DAMIANUS BRAM/RASO |
Konsisten membawakan lagu nasional itu kuno? Salah besar. Dengan lagu-lagu penuh makna tersebut seorang biduan malah mendapat apresiasi. Itu dirasakan Iin Indriani.
-------------------------
IRAWAN WIBISONO, Solo
-------------------------
RAMAH dan supel, kesan tersebut tertangkap Jawa Pos Radar Solo saat bertemu Iin di markas Taruna Merah Putih kawasan Brengosan, Banjarsari, kemarin (5/5). Dia bersemangat ketika diminta membongkar memorinya tentang awal karirnya di panggung hiburan.
Perempuan kelahiran 1972 ini sudah familier dengan dunia tarik suara sejak kecil. Di usia 8 tahun, Iin menyabet juara Bintang Radio Anak di Radio Republik Indonesia (RRI) Solo. Setelah itu puluhan prestasi dikantonginya. “Nyanyi sudah bakat dari lahir,” katanya.
Suara emas Iin membuat Didi Kempot kepincut dan mengajaknya berduet. Hingga akhirnya Iin memutuskan memilih keroncong sebagai kiblat musiknya dan semakin berkibar.
Pada 1996, negara pertama yang dia singgahi adalah di kota Shanghai, Tiongkok. Dalam acara bertajuk Beautiful Bengawan Solo, Iin dipercaya menyanyikan lagu nasional di hadapan hampir seribu warga Tionghoa. “Mereka ikut nyanyi semua. Hafal, sampai pada nangis,” ujar Iin.
Menangis? Apakah mereka paham lagu-lagu Indonesia? Apalagi yang dibawakan lagu nasional yang belum tentu masyarakat Indonesia sendiri tahu.
Pertanyaan serupa juga muncul di benak Iin kala itu. Saking penasarannya, di belakang panggung dia bertanya pada pengisi acara lain yang sudah pernah tampil di ajang serupa. Setelah dijawab oleh rekannya, Iin pun hanya mantuk-mantuk terheran.
“Jadi ternyata ada sejarahnya mengapa mereka (warga Tionghoa, Red) hafal,” ungkap dia.
Rupanya, ratusan penonton yang hadir di acara tersebut dahulunya pernah tinggal di Indonesia. Bahkan sebagian besar lahir dan besar di bumi pertiwi sehingga akulturasi budaya cukup kental. Mereka hafal dengan lagu-lagu nasional.
Warga Tionghoa kembali ke Tiongkok setelah munculnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 1959 yang melarang orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah, di luar ibu kota daerah, dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia. Maka muncul eksodus besar-besaran. “Jadi lagu-lagu Indonesia di sana seperti lagu nostalgia,” beber Iin.
Selain di Shanghai, Iin beberapa kali memeriahkan event di negeri Tirai Bambu tersebut. Antara lain pada International Folksongs Festival di Naning, Hari Ulang Tahun (HUT) Yayasan Musik Li Yi Sik di Kowloon, Hongkong serta Asia Arts Festival di Beijing dan Moon Cake Festival di Giangzhou.
Tak ingin hanya didengar oleh kalangan tua Tiongkok, Iin ingin anak muda di sana yang mungkin belum pernah ke Indonesia paham lagu nasional Indonesia. Akhirnya bersama salah satu penyanyi pria, Iin memberanikan diri menerjemahkan lagu nasional ke dalam bahasa