• Berita Terkini

    Minggu, 03 Januari 2016

    Kabupaten Kebumen sebagai Wilayah Pertemuan Arus Kebudayaan Banyumas dan Bagelen, serta Dampak Sosial Kuturalnya

    Mengkaji Kebumen dari perspektif sosiologis dan historis, tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan Bagelen dan Banyumas. Mengapa demikian? Karena wilayah Kebumen pra kemerdekaan (yang disebut dengan sejumlah nama kewilayahan seperti Panjer, Kutowinangun, Karanganyar) baik di masa kerajaan Mataram, Kesultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta, adalah bagian dari kewilayahan Karesidenan Bagelen serta wilayah perbatasan dari Karesidenan Banyumas. Kebumen merupakan wilayah pertemuan dan percampuran arus kebudayaan di kedua wilayah karesidenan tersebut. Pertemuan arus kebudayaan ini tentu saja menimbulkan sejumlah dampak sosial kultural dalam pola kehidupan masyarakat Kebumen. Sebelum kita mengkaji lebih jauh, terlebih dahulu kita akan melihat lebih jauh Karesidenan Bagelen dan Karesidenan Banyumas dari persektif historis.

    Bagelen: Periode Mataram Hingga Kolonialisme Hindia Belanda
    Sebelum Perjanjian Giyanti (1755), Bagelen merupakan sebuah wilayah kekuasaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Sebagaimana kepemimpinan politik kerajaan Jawa membagi pusat kekuasaan dalam lingkaran konsentris sbb: Kraton, Kuthagara, Negaragung, Mancanegara, Pasisiran (S. Murtono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, 1985:67), maka Bagelen di masa Mataram merupakan kawasan Negaragung yang meliputi (Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874, 2010:1)
    1. Daerah Bumi (Kedu sebelah barat Sungai Praga) meliputi 6.000 cacah
    2. Bumi Jo (Kedu sebelah timur Sungai Progo) meliputi 6.000 cacah.
    3. Bumi Jo (Kedu sebelah timur Sungai Progo) meliputi 6.000 cacah.
    4. Siti Ageng Kiwo (sisi sebelah kiri jalan besar Pajang Demak) meliputi 10.000 cacah.
    5. Siti Ageng Tengen (sisi sebelah kanan jalan besar Pajang Demak) meliputi10.000 cacah.
    6. Sewu (daerah Bagelen antara Sungai Bogowonto sampai Sungai Donan, Cilacap) meliputi 6.000 cacah.
    7. Numbak Anyar (daerah Bagelen antara Sungai Bogowonto sampai sungai Progo) meliputi 6.000 cacah

    Namun sejak Perjanjian Giyanti, kerajaan Mataram dibagi menjadi dua pusat kekuasaan yaitu Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono 1 dan Kasunan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono III. Maka wilayah Bagelen yang semula menjadi wilayah Negaragung mengalami pergeseran secara politis dan administratif menjadi wilayah Mancanegara dari masing-masing kedua kerajaan tersebut yang dalam pelaksanaannya kerap tumpang tindih dikarenakan ketidakjelasan batas masing-masing wilayah (Jarot Heru Santosa, Seni Dholalak Purworejo Jawa Tengah: Peran Perempuan dan Pengaruh Islam dalam Seni Pertunjukkan, Jurnal Kawistara Vol 3 No 3, 2013:235).

    Berikut pembagian wilayah Bagelen paska Perjanjian Giyanti yaitu (Ibid):

    1. Tanah Mahosan Dalem, yaitu tanah lungguh milik raja. Untuk Kesultanan Yogyakarta meliputi Bapangan (Jenar), Semawung (Kutoarjo), Ngrawa, Watulembu, Lengis (Kedungkamal), Selomanik (Wonosobo), dan Semayu. Sedangkan untuk Kasunanan Surakarta meliputi Tanggung (Cangkrep), Wala (Ambal), Panjer (Kebumen), dan Tlaga.
    2. Tanah lungguh, yaitu tanah gaduhan raja untuk para pangeran dan pejabat kerajaan. Untuk Kasultanan Yogyakarta meliputi Loano, Blimbing (Karanganyar), dan Rama Jatinegoro (Karanganyar). Sedangkan untuk Kasunanan Surakarta meliputi Merden dan Kutowinangun.
    3. Daerah kerja Gladak, yaitu daerah yang penduduknya dikenakan wajib kerja di istana atau hutan. Untuk Kasultanan Yogyakarta terletak di Selomerto dan untuk Kasunanan Surakarta terdapat di Gesikan (Kutoarjo).
    4. Tanah bagi para pemuka atau lembaga keagamaan dan penjaga makam yang menjaga makam keramat. Penentuannya bergantung pada kebijakan masing-masing penguasa lokal.
    Setelah kekalahan Diponegoro dalam Perang Jawa (1830), wilayah Bagelen dijadikan Karesidenan dengan ditetapkannya Tumenggung Cokronegoro I sebagai Bupati I oleh Gubernur Van Den Bosch. Pusat pemerintahan di Brengkelan namun kemudian dipindahkan ke Kedung-Kebo yang kelak menjadi Purworejo. Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah provinsi di Hindia Belanda dan kemudian Indonesia hingga tahun 1950-an. Sebuah karesidenan (regentschappen) terdiri atas beberapa Afdeeling (kabupaten). Tidak di semua provinsi di Indonesia pernah ada karesidenan. Hanya di pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, Lombok dan Sulawesi saja.

    Biasanya ini daerah-daerah yang penduduknya banyak. Bagelen sebagai karesidenan yang sebelumnya memiliki lima kabupaten yaitu: Ketanggung (ketangong), Semawung (Semawong), Kuto-Winangun (Koetowinangon), Remo dan Urut-Sewu (Oeroet-Sewu), maka saat berubah status menjadi wilayah karesidenan memiliki empat afdeeling yang terdiri dari enam kabupaten serta dua puluh tiga distrik. Afdeeling pertama adalah Purworejo dan Kutoarjo, afdeeling kedua adalah Kebumen dan Karanganyar, afdeeling ketiga adalah Ambal serta afdeeling keempat Ledok yang sebelumnya disebut Urut Sewu (Himmayatul Ittihadiyah, Bagelen Paska Perang Jawa (1830-1950), Dinamika Sosial Politik dan Ekonomi di Bekas Wilayah “Negaragung” Kasultanan Mataram Islam (Vorstenlanden), Jurnal ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, 2012:239-240).

