Di Sini Bupati Itu, ahhhh…, Orang Biasa
Banyak pejabat di Timor Leste yang me
milih hidup tanpa kawalan. Tiada pula protokoler ketat. Warga pun bebas menyampaikan keinginan secara langsung. Berikut laporan
--------------------
FOLLY AKBAR yang baru pulang dari sana.
-------------------------------------
ACACIO Pinto, 28, seorang warga Dili, mendadak terbangun dari kursinya. Dia berjalan beberapa langkah. Lalu menjabat tangan perempuan paro baya.
Di sekelilingnya, ratusan warga Dili lainnya tampak tenang. Setia menunggu antrean pengobatan gratis di KRI Soeharso yang bersandar di Pelabuhan Dili, Timor Leste.
”Itu Ibu Menteri Solidaritas Timor Leste,” ujar Acacio kepada Jawa Pos menunjuk si perempuan paro baya tersebut. Siang itu (31/1) Acacio juga turut berkumpul dengan rombongan kru KRI Soeharso asal Indonesia.
Beberapa kru kapal yang tidak memperhatikan aktivitas Acacio sebelumnya pun tampak bingung. ”Mana menterinya?” ujar Sapardi, salah seorang rombongan dari Indonesia. Meski hanya berjarak sekitar 7 meter, Sapardi tidak melihat ada sosok pejabat negara di hadapannya.
”Yang itu,” kata Acacio sembari menelunjukkan jari tangannya ke arah perempuan yang dimaksud. Sapardi dan beberapa orang lainnya pun tertegun.
Perempuan tua yang menjabat menteri solidaritas Timor Leste itu bernama Isabel Amaral Guterres. Itu mirip dengan menteri sosial jika di Indonesia. Usianya sudah 58 tahun.
Keriput di kulitnya dibiarkan begitu saja. Tiada riasan atau sekadar bedak dan lipstik di wajahnya. ”Saya tidak pakai make-up,” kata Isabel, lantas tersenyum.
Saat tiba di pelabuhan, tidak ada keriuhan layaknya menyambut seorang pejabat di Indonesia. Jangankan rombongan polisi pengawal, satu orang pengawal pun tidak terlihat di sampingnya. Dia datang bersama seorang direktur jenderal di kementeriannya. ”Ingin memantau masyarakat yang berobat,” imbuhnya.
Warga Dili yang mengetahui kedatangan pejabat negaranya pun tidak bereaksi berlebihan. Hanya beberapa orang yang tampak menyapa dan berbincang sesaat. Sama seperti saat mereka melihat warga Dili lainnya datang. Semua berjalan biasa-biasa saja. Mirip seperti seorang ketua RT memantau kegiatan di lingkungannya.
Siang itu Isabel mengenakan pakaian setelan blus pendek bermotif kembang-kembang dan celana kain panjang hitam. Di pundaknya, dia gelantungkan tas plastik berwarna hitam. ”Harganya 40 dolar,” kata Isabel.
Di Timor Leste, USD 40 terhitung murah. Sebab, hampir semua merupakan produk impor dengan biaya distribusi yang relatif mahal. Sebagai perbandingan, harga seporsi nasi padang saja mencapai USD 5 atau sekitar Rp 67.500.
Menurut pengakuan Isabel, bukan hanya dirinya, sebagian besar pejabat di Timor Leste memang juga tidak suka dikawal. Meski standard operating procedure (SOP) mengatur penggunaan pengawal, sebagian besar menteri tidak menggunakannya.
Saat ini hanya presiden, perdana menteri, hakim, dan ketua parlemen yang wajib dikawal. Dan tidak boleh menolak. Dalam hal berpakaian, pakaian dinas hanya digunakan dalam forum-forum resmi kenegaraan. ”Awal-awal saya iya (menggunakan, Red). Sekarang jalan sendiri saja,” ungkap lulusan Australian Catholic University itu.
Pengawalan, menurut Isabel, merupakan hal yang nyaris sia-sia. Sebab, tidak ada ancaman yang membuat seorang pejabat harus dikawal. ”Di sini semua bersaudara,” kata perempuan yang sempat merasakan duduk di bangku kuliah di Universitas Atma Jaya Jakarta tersebut.
Di tempat yang sama, seorang laki-laki tampak tengah asyik berbincang dengan beberapa warga Dili. Mereka sangat akrab. Beberapa kali tawa lepas terlihat melengkapi perbincangan mereka siang itu.
Sesekali pria bertinggi sekitar 165 sentimeter tersebut tampak memantau anak laki-lakinya yang berlari-lari di dermaga pelabuhan. ”Dia menteri pemuda dan olahraga,” kata Acacio saat memperkenalkannya kepada Jawa Pos. Leovigildo Hornai nama pejabat itu.
