Semua profesi ada risikonya. Tapi yang ini, taruhannya nyawa. Mungkin kalau sedang beruntung, ya cuma memar-memar atau patah tulang.
BELUM tentu pria dengan postur tinggi besar plus kekar bisa menjadi bodyguard. Sebab, mereka harus punya keahlian khusus melindungi kliennya, dan tentu saja kudu punya nyali.
Akhir pekan lalu, Jawa Pos Radar Solo menemui Teja Khrisna Murthy di kampus Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Surakarta. Meskipun dandanannya casual, tapi tetap saja Teja terlihat sangar. Lengan berotot, dada bidang, membuat siapa saja yang menemuinya enggan bicara sembarangan.
Dulunya Teja adalah bodyguard sekaligus saveguard. Lho apa bedanya? Bodyguard fokus melindungi klien atau orang-orang penting yang mengggunakan jasanya, sedangkan tugas saveguard lebih luas. Seperti mengamankan rumah, konser, dan properti vital lainnya.
Diakui Teja, tak terpikirkan sebelumnya bisa menggeluti profesi berbahaya tersebut. Sebab dirinya adalah atlet judo nasional. Untuk menjaga tubuhnya tetap fit dan menunjang prestasinya, dia rajin nge-gym.
Ternyata butuh biaya cukup besar untuk mempertahankan otot-ototnya tetap kencang. Dia memutar otak agar bisa mendapatkan penghasilan cukup untuk itu.
“Saya diajak seseorang yang sekarang sudah saya anggap sebagai kakak sendiri untuk gabung jadi tim-nya (bodyguard, Red). Awal dulu saya diajak penagihan, jadi debt collector. Ternyata saya punya telanta di bidang tersebut. Mulai sejak itu jadi bodyguard,” kenangnya.
Dia mulai belajar banyak tentang profesinya. Diantaranya mengamankan konser musik, termasuk menjadi tukang tagih. Kali ini Teja baru sadar bahwa profesinya sangat berisiko.
“Tahunya nagih dapat duit, selesai. Saya pikir cuma begitu, tidak berisiko. Saya tidak butuh menjual produk, hanya modal otot dan bela diri. Tapi ternyata lama-lama tidak seperti yang saya bayangkan. Semakin besar penagihan, besar juga risikonya,” beber dia.
Pengalaman pahit yang pernah dialami adalah diculik sekelompok orang kemudian dipukuli. Setelah itu Teja dibuang di pinggir jalan dengan kondisi mengenaskan. Persis seperti di film-film aksi. Sejak saat itu, profesi yang disembunyikan dari keluarganya tersebut terbongkar. Spontan Teja ditentang.
Lebih lanjut diterangkan dia, selain mengandalkan otot dan kemampuan beladiri, seorang bodyguard atau saveguard harus menguasai cara melobi. Karena tidak semua kasus harus diselesaikan dengan cara “laki-laki”.
Pernah juga Teja menjadi bodyguard pribadi, tidak lama. Hanya sekitar delapan bulan dan dia memilih berhenti karena tidak kuat dengan beban risiko pekerjaan yang harus ditanggungnya.
Apa saja risikonya? Teja menyebut harus selalu siap siaga selama 24 jam sekaligus menjaga rahasia besar kliennya. Bila rahasia terbongkar, si bodyguard-lah yang menjadi tertuduh kali pertama.
Selama menjadi bodyguard, pria kelahiran Bogor, 25 Desember ini tidak pernah menggunakan senjata alias hanya tangan kosong. “Tapi tergantung situasinya juga,” kelakarnya.
Sekarang Teja sudah menjauh dengan dunia yang identik dengan kekerasan tersebut setelah diangkat menjadi PNS. Keluarga yang tadinya menentang, berubah sikap menjadi lebih terbuka.
“2008 akhir saya diangkat jadi PNS lewat jalur prestasi. Kemudian ditempatkan di Solo,” jelas dia. (aya/wa)
BELUM tentu pria dengan postur tinggi besar plus kekar bisa menjadi bodyguard. Sebab, mereka harus punya keahlian khusus melindungi kliennya, dan tentu saja kudu punya nyali.
Akhir pekan lalu, Jawa Pos Radar Solo menemui Teja Khrisna Murthy di kampus Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Surakarta. Meskipun dandanannya casual, tapi tetap saja Teja terlihat sangar. Lengan berotot, dada bidang, membuat siapa saja yang menemuinya enggan bicara sembarangan.
Dulunya Teja adalah bodyguard sekaligus saveguard. Lho apa bedanya? Bodyguard fokus melindungi klien atau orang-orang penting yang mengggunakan jasanya, sedangkan tugas saveguard lebih luas. Seperti mengamankan rumah, konser, dan properti vital lainnya.
Diakui Teja, tak terpikirkan sebelumnya bisa menggeluti profesi berbahaya tersebut. Sebab dirinya adalah atlet judo nasional. Untuk menjaga tubuhnya tetap fit dan menunjang prestasinya, dia rajin nge-gym.
Ternyata butuh biaya cukup besar untuk mempertahankan otot-ototnya tetap kencang. Dia memutar otak agar bisa mendapatkan penghasilan cukup untuk itu.
“Saya diajak seseorang yang sekarang sudah saya anggap sebagai kakak sendiri untuk gabung jadi tim-nya (bodyguard, Red). Awal dulu saya diajak penagihan, jadi debt collector. Ternyata saya punya telanta di bidang tersebut. Mulai sejak itu jadi bodyguard,” kenangnya.
Dia mulai belajar banyak tentang profesinya. Diantaranya mengamankan konser musik, termasuk menjadi tukang tagih. Kali ini Teja baru sadar bahwa profesinya sangat berisiko.
“Tahunya nagih dapat duit, selesai. Saya pikir cuma begitu, tidak berisiko. Saya tidak butuh menjual produk, hanya modal otot dan bela diri. Tapi ternyata lama-lama tidak seperti yang saya bayangkan. Semakin besar penagihan, besar juga risikonya,” beber dia.
Pengalaman pahit yang pernah dialami adalah diculik sekelompok orang kemudian dipukuli. Setelah itu Teja dibuang di pinggir jalan dengan kondisi mengenaskan. Persis seperti di film-film aksi. Sejak saat itu, profesi yang disembunyikan dari keluarganya tersebut terbongkar. Spontan Teja ditentang.
Lebih lanjut diterangkan dia, selain mengandalkan otot dan kemampuan beladiri, seorang bodyguard atau saveguard harus menguasai cara melobi. Karena tidak semua kasus harus diselesaikan dengan cara “laki-laki”.
Pernah juga Teja menjadi bodyguard pribadi, tidak lama. Hanya sekitar delapan bulan dan dia memilih berhenti karena tidak kuat dengan beban risiko pekerjaan yang harus ditanggungnya.
Apa saja risikonya? Teja menyebut harus selalu siap siaga selama 24 jam sekaligus menjaga rahasia besar kliennya. Bila rahasia terbongkar, si bodyguard-lah yang menjadi tertuduh kali pertama.
Selama menjadi bodyguard, pria kelahiran Bogor, 25 Desember ini tidak pernah menggunakan senjata alias hanya tangan kosong. “Tapi tergantung situasinya juga,” kelakarnya.
Sekarang Teja sudah menjauh dengan dunia yang identik dengan kekerasan tersebut setelah diangkat menjadi PNS. Keluarga yang tadinya menentang, berubah sikap menjadi lebih terbuka.
“2008 akhir saya diangkat jadi PNS lewat jalur prestasi. Kemudian ditempatkan di Solo,” jelas dia. (aya/wa)