    Karesidenan Bagelen dihapus pada tanggal 1 Agustus 1901 dan digabungkan pada karesidenan Kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten. Penghapusan karesidenan dilatarbelakangi berbagai gerakan perlawanan dari kalangan agama di Abad XIX terhadap pemerintahan kolonialis Belanda seperti pergerakan Kiai Imampura pada tahun 1884 dan Imam Mu’alam serta Kiai Sadrach dari kalangan Kristen yang dicurigai melalukan pemberontakan dikarenakan jumlah pengikutnya yang banyak (Radix Penadi, Menemukan Kembali Jati Diri Bagelen: Dalam Rangka Menjadi Hari Jadi, Purworejo,1993: 37)

    Struktur Sosial Masyarakat Bagelen
    Struktur pemerintahan yang bersifat konsentris (Kraton, Kuthagara, Negaragung, Mancanegara, Pasisiran) dengan pembagian jenis wilayah tentu saja akan menghasilkan struktur sosial pada masyarakat Bagelen. Struktur sosial ialah jalinan unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat. Unsur-unsur sosial yang pokok tersebut meliputi (Prof. DR. C. Dewi Wulansari, SH., MH., SE, MM., Sosiologi: Konsep dan Teori, 2009: 43)
    1. Kelompok sosial
    2. Kebudayaan
    3. Lembaga sosial atau institusi sosial
    4. Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial
    5. Kekuasaan dan wewenang
    Setiap wilayah administratif akan melahirkan penguasa wilayah serta stratifikasi sosial vertikal yang berbeda antara Kraton, Kuthagara, Negaragung, Mancanegara, Pasisiran. Sistem kelas dan stratifikasi sosial mulai terbangun antara elit pusat dan elit daerah. Kraton di pimpin oleh raja (sunan atau sultan) serta patih serta senapati dll. Negaragung dipimpin oleh seorang wedana, Mancanegara dipimpin oleh Adipati, Pesisiran dipimpin oleh Demang dst. Stratifikasi sosial vertikal lainnya yang terbentuk tentu saja adalah kelompok priyayi (elit pusat dan elit daerah) dan kelompok agama (para pemimpin agama dan santrinya) serta kelompok kawulo (hamba) yang umumnya hidup sebagai petani karena wilayah Bagelen adalah salah satu lumbung padi Mataram.

    Pemilahan wilayah administratif bukan hanya berdampak pada terbentuknya pelapisan sosial dan kelas sosial melainkan berkembangnya kebudayaan di masing-masing wilayah administratif tersebut. Kebudayaan yang dimaksudkan bukan hanya sekedar ekspresi kesenian melainkan lebih luas dari itu. Sebagaimana dikatakan Antropolog C. Kluckohn dalam karyanya Universal Categories of Culture mengatakan bahwa kebudayaan memiliki tujuh unsur yaitu (Prof. DR. Soerjono Soekanto dan Dra Budi Sulistyowati, MA., Sosiologi: Suatu Pengantar, 2013: 154)
    1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat produksi, transpor dsb)
    2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dsb)
    3. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politi, sistem hukum, sistem perkawinan)
    4. Bahasa (lisan maupun tertulis)
    5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak)
    6. Sistem pengetahuan
    7. Religi (sistem kepercayaan)
    Kebudayaan Kraton berkembang di sekitar Kuthagara dan Negaragung dan menghasilkan unsur-unsur kebudayaan yang terekspresi dalam wujud-wujud sastra, kesenian, bahasa yang mencerminkan kesantunan yang tinggi. Sementara di wilayah Mancanegara dan Pesisiran pengaruh kebudayaan keraton tidak berakar sekuat di wilayah-wilayah Negaragung.

    Kolonialisme Hindia Belanda khususnya paska kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830) telah mengubah struktur sosial masyarakat Bagelen. Pengaruh kekuasaan keraton semakin melemah dan terbonsai khususnya di masa Cultuurstelsel (Tanam Paksa), dimana Bagelen yang semula wilayah pusat lumbung padi kasultanan dan kasunanan berubah fungsi menjadi pusat-pusat penanaman nila (indigo) yang diwajibkan oleh pemerintahan Hindia Belanda demi kebutuhan ekspornya. Sistem perekonomian yang semula adalah “sistem upeti” dan “sewa tanah” kepada sultan atau sunan berubah menjadi “tanam paksa” dan kemudian “sistem liberal” (Himayatul Ittihadiyah, Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950): Dinamika Sosial Politik dan Ekonomi di Bekas Wilayah “Negaragung” Kasultanan Mataram Islam (Vorstenlanden), Jurnal ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, 2012: 239-240).

    . Perubahan sistem politik dan sistem ekonomi ini tentunya membawa dampak sosial bagi masyarakat Bagelen. Struktur sosial bergeser dan kehidupan perekonomian menimbulkan penderitaan dan kemiskinan pada masyarakat petani. Dengan ditetapkannya Bagelen menjadi wilayah karesidenan tentu saja muncul strata sosial baru seperti Residen dan Asisten Residen dan jabatan-jabatan fungsional lainnya yang menggantikan fungsi sebelumnya yang dijalankan oleh pemerintahan keraton.
    Banyumas: Periode Mataram Hingga Kolonialisme Hindia Belanda
    Berbeda dengan Bagelen yang pernah mengalami perubahan status politik dan administratif sebagai wilayah Negaragung Mataram kemudian Mancanegara Yogyakarta dan Surakarta maka Banyumas sebelum ditetapkan menjadi wilayah karesidenan merupakan wilayah Mancanegara Kilen baik di masa Mataram maupun di masa Kasunanan Surakarta paska Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 (DR. Tanto Sukardi, M.Hum., Tanam Paksa di Banyumas: Kajian Mengenai Sistem, Pelaksanaan dan Dampak Sosial Ekonomi, 2014: 6).