Sama seperti Isabel, Leo –sapaannya– juga mengunjungi posko pengobatan tanpa embel-embel protokoler. Bedanya, Leo berpenampilan lebih necis. Sebuah kaus polo putih masuk ke dalam celana panjang ketat berwarna cokelat yang dipakainya. Di tangan kirinya terlihat sebuah jam tangan berwarna keemasan. ”Ini jam pemberian. Usianya sudah sangat lama,” katanya.
Leo bercerita, dirinya tidak membutuhkan kawalan. Kata dia, tidak ada alasan bagi warga Timor Leste untuk berbuat jahat kepadanya. ”Ngapain berbuat jahat ke saya? Mereka bisa menyampaikan kemauannya seperti saat seperti ini,” kata Leo merujuk pada perbincangannya dengan warga siang itu.
Di lokasi acara tersebut, para menteri lainnya pun bergaya serupa. Nyaris tidak ada aksesori yang membedakan warga biasa dengan pejabat sekelas menteri. ”Kami di sini sulit membedakan yang mana pejabat, yang mana warga. Jaga perilaku,” kata Kepala Staf Operasi Kolonel Laut (K) Wiweka saat mengarahkan kru kapal.
Fernando Dexis, warga Dili, bercerita, kultur pejabat di Timor Leste memang seperti itu. Bertemu atau menyampaikan keinginan secara langsung bukan hal yang sulit bagi warga. Bahkan, pada 25 Januari lalu, dia sempat menemui langsung Presiden Timor Leste Taur Matan Ruak di kantornya. Pertemuan tersebut dilakukan hanya tujuh hari setelah surat permohonan bertemu.
”Saya minta dikuliahkan di Australia,” kata pemuda 22 tahun itu. Bukan hanya dirinya, beberapa warga lain kerap melakukan hal yang sama.
Sewaktu kecil, di rumahnya, Dexis mengaku malah pernah dikunjungi Xanana Gusmao yang kala itu masih menjabat presiden. ”Waktu itu saya sakit,” kenangnya.
Karena itu, Dexis mengaku heran saat melihat rombongan seorang bupati di Nusa Tenggara Barat datang dengan pengawalan penuh. ”Di sini bupati itu seperti, ahhhh…, orang biasa,” ujarnya. (*/c9/sof)
Banyak pejabat di Timor Leste yang me
milih hidup tanpa kawalan. Tiada pula protokoler ketat. Warga pun bebas menyampaikan keinginan secara langsung. Berikut laporan
--------------------
FOLLY AKBAR yang baru pulang dari sana.
-------------------------------------
ACACIO Pinto, 28, seorang warga Dili, mendadak terbangun dari kursinya. Dia berjalan beberapa langkah. Lalu menjabat tangan perempuan paro baya.
Di sekelilingnya, ratusan warga Dili lainnya tampak tenang. Setia menunggu antrean pengobatan gratis di KRI Soeharso yang bersandar di Pelabuhan Dili, Timor Leste.
”Itu Ibu Menteri Solidaritas Timor Leste,” ujar Acacio kepada Jawa Pos menunjuk si perempuan paro baya tersebut. Siang itu (31/1) Acacio juga turut berkumpul dengan rombongan kru KRI Soeharso asal Indonesia.
Beberapa kru kapal yang tidak memperhatikan aktivitas Acacio sebelumnya pun tampak bingung. ”Mana menterinya?” ujar Sapardi, salah seorang rombongan dari Indonesia. Meski hanya berjarak sekitar 7 meter, Sapardi tidak melihat ada sosok pejabat negara di hadapannya.
”Yang itu,” kata Acacio sembari menelunjukkan jari tangannya ke arah perempuan yang dimaksud. Sapardi dan beberapa orang lainnya pun tertegun.
Perempuan tua yang menjabat menteri solidaritas Timor Leste itu bernama Isabel Amaral Guterres. Itu mirip dengan menteri sosial jika di Indonesia. Usianya sudah 58 tahun.
Keriput di kulitnya dibiarkan begitu saja. Tiada riasan atau sekadar bedak dan lipstik di wajahnya. ”Saya tidak pakai make-up,” kata Isabel, lantas tersenyum.
Saat tiba di pelabuhan, tidak ada keriuhan layaknya menyambut seorang pejabat di Indonesia. Jangankan rombongan polisi pengawal, satu orang pengawal pun tidak terlihat di sampingnya. Dia datang bersama seorang direktur jenderal di kementeriannya. ”Ingin memantau masyarakat yang berobat,” imbuhnya.
