dalam aturan yang ada. Meski demikian, kedepan siapapun yang memimpin sebenarnya harus tetap bisa bersinergi dengan pihak yang sebelumnya bersaing dalam pilkada.
Ia juga menegaskan, pilkada sebenarnya merupakan proses demokrasi dalam ketatanegaraan setelah masa reformasi. Figur pemimpin daerah dilakukan dicari dengan cara pemilihan langsung. Apa pun hasilnya, harus bisa membawa kebaikan. Soal menang kalah, adalah mekanisme yang biasa.
"Tinggal bagaimana kematangan dalam berpolitik dibuktikan paska Pilkada. Bagaimana yang menang dalam bersikap merayakan kemenangananya, yang kalah menerima kekalahannya dengan besar hati. Di sini akan terlihat kenegarawanan mereka," tambahnya.
Lebih lanjut dikatakan, siapapun yang memimpin dia harus bisa meyakinkan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan, bahwa dia adalah figur yang pantas mengemban amanah yang diberikan rakyat. Jika mereka sudah dewasa, semua akan berjalan seperti biasa saja.
"Memang perlu waktu, jika elit politik memberi contoh yang baik, maka rakyat akan mengikutinya," tuturnya.
Sementara itu soal politik uang, hal itu merupakan anomali yang selalu ramai dalam pelaksanaan pemilihan umum. Hanya terdengar ramainya, namun implementasi pembuktiannya sangat sulit. Hal ini diperlukan komitmen dari pihak-pihak calon bupati-wakil bupati Purbalingga itu untuk melakukan pencegahan.
"Sebenarnya, politik uang itu hanya ketakutan dari calon pada kekalahan. Dan dia takut tidak percaya terhadap rakyat yang akan memilihnya. Di sisi lain juga berkembang kondisi masyarakat konsumerisme dimana suaranya ditukar dengan uang. Hingga waktu Pileg lalu, muncul spanduk bertuliskan “siap menerima serangan fajar”. Ini jelas mengerikan," katanya. (amr
“Saya rasa jika saat ini tim paslon Sugeng- Sutjipto melangkah wajar saja untuk upaya hukum. Namun lebih penting, kondisi masyarakat di Purbalingga saat ini masih kondusif dan bisa dikatakan menerima hasil pilkada ini, meski belum secara resmi ditetapkan KPU Purbalingga,” kata dosen asli Purbalingga ini, Minggu (13/12).
Perspektif demokrasi moderen khususnya dalam pilkada juga tetap melalui jalur hukum. Baik itu melalui pelaporan dan tahapan dalam penanganan persoalan pilkada yang sudah diatur dalam aturan yang ada. Meski demikian, kedepan siapapun yang memimpin sebenarnya harus tetap bisa bersinergi dengan pihak yang sebelumnya bersaing dalam pilkada.
Ia juga menegaskan, pilkada sebenarnya merupakan proses demokrasi dalam ketatanegaraan setelah masa reformasi. Figur pemimpin daerah dilakukan dicari dengan cara pemilihan langsung. Apa pun hasilnya, harus bisa membawa kebaikan. Soal menang kalah, adalah mekanisme yang biasa.
"Tinggal bagaimana kematangan dalam berpolitik dibuktikan paska Pilkada. Bagaimana yang menang dalam bersikap merayakan kemenangananya, yang kalah menerima kekalahannya dengan besar hati. Di sini akan terlihat kenegarawanan mereka," tambahnya.
Lebih lanjut dikatakan, siapapun yang memimpin dia harus bisa meyakinkan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan, bahwa dia adalah figur yang pantas mengemban amanah yang diberikan rakyat. Jika mereka sudah dewasa, semua akan berjalan seperti biasa saja.
"Memang perlu waktu, jika elit politik memberi contoh yang baik, maka rakyat akan mengikutinya," tuturnya.
Sementara itu soal politik uang, hal itu merupakan anomali yang selalu ramai dalam pelaksanaan pemilihan umum. Hanya terdengar ramainya, namun implementasi pembuktiannya sangat sulit. Hal ini diperlukan komitmen dari pihak-pihak calon bupati-wakil bupati Purbalingga itu untuk melakukan pencegahan.
"Sebenarnya, politik uang itu hanya ketakutan dari calon pada kekalahan. Dan dia takut tidak percaya terhadap rakyat yang akan memilihnya. Di sisi lain juga berkembang kondisi masyarakat konsumerisme dimana suaranya ditukar dengan uang. Hingga waktu Pileg lalu, muncul spanduk bertuliskan “siap menerima serangan fajar”. Ini jelas mengerikan," katanya. (amr