     Berdirinya Banyumas sebelum menjadi wilayah karesidenan bersamaan dengan keruntuhan Kesultanan Pajang (1582) dan naiknya Kesultanan Mataram (1588). Di zaman Kolonial ada 12 bupati yang memerintah di Banyumas yang terdiri dari 10 bupati dari zaman Mataram dan 2 bupati dari zaman Kasunanan Surakarta. (Ibid., hal 6). Tahun 1816 wilayah Banyumas dibagi menjadi dua bagian yitu Kabupaten Banyumas Kasepuhan dan Kabupaten Banyumas Kanoman yang keduanya di bawah kekuasaan Wedono Bupati (Ibid., hal 17-18). Bupati Kabupaten Banyumas Kasepuhan diperintah oleh Adipati Cokronegoro (1816-1831) dengan wilayah kekuasaannya meliputi, Adireja, Adipala, Purwokerto, sebagian Panjer Kebumen, sebagian Banjarnegara. Sementara Bupati Kabupaten Banyumas Kanoman diperintah oleh Raden Adipati Brataningrat (1816-1830) dengan wilayah kekuasaannya meliputi, Sokaraja, sebagian Panjer, sebagian Banjarnegara.

    Adapun pembentukan Karesidenan Banyumas baru ditetapkan pada tahun 1833, dengan membawahi lima kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, dan Purwokerto. Kantor Residen  Banyumas dibangun di kota Banyumas serta pejabat residennya adalah orang Belanda. Pada waktu itu, yang menjabat bupati adalah keturunan Cakrawedana I, Tumenggung Cakrawedana II  pada tahun 1830-1879. (Ragil Armando, Dari Kadipaten ke Karesidenan (Sejarah Perkembangan Pemerintahan Banyumas dari Tahun 1800-1950, 2012 -http://pedangsangmujahid.blogspot.com)

    Struktur Sosial Masyarakat Banyumas
    Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa wilayah Banyumas memiliki status kewilayahan Mancanegara Kilen baik di masa Mataram maupun di masa Kasunanan Surakarta paska Perjanjian Giyanti (1755). Sepanjang sejarah Jawa, tidak pernah ada raja yang berkeraton di wilayah Banyumas. Yang ada hanya Adipati (Bupati) Kraton yang diangkat untuk mewakili kepentingan-kepentingan kraton di Jawa Barat (Pajajaran pada zaman Kadipaten Pasirluhur Abad ke 14-15), Jawa Timur (Majapahit dengan Kadipaten Wirasaba I Abad ke-15), Jawa Tengah bagian Timur (Demak, Pajang, Mataram pada zaman Kadipaten Wirasaba II sampai Kabupaten Banyumas pada Abad ke-16-19). Wilayah Banyumas kerap diibaratkan dengan istilah adoh ratu cedhak watu (jauh dari raja dekat dengan batu)  (Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak, 2008: 128)
    Pemeo di atas menggambarkan kondisi geografis wilayah Banyumas yang sekalipun subur namun termasuk wilayah pedalaman yang terisolasi oleh pegunungan yang membentang di sepanjang utara dan selatan sehingga tidak strategis (Op.Cit., Tanam Paksa di Banyumas: Kajian Mengenai Sistem, Pelaksanaan dan Dampak Sosial Ekonomi, hal 11). Dua jalur mengapit wilayah Banyumas yaitu Pegunungan Serayu Selatan dan Pegunungan Serayu Utara. Pegunungan Serayu Utara merupakan sambungan dari Pegunungan Dieng di timur laut yang membujur ke arah barat. Punjak Pegunungan Serayu Utara adalah Gunung Slamet, Gunung Pojok Telu dan Gunung Parahu. Sementara itu Pegunungan Serayu Selatan merupakan kepanjangan dari pegunungan Sumbing. Perbatasan antara Pegunungan Sumbing dengan Pegunungan Serayu Selatan berupa barisan bukit-bukit terjal di wilayah timur Banyumas.

    Di antara kedua pegunungan tersebut terletak daerah inti Banyumas yang dialiri Sungai Serayu sehingga menghasilkan kesuburan bagi lahan pertanian dan perkebunan. Mengenai kesuburan wilayah Banyumas sekalipun dikelilingi lembah dan gunung yang menyulitkan transportasi digambarkan oleh DR. Tanto Sukardi, M.Hum sbb: “Dengan melihat kondisi geografis, maka dapat dinyatakan bahwa daerah inti Banyumas, merupakan wilayah yang sangat menarik bagi pihak kolonial, yang sejak 1830 berkuasa di daerah itu. Persawahan yang subur dengan pengairan alami yang memadai merupakan potensi yang sangat menjanjikan keuntungan besar, melalui eksploitasi yang bersifat ekonomi. Sesuai dengan pertimbangan itulah, maka Banyumas sangat tepat untuk dieksploitasi melalui kebijakkan Sistem Tanam Paksa” (Ibid., hal 13-14).


    Kondisi geografis berupa batuan pegunungan dan bentang alam serta jauhnya wilayah Banyumas dari pusat pemerintahan dan kebudayaan Kraton sangat berpengaruh terhadap perwatakkan dan struktur sosial masyarakat di wilayah Banyumas. Budiono Herusatoto mendeskripsikan perwatakan orang-orang yang tinggal di Banyumas dengan istilah lageyan (sifat seseorang atau komunitas) yang berjumlah delapan yaitu (Op.Cit., Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak, hal 179-180):
    1. Cowag (berbicara dengan suara keras)
    2. Mbloak (suka ngomong bergaya serius, cablaka dan humoris)
    3. Dablongan atau ndablong (seenaknya sendiri kalau mengritik atau berkelakar)
    4. Ajiban (reaksi spontan secara verbal jika mendapatkan sesuatu yang memenuhi hasrat kenikmatan. Setara dengan seruan, asyik…)
    5. Ndobos (berebut bicara saat mengeluarkan ide)
    6. Mbanyol (bergurau)
    7. Ndopok (omong-omong mengeluarkan uneg-uneg)

