SUDARNO AHMAD/EKSPRES |
KEBUMEN (kebumenekspres.com)- Keberadaan Kelenten
g Kong Hwie Kiong tidak bisa lepas dari sejarah Kabupaten Kebumen. Kelenteng yang usianya jauh lebih tua dari usia Kabupaten Kebumen itu, telah menunjukkan eksistensinya menjaga kerukunan umat beragama di kabupaten dengan slogan Beriman ini.
Bagi masyarakat keturunan Tionghoa, kelenteng bukan sekadar tempat sembahyang para penganut Tri Dharma yakni Budha, Konghucu, dan Taoisme. Kelenteng mempunyai fungsi sosial, yakni sebagai pemersatu dan mempererat persaudaraan antara warga Tionghoa.
Salah satu fungsi sosial itu terlihat di kelenteng Kong Hwie Kiong Kebumen. Selain menjadi tempat ibadah, kelenteng yang berada di Jalan Pramuka nomor 41 Kebumen itu juga menjadi tempat berkumpul warga keturunan Tionghoa. Apalagi dalam rangkaian perayaan Imlek, intensitas warga berkumpul di tempat ini meningkat.
Terletak di tengah kota Kebumen, kelenteng Kong Hwie Kiong dibangun pertama kali oleh Liem Kik Gwan seorang letnan keturunan Tionghoa pada tahun 1898. Liem Kik Gwan merupakan seorang petugas pengumpul pajak (Kong Sin) bagi orang-orang Tionghoa untuk diserahkan kepada Belanda. Kelenteng dibangun sebagai tempat ibadah warga keturunan Tionghoa yang saat itu jumlahnya sudah cukup banyak.
Seksi Rumah Tangga Kelenteng Kong Hwie Kiong Kebumen, Tjen Lay menyampaikan, kelenteng yang berdiri di sisi timur Sungai Luk Ulo itu mengalami kerusakan berat akibat perang. Saat perang kemerdekaan itu, bangunan kelenteng runtuh. Bahkan sejumlah bagian hancur, kecuali beberapa tembok yang masih bertahan hingga sekarang. Sebab kala dalam agresi Belanda I sekitar tahun 1946, warga Tionghoa meninggalkan Kebumen untuk mengungsi ke Yogyakarta.
Sampai tahun 1950, sebagian warga Tionghoa pulang kembali ke Kebumen. Akan tetapi karena berbagai hal, baru pada tahun 1969, kelenteng dipugar kembali. Bangunan tahun 1969 itulah yang masih kokoh berdiri hingga saat ini. "Adapun bangunan asli yang masih tersisa hanya tembok sisi kanan, kiri dan bagian belakang," ujar Tjen Lay, kepada Kebumen Ekspres, baru-baru ini.
Kelenteng yang sudah berumur 118 tahun sejak dibangun pertama kali ini terdapat 15 altar dan 37 patung dewa-dewi (rupang). Adapun dewa yang menjadi tuan rumah di keleteng itu adalah Thian Shang Senmu atau Dewi Samudera. Selain itu, banyak pula yang memuja dewa Hok Tek Ceng Sin.
Sebagai kaum minoritas, tak dapat dipungkiri banyak hal yang harus dihadapi oleh warga keturunan Tionghoa dalam lintasan sejarah. Terlebih pada saat era orde baru yang sekian lama berkuasa, begitu ketat dalam membatasi aktivitas warga keturunan Tionghoa. Sejumlah perayaan pun tak dapat bebas dilakukan seperti saat ini.
Bersyukur, sekarang semua sudah terbuka. Bahkan perayaan Imlek pun ditetapkan oleh pemerintah RI sebagai hari besar nasional. Budaya Tionghoa pun sudah menjadi bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia.
Bahkan sudah beberapa kali kelenteng tersebut dikunjungi oleh santri-santri dari pondok pesantren. Mereka datang untuk menambah wawasan tentang budaya Tionghoa, yang merupakan salah satu kebudayaan tertua di dunia. Tak hanya menjaga kerukunan antara tiga agama, Budha, Konghucu, dan Taoisme, rumah budaya tersebut juga mampu menyapa ramah umat Islam sebagai agama mayoritas, serta pemeluk agama lainnya di Kabupaten Kebumen.(ori)