Warga Dili yang mengetahui kedatangan pejabat negaranya pun tidak bereaksi berlebihan. Hanya beberapa orang yang tampak menyapa dan berbincang sesaat. Sama seperti saat mereka melihat warga Dili lainnya datang. Semua berjalan biasa-biasa saja. Mirip seperti seorang ketua RT memantau kegiatan di lingkungannya.
Siang itu Isabel mengenakan pakaian setelan blus pendek bermotif kembang-kembang dan celana kain panjang hitam. Di pundaknya, dia gelantungkan tas plastik berwarna hitam. ”Harganya 40 dolar,” kata Isabel.
Di Timor Leste, USD 40 terhitung murah. Sebab, hampir semua merupakan produk impor dengan biaya distribusi yang relatif mahal. Sebagai perbandingan, harga seporsi nasi padang saja mencapai USD 5 atau sekitar Rp 67.500.
Menurut pengakuan Isabel, bukan hanya dirinya, sebagian besar pejabat di Timor Leste memang juga tidak suka dikawal. Meski standard operating procedure (SOP) mengatur penggunaan pengawal, sebagian besar menteri tidak menggunakannya.
Saat ini hanya presiden, perdana menteri, hakim, dan ketua parlemen yang wajib dikawal. Dan tidak boleh menolak. Dalam hal berpakaian, pakaian dinas hanya digunakan dalam forum-forum resmi kenegaraan. ”Awal-awal saya iya (menggunakan, Red). Sekarang jalan sendiri saja,” ungkap lulusan Australian Catholic University itu.
Pengawalan, menurut Isabel, merupakan hal yang nyaris sia-sia. Sebab, tidak ada ancaman yang membuat seorang pejabat harus dikawal. ”Di sini semua bersaudara,” kata perempuan yang sempat merasakan duduk di bangku kuliah di Universitas Atma Jaya Jakarta tersebut.
Di tempat yang sama, seorang laki-laki tampak tengah asyik berbincang dengan beberapa warga Dili. Mereka sangat akrab. Beberapa kali tawa lepas terlihat melengkapi perbincangan mereka siang itu.
Sesekali pria bertinggi sekitar 165 sentimeter tersebut tampak memantau anak laki-lakinya yang berlari-lari di dermaga pelabuhan. ”Dia menteri pemuda dan olahraga,” kata Acacio saat memperkenalkannya kepada Jawa Pos. Leovigildo Hornai nama pejabat itu.
Sama seperti Isabel, Leo –sapaannya– juga mengunjungi posko pengobatan tanpa embel-embel protokoler. Bedanya, Leo berpenampilan lebih necis. Sebuah kaus polo putih masuk ke dalam celana panjang ketat berwarna cokelat yang dipakainya. Di tangan kirinya terlihat sebuah jam tangan berwarna keemasan. ”Ini jam pemberian. Usianya sudah sangat lama,” katanya.
Leo bercerita, dirinya tidak membutuhkan kawalan. Kata dia, tidak ada alasan bagi warga Timor Leste untuk berbuat jahat kepadanya. ”Ngapain berbuat jahat ke saya? Mereka bisa menyampaikan kemauannya seperti saat seperti ini,” kata Leo merujuk pada perbincangannya dengan warga siang itu.
Di lokasi acara tersebut, para menteri lainnya pun bergaya serupa. Nyaris tidak ada aksesori yang membedakan warga biasa dengan pejabat sekelas menteri. ”Kami di sini sulit membedakan yang mana pejabat, yang mana warga. Jaga perilaku,” kata Kepala Staf Operasi Kolonel Laut (K) Wiweka saat mengarahkan kru kapal.
Fernando Dexis, warga Dili, bercerita, kultur pejabat di Timor Leste memang seperti itu. Bertemu atau menyampaikan keinginan secara langsung bukan hal yang sulit bagi warga. Bahkan, pada 25 Januari lalu, dia sempat menemui langsung Presiden Timor Leste Taur Matan Ruak di kantornya. Pertemuan tersebut dilakukan hanya tujuh hari setelah surat permohonan bertemu.
”Saya minta dikuliahkan di Australia,” kata pemuda 22 tahun itu. Bukan hanya dirinya, beberapa warga lain kerap melakukan hal yang sama.
Sewaktu kecil, di rumahnya, Dexis mengaku malah pernah dikunjungi Xanana Gusmao yang kala itu masih menjabat presiden. ”Waktu itu saya sakit,” kenangnya.
Karena itu, Dexis mengaku heran saat melihat rombongan seorang bupati di Nusa Tenggara Barat datang dengan pengawalan penuh. ”Di sini bupati itu seperti, ahhhh…, orang biasa,” ujarnya. (*/c9/sof)