    Kondisi masyarakat Banyumas yang jauh dari pusat politik dan pemerintahan Kraton tersebut tentu saja memiliki struktur sosial yang lebih sederhana yang terdiri dari kalangan elit/priyayi yang memiliki peranan sebagai pelaksana kebijakkan Kraton di tingkat kadipaten dan kalangan rakyat petani yang hidup dari pertanian.
    Berbicara mengenai perwatakan dan karakteristik masyarakat Banyumas, lebih jauh lagi Budiono Herusatoto mengidentifikasi tokoh wayang Bawor. Tokoh Bawor sebagai anak sulung Semar hanya ada dalam pewayangan Gagrag Banyumasan dan Pasundan sementara dalam Gagrag Surakarta hanya dikenal tokoh, Petruk, Gareng dan Bagong. Bawor sendiri diciptakan dari bayangan Semar untuk menemaninya di dalam tugasnya di dunia manusia. Adapun lageyan (sifat seseorang atau komunitas) Bawor meliputi (Ibid., hal 202):
    1. Sabar lan narima (sabar dan menerima apada adanya dalam kehidupan keseharian)
    2. Berjiwa ksatria (jujur, berkepribadian baik, toleran)
    3. Cancudan (rajin dan cekatan)
    4. Cablaka (lugas dan terbuka tanpa tedeng aling-aling)
    Pengidentifikasian tokoh pewayangan Bawor dengan orang Banyumas dijelaskan oleh Budiono Herusatoto sbb: “…sifat dan sikap wong banyumasan itu adalah seperti sifat dan sikapnya Bawor, yaitu terbentuk oleh satu hal: adoh ratu cedhak watu (jauh dari raja dekat dengan batu). Artinya, jauh dari tata pergaulan kraton, namun hanya dekat dengan kehidupan alamiah. Bicaranya saja bahasa Jawa kluthuk (bersahaja, asli kuno), sing pating blekuthuk (saling menimpali adu keras seperti suara air mendidih)” (Ibid., hal 204). Senada dengan Budiono Herusatoto, dalam artikelnya berjudul Konsep Panginyongan Dalam Tokoh Bawor, Yus Wong Banyumas menyimpulkan, “Tokoh Bawor dimunculkan untuk mewakili eksistensi kebudayaan Banyumas yang merupakan percampuran berbagai sumbu budaya, seperti budaya Jawa, Sunda, Hindu-Budha (India), Islam, Cina, Barat dan budaya Banyumas sendiri. Memandang Bawor tak ubahnya memandang Banyumas, sebagai sebuah kultur yang menjadi tali simpul berbagai ragam budaya” (Yus Wong Banyumas, Konsep Panginyongan Dalam Tokoh Bawor - http://bumi-banyumas.blogspot.com).


    Jika Budiono Herusatoto menjelaskan perwatakan dan struktur sosial masyarakat Banyumas yang berorientasi pada kerakyatan dan kesetaraan dengan mengkaji sifat-sifat perwatakan dengan istilah lageyan dan mengidentifikasi dengan tokoh wayang bernama Bawor, maka Ahmad Tohari dan Yus Wong Banyumas menggunakan konsep Panginyongan untuk menjelaskan karakteristik dan struktur sosial masyarakat Banyumas. Dalam artikelnya, Yang Tak Terjamah Hegemoni Kraton, Yus Wong Banyumas menjelaskan konsep Pangiyongan sbb: “Penginyongan dalam tataran konsep lahir sebagai bentuk counter terhadap keberadaan priyayi di Banyumas. Kehadiran kebudayaan kraton di Banyumas menyisakan tradisi priyayi yang menganggap diri mereka sebagai kelompok masyarakat yang lebih santun, lebih beradab dan lebih unggul dibanding dengan masyarakat kebanyakan. Hal ini mengakibatkan geliat wong cilik untuk mampu eksis di tengah jagad sesrawungan (pergaulan). Mereka seakan ingin mengukuhkan jatidiri sebagai sebuah komunitas masyarakat yang memiliki wewaton atau paugeran (konvensi), adat dan tradisi yang berbeda dengan kaum priyayi” (Yus Wong Banyumas, Yang Tak Terjamah Hegemoni Kraton - http://bumi-banyumas.blogspot.com).
    Kedudukan Kebumen di Era Mataram Hingga Kolonialisme Belanda

    Menurut salah satu versi, asal mula nama Kebumen dihubungkan dengan salah tokoh bernama Pangeran Bumidirjo. Beliau adalah bangsawan ulama dari Mataram, adik Sultan Agung Hanyokro Kusumo. Ia dikenal sebagai penasihat raja, yang berani menyampaikan apa yang benar itu benar dan apa yang salah itu salah. Pangeran Bumidirjo sering memperingatkan raja bila sudah melanggar batas-batas keadilan dan kebenaran. Ia berpegang pada prinsipagar  raja adil dan bijaksana.
    Disamping itu juga ia sangat kasih dan sayang kepada rakyat kecil. Pada masa pemerintahan Amangkurat I, Pangeran Bumidirjo memberanikan diri memperingatkan keponakannya, yaitu Sunan Amangkurat I akibat kebijakan-kebijakkannya yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan mengecam hukum qishos terhadap Pangeran Pekik dan keluarganya (mertuanya sendiri). Karena sunan ini sudah melanggar paugeran keadilan dan bertindak keras dan kejam bahkan berkompromi dengan VOC (Belanda) dan memusuhi bangsawan, ulama dan rakyatnya. Peringatan tersebut membuat Sunan Amangkurat I murka dan merencanakan pembunuhan Pangeran Bumidirjo. Untuk menghadapi hal itu, Pangeran Bumidirjo lebih baik pergi meloloskan diri dari kungkungan sunan Amangkurat I. Dalam perjalanan ia tidak memakai nama bangsawan, namun memakai nama Kyai Bumi saja. K
    yai Bumidirjo sampai ke Panjer dan mendapat hadiah tanah di sebelah utara kelok sungai Lukulo, pada tahun 1670. Pada tahun itu juga dibangun padepokan/pondok yang kemudian dikenal dengan nama daerah Ki bumi atau Ki-Bumi-An, menjadi Kebumen. (Sejarah Kebumen - http://www.kebumenkab.go.id).
    Nama Panjer sudah ada sejak zaman Mataram dan dihubungkan dengan sebuah wilayah pemerintahan di wilayah Kebumen masa kejayaan Sultan Agung. Ada Panjer Rooma dan ada Panjer Gunung. Pada zamannya, Panjer menjadi wilayah penyedia logistik (lumbung padi) pasukan Sultan Agung saat akan menyerang Batavia. Eksistensi wilayah Panjer tidak bisa dilepaskan dari dua dinasti yang pernah berkuasa namun pada akhirnya saling berseteru yaitu Dinasti Arung Binang dan Dinasti Kolopaking. Perseteruan yang terjadi dikarenakan Adipati Arungbinang bekerjasama dengan VOC untuk menumpas Adipati Kolopaking yang mendukung Pangeran Diponegoro. Kedua dinasti yang pernah berkuasa itu sebenarnya dari satu garis keturunan yaitu Prabu Brawijaya V. Yang satu berasal dari garis garwa padmi dan satunya berasal dari garwo ampilan. (P. Tirto Wenang Kolopaking, Sejarah Silsilah Wiraseba Banyumas, Ki Ageng Mangir - Kolopaking – Arungbinang, 2006: 204-205, 216-217).

    Prabu Brawijaya V melahirkan Jaka Balut (Mangir I) dan Jaka Balut melahirkan Mangir Wonoboyo (Mangir VI) yang kelak menikah dengan Putri Pembayun sehingga menurunkan Bagus Maduseno. Dari pernikahannya dengan Dewi Marjati lahirlah Ki Bagus Bodronolo yang kemudian menikah dengan Endang Patrasari sehingga melahirkan Raden Bagus Kertosuto dan Raden Bagus Hastrosuto  (Ibid.,).
    Bodronolo sendiri menguasai wilayah yang kelak dinamai Panjer Gunung yaitu di wilayah Karanglo. Tahun 1623 Sultan Agung mengutus Ki Suwarno untuk mencari lumbung padi untuk persiapan penyerbuan ke Batavia. Ki Bagus Bodronolo membantu penyediaan lumbung padi sampai akhirnya Bodronolo dijadikan pengawal pangan yang dikirim ke Batavia. Sementara Ki Suwarno ditetapkan untuk menjaga lumbung padi (dipanjer). Oleh karenanya daerah tersebut dinamakan Panjer (saat ini masuk wilayah kecamatan Sadang). Untuk menutup kekesalan Ki Suwarno yang tidak diikutsertakan dalam pertempuran ke Batavia maka Sultan Agung menetapkan Ki Suwarno sebagai Bupati Persediaan Pangan di Panjer. Tahun 1674 Panjer ditetapkan sebagai Kabupaten Ketataprajaan dan Ki Suwarno sebagai Bupati Panjer. Karena letaknya di wilayah pegunungan maka dinamakan Panjer Gunung.
    Sedangkan di wilayah Roma (ngarai) ditetapkanlah Ki Bagus Bodronolo sebagai Bupati Panjer Roma 1 atas jasanya menahan pasukan VOC yang hendak mendarat di Pantai Petanahan. Tahun 1674 Panjer Gunung dan Panjer Rooma digabungkan oleh Mataram dengan nama Panjer dengan bupatinya bernama Ki Kertowongso cucu Ki Bagus Bodronolo dan bergelar Ki Gede Panjer III. Penyebab penyatuan ini dikarenakan Bupati Panjer Gunung (Tumenggung Wongsonegoro) dan Bupati Panjer Rooma II tidak melaporkan kedatangan Pangeran Bumidirjo dari Mataram yang dikejar-kejar Sunan Amangkurat I. Bahkan Bupati Panjer Rooma II memberikan tanah kepada Pangeran Bumidirjo untuk dijadikan pemukiman (Agus M. Jumali, Pasar Kebumen Masa Pemerintahan Arung Binang VII, 2011, hal 11-12).
    Ki Kertowongso cucu Ki Bagus Bodronolo dan bergelar Ki Gede Panjer III pada tahun 1677 kedatangan Sunan Amangkurat I yang sedang berada dalam pelarian disebabkan pemberontakan Trunojoyo.

     Akibat keracunan maka Amangkurat I beristirahat di wilayah Panjer dan disediakan minuman air kelapa kering hingga keracunannya sembuh. Peristiwa tersebut menjadikan titik balik bagi karir Kertowongso yang kemudian dinobatkan menjadi Tumenggung Kalapa Aking (Kolopaking) I Tanggal 2 Juli 1677 yang kemudian akan melahirkan Dinasti Kolopaking di wilayah Kebumen (Op.Cit., Sejarah Silsilah Wiraseba Banyumas, Ki Ageng Mangir - Kolopaking – Arungbinang, hal 59)
    Adapun Dinasti Arungbinang dapat ditarik dari silsilah Pangeran Bumidirjo yang menjadi pelarian dari Mataram akibat ketidaksepahaman dengan keponakkannya yaitu Sunan Amangkurat I atas berbagai kebijakkannya. Pangeran Bumidirjo yang kemudian ditolong oleh Ki Bagus Bodronolo (Ki Gede Panjer Roma) dengan disediakan tanah pemukiman, memiliki 4 anak bernama: Kyai Gusti, Kyai Bagus, Kyai Ageng dan Kyai Bekel. Setelah kewafatan Bumidirjo, kepemimpinan pemukiman digantikan oleh Kyai Bekel dan kemudian digantikan Kyai Ragil.

     Kyai Ragil memiliki 2 orang anak bernama Hanggayudha dan Singayudha. Hanggayudha terpilih sebagai Demang Kutowinangun dan menikahi anak Demang Mawar sehingga berputra tujuh yang salah satunya bernama Jaka Sangkrib. Banyak kisah dan legenda terkait dengan Joko Sangkrip yang sejak kecil mengalami penyakit kulit ini. Berbagai kisah legendaris menghantarkan Joko Sangkrip pada karir kesuksesan dimana dirinya yang dalam petualangannya menggunakan nama Surawidjaya akhirnya dapat menumpas pemberontak di wilayah Banyumas bernama Damarwulan dan Menak Koncar. Karena keberhasilannya, Surawidjaya alias Jaka Sangkrip kemudian diangkat menjadi Matri Gladhag dan bergelar Kyai Hanggawangsa. Tahun 1742, Surawidjaya alias Jaka Sangkrip alias Kyai Hanggawangsa diangkat menjadi Bupati Nayaka dengan gelar Tumenggung Aroeng Binang I. Setelah 33 tahun mengabdi di Kerajaan Mataram maka Tumenggung Aroeng Binang I kembali ke kampung halamannya di Kutowinangun hingga wafatnya Tahun 1755. (Op.Cit., Pasar Kebumen Masa Pemerintahan Arung Binang VII, hal 21-26)

    Ketika pecah perang Jawa atau Perang Diponegoro kelompok elit di wilayah Kebumen (Panjer khususnya) terbelah menjadi dua. K.R.A.T. Kolopaking IV memihak Pangeran Diponegoro sementara Adipati Aroeng Binang IV memihak VOC dan Surakarta serta Yogyakarta. Perselisihan dan pertempuran tidak terelakkan bahkan hingga berakhirnya Perang Jawa dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro. Dikisahkan Adipati Aroeng Binang IV beserta laskar kasunanan dan kasultanan serta pasukan VOC menggempur benteng pertahanan yang ada di wilayah Kutowinangun.

    Sekitar Februari 1831 seluruh kekuatan pasukan VOC di bawah pimpinan Mayor Biscus dibantu laskar-laskar Surakarta dan Yogyakarta serta Arung Binang IV berhasil menguasai Panjer Rooma. Terjadi perang tanding yang cukup sengit antara K.R.A.T. Kolopaking IV dan Adipati Aroeng Binang IV dan wilayah perkelahian tersebut di namai Kupu Tarung (sekarang berdiri Tugu Lawet). Saat Adipati Aroeng Binang IV terdesak pasukan VOC berbuat kecurangan dengan menembak dari belakang tubuh K.R.A.T. Kolopaking IV sehingga tersungkur. (Op.Cit., Sejarah Silsilah Wiraseba Banyumas, Ki Ageng Mangir - Kolopaking – Arungbinang, hal 283).

    Setelah K.R.A.T. Kolopaking IV wafat dan pemerintahan berpindah tangan kepada Adipati Aroeng Binang IV (Mangundiwiryo), Tahun 1833 Adipati Aroeng Binang IV ditetapkan sebagai Bupati di Panjer Rooma dan pusat pemerintahan dipindahkan ke utara dan dibangun sebuah rumah Kadipaten (sekarang dipakai sebagai kantor Bupati) dan mulai saat itu dinamai Kebumen yang berasal dari nama leluhurnya, yaitu Pangeran Bumidirjo atau Ki Bumi sementara wilayah pemerintahan lama hanya tinggal bernama Panjer tanpa menggunakan Rooma (Ibid., hal 213). Tahun 1861 Arung Binang IV digantikan oleh iparnya (karena tidak memiliki anak) yaitu Tirtorejo (Patih Karanganyar) sehingga menjadi Arung Binang V.(Ibid., hal 307-308). Jika dihitung hingga Tahun 1942, Kebumen telah memiliki 11 Tumenggung/Bupati yaitu (Kebumen Dalam Angka 2010, Bapeda Kabupaten Kebumen dan Pusat Statistik Kabupaten Kebumen):
    1. Bodronolo (1642-1657)
    2. Hastrosuto (1657-1677)
    3. Kalapaking I (1677-1710)
    4. Kalapaking II (17101715)
    5. Kalapaking III (1751-1790)
    6. Kalapaking IV (1790-1833)
    7. Arung Binang IV (1833-1861)
    8. Arung Binang V (1861-1890)
    9. Arung Binang VI (1890-1908)
    10. Arung Binang VII (1908-1934)
    11. Arung Binang VIII (1934-1942)
    Nama Panjer dan Kutowinangun sudah disebut-sebut di era Mataram Islam (zaman Sultan Agung memerintah, 1613-1645) bahkan paska Perjanjian Giyanti (1755) dan sejak dulu masuk wilayah Mancanegara Kilen bersama dengan Banyumas. Pernah menjadi wilayah Karesidenan Bagelen maupun wilayah Karesidenan Banyumas di zaman pemerintahan Hindia Belanda. Pengaruh kekuasaan administratif tersebut tumpang tindih di Kebumen paska Perjanjian Giyanti. Sebagian wilayah menjadi milik Kasultanan Yogyakarta dan sebagian wilayah menjadi milik Kasunanan Surakarta.

    Kebumen Sebagai Pertemuan Arus Budaya Negaragung dan Mancanegara Serta Dampak Sosial Kulturalnya
    Karena Kebumen (Panjer, Kutowinangun, Karanganyar) pernah mejadi wilayah-wilayah administratif dari Bagelen yang mewakili kebudayaan Negaragung dan Banyumas yang mewakili kebudayaan Mancanegara Kilen, maka terciptalah sub kultur perpaduan kebudayaan mapan sebelumnya yaitu Banyumas dan Bagelen sehingga menghasilkan keunikkan dalam logat berbahasa antara timur sungai Luk Ulo dan barat sungai Luk Ulo. Selengkapnya Mustolih dalam artikelnya, Masyarakat Kebumen Masih Cari Jati Dirinya mendeskripsikan sbb: “Dari logat bahasanya, Kebumen terbagi dua. Sebelah timur aliran sungai Luk Ulo berbahasa dengan didominasi vokal ''o'', dan mbandek (poko'e).
    Sementara di sebelah barat aliran sungai Luk Ulo didominasi vokal ''a'' dan ''k'' medok, (pokoke). Sedangkan, di antara aliran sungai Luk Ulo dan aliran Sungai Kedungbener bahasanya campur bawur, ada yang memakai poko'e, ada yang memakai pokoke. Sedangkan sebelah utara Gunung Krakal masyarakat lebih fasih berbicara dengan logat Wonosoboan dengan memanjangkan fonem akhir. Kebiasaan dan adat istiadat di Kebumen juga beragam, penduduk yang tinggal di sebelah barat sungai Luk Ulo lebih suka nanggap calung, dan eblek, sedangkan penduduk yang tinggal di sebelah timur sungai Luk Ulo lebih suka nanggap wayang kulit atau ndolalak untuk acara resepsi. Orang Kebumen yang tinggal di sebelah timur aliran sungai Luk Ulo disebut wong wetan kali, di antaranya Kecamatan Kutowinangun, Ambal, dan Mirit. Mereka lebih terkesan mriyayi sedang di Kecamatan Padureso, Poncowarno dan Alian lebih kental dengan logat Wonosoboan. Sebaliknya, orang Kebumen yang tinggal di sebelah barat aliran Sungai Luk Ulo disebut wong kulon kali, di antaranya Kecamatan Pejagoan, Klirong, Sruweng, Petanahan, Kuwarasan, Gombong, yang lebih terkesan merakyat, meskipun tidak seluruhnya” (Mustolih Brs, Masyarakat Kebumen Masih Cari Jati Dirinya -
    http://www.suaramerdeka.com).

    Sungguh menarik melihat fenomena sosial budaya berupa pertemuan dan percampuran kebudayaan Bagelenan dan kebudayaan Banyumasan yang bermuara di Kebumen. Kenyataan ini menjadikan Kebumen sebagai wilayah “jepitan dua arus kebudayaan mapan” (Ibid) yaitu Bagelen yang mriyayi dan Banyumas yang merakyat. Tidak mengherankan ketika masyarakat Kebumen merasa bahwa identitas kebudayaannya menjadi tidak begitu tegas dan jelas, itu semua dikarenakan Kebumen merupakan wilayah pertemuan arus kebudayaan dan menjadi wilayah jepitan dua kebudayaan yang saling bertolakbelakang. Ketidakjelasan identitas kebudayaan ini kerap muncul dalam ungkapan kalimat yang mengindikasikan pencarian jati diri baik kebudayaan, kesenian, kebahasaan, pakaian adat dll.

    Jika dilihat dari indikator logat kebahasaan dan lageyan (sifat seseorang atau komunitas), memang masyarakat Kebumen merupakan bagian dari arus kebudayaan Banyumas yang kental dengan bahasa Ngapak-ngapak dan budaya Cablakanya. Namun itu hanya berlaku di wilayah yang sudah merapat dengan wilayah Banyumas dari arah Kulon Kali (sekalipun pemilahan ini tidak berlaku tegas di era modern ini). Sementara di wilayah lain khususnya Wetan Kali, indikator kebahasaan dan lageyan (sifat seseorang atau komunitas) menujukkan ciri kebudayaan Bagelen yang dekat dengan Kraton yang mriyayi. Keterbelahan karakteristik inilah yang nampaknya menyebabkan masyarakat Kebumen tidak teridentifikasi keaslian budayanya dan cenderung abu-abu dan kompromistik dalam perilaku sosialnya. Di Kebumen hampir jarang ditemui pemikiran-pemikiran dan perilaku ekstrim yang dapat direspon positip oleh masyarakat secara keseluruhan. Perbedaan pendapat sebagai hasil berfikir kritis kerap diharmonisasikan sehingga jangan sampai terjadi konflik berkepanjangan baik konflik horisontal maupun konflik vertikal. Hasilnya yang nampak di permukaan adalah bentuk perilaku yang stagnan dan tidak dinamis serta lambat merespon perubahan.

    Namun demikian, sekalipun Kebumen menjadi wilayah pertemuan dua arus kebudayaan atau jepitan kebudayaan, namun secara historis dan kultural, karakteristik masyarakat Kebumen sama-sama memiliki status historis yang sama sejak zaman Mataram yaitu Mancanegara Kilen (sekalipun di era kesunanan dan kesultanan Kebumen pernah menjadi wilayah Bagelen yang adalah Negaragung) yang berlaku juga pemeo untuk masyarakat Banyumasan yaitu adoh ratu cedhak watu (jauh dari raja dekat dengan batu). Dan secara kultural, masyarakat Kebumen mewarisi budaya Panginyongan yang merupakan identitas lokal Banyumasan dimana budaya Panginyongan pun mencerminkan budaya kerakyatan, anti struktur, terbuka, blakasuta, cablaka, egaliter (kesetaraan). Ahmad Tohari dalam makalahnya yang disampaikan pada Seminar Menggali Nilai-Nilai Kebumen mengatakan bahwa masyarakat Kebumen merupakan bagian dari keluarga besar Wong Banyumas yang bukan berakar pada kebudayaan Jawa Mataraman melainkan berakar pada kebudayaan Jawa kuno yang meninggalkan monumen besar berupa candi Borobudur (Abad IX-X Ms). Nilai-nilai budaya pembuat candi Borobudur yang beragama budaya meninggalkan warisan nilai budaya berupa karakter kesetaraan (egalitarian), orientasi kerakyatan (demokrasi), keterusterangan dan kejujuran (transparansi) serta keyakinan terhadap eksistensi Tuhan Yang Esa (Ahmad Tohari, Kebumen Mewarisi Budaya Masyarakat Tanpa Kasta, makalah disampaikan pada seminar Menggali Nilai-Nilai Kebumen, Aula Sekda Kebumen, Tgl 20 Desember 2014)

    Apakah posisi Kebumen yang masih menduduki peringkat kemiskinan nomor dua se-Jawa Tengah berkaitan dengan dampak sosial kultural sebagai wilayah pertemuan dua arus kebudayaan? Saya belum berani memastikan sepenuhnya namun setidaknya kajian awal ini semacam hipotesis awal yang berusaha menemukan akar persoalan kemiskinan bukan pada kekurangan sumber daya alam karena Kebumen memiliki sumber daya alam yang bisa dikembangkan secara maksimal, melainkan dari faktor sumber daya manusia. Sumber daya manusia berkaitan dengan kebudayaan (kultur) dan kebudayaan yang berkembang di Kebumen sebagaimana penjelasan di atas adalah kebudayaan campuran dari kebudayaan keraton dan kerakyatan sehingga menghasilkan beberapa bentuk pola perilaku yang cenderung kompromistis alias mencari jalan tengah serta kurang responsif terhadap perubahan. Pendapat ini tentu saja masih perlu diperdalam dan dibuktikan melalui sejumlah penelitian terkait.

    Sebagaimana dipaparkan oleh Sekda Adi Pandoyo, SH., M.Si., saat menyampaikan makalahnya, Potensi Kebumen di Tengah Angka Kemiskinan yang Tinggi sbb: “Salah satu masalah pembangunan yang dihadapi Kabupaten Kebumen adalah masih tingginya tingkat kemiskinan penduduk. Tahun 2013, menurut data dari Badan Pusat Statistik/BPS mencapai 21,32% atau sebanyak 251.100 jiwa penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Persentase itu di atas rata-rata Nasional yang hanya 11,37% dari Provinsi Jawa Tengah yang sebesar 14,56%. Angka kemiskinan tersebut juga menempatkan Kabupaten Kebumen sebagai peringkat kedua daerah termiskin di Jawa Tengah” (Adi Pandoyo, SH., M.Si., Potensi Kebumen di Tengah Angka Kemiskinan yang Tinggi, makalah disampaikan pada seminar Menggali Nilai-Nilai Kebumen, Aula Sekda Kebumen, Tgl 20 Desember 2014).

    Pernyataan senada sebelumnya pernah disampaikan oleh kepala bidang kesejahteraan rakyat BAPEDDA Provinsi Jawa Tengah, Bambang Setiabudi, SH.,MM., disela-sela Musrenbag Kabupaten Kebumen di Aula Setda Kebumen, selasa Tanggal 19 Maret 2013 lalu sbb: "Jumlah warga miskin di Kabupaten Kebumen masih cukup tinggi. Tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen pada 2011 mencapai 24,06%, masih di atas rata-rata Provinsi Jawa Tengah sebesar 16,21% tahun 2011 dan separuh dari rata-rata nasional sebesar 12,49%. Demikianlah dikatakan" (Angka Kemiskinan Tetap Tinggi, Kebumen Ekspres 20 Maret 2013 hal 1).

    Jika hipotesis saya terbukti (ada keterkaitan signifikan antara warisan kultural percampuran kebudayaan keraton dan kerakyatan dengan angka kemiskinan yang masih tetap tinggi), maka bukan bermakna bahwa kita harus menjadikan warisan kultural sebagai kambing hitam dan mengabaikan faktor-faktor lain sebagai penyebab angka kemiskinan yang masih tinggi. Sebaliknya, analisis dan hipotesis di atas mendorong kita menemukan akar persoalan yang bersifat kultural sebagaimana ada istilah “kemiskinan kultural”. Apakah “kemiskinan kultural itu?” Revrisond Baswier menjelaskan kemiskinan berdasarkan penyebabnya yaitu kemiskinan natural, kemiskinan kultural serta kemiskinan struktural. Menurutnya, “Kemiskinan natural adalah keadaan kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan alamiah, baik pada segi sumber daya manusianya maupun sumber daya alamnya. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor kebudayaan yang menyebakan terjadinya proses pelestarian kemiskinan di dalam masyarakat itu. Sementara, kemiskinan sruktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakkan  perekonomian yang tidak adil, penguasaan faktor-faktor produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan perekonomian international ayng lebih menguntungkan negara tertentu” (Revrisond Baswir, Pembangunan Tanpa Perasaan: Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 2003:18).

    Dengan diketahuinya akar persoalan kemiskinan dari berbagai aspek, menolong kita untuk mengatasi dan memecahkan persoalan kemiskinan bukan dengan tindakan struktural belaka melainkan tindakan kultural berupa perubahan paradigma berfikir masyarakat melalui pendidikan kritis dan rasional. Proses pendidikan kritis dan rasional bisa melalui jalur formal yaitu sekolah sebagai pusat pendidikan maupun jalur non formal yaitu kelompok-kelompok dalam masyarakat baik lembaga-lembaga swadaya masyarakat maupun komunitas-komunitas kesenian. Dengan demikian, kemiskinan bukan di atasi secara struktural belaka melalui berbagai kebijakkan pemerintah yang pro rakyat dan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat melainkan menggunakan pendekatan kultural.

    Melalui kajian di atas kita dapat menempatkan kedudukan historis Kebumen di era Mataram hingga pemerintahan Hindia Belanda yaitu sebagai sebuah wilayah yang pernah menjadi Negaragung (Bagelen) dan Mancanegara Kilen (Banyumas) yang berdampak secara sosial dan kultural terhadap pembentukan struktur sosial dan kebudayaan masyarakat Kebumen. Sekalipun kultur Panginyongan yang lebih mewarnai masyarakat Kebumen diidentikan dengan kultur kemasyarakatan dan kawula alit yang anti struktur dan cenderung stagnan serta lambat merespon perubahan namun aspek positip lain dari kultur Panginyongan dapat dipergunakan untuk penguatan nilai-nilai moral yang cenderung tergerus di era modernisasi dan teknologi ini yaitu: kesetaraan (egalitarian), orientasi kerakyatan (demokrasi), keterusterangan dan kejujuran (transparansi) serta keyakinan terhadap eksistensi Tuhan Yang Esa.

    Oleh:
    Teguh Hindarto, MTh.
    Peminat Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial Kebumen



    Berita Terbaru :


    Scroll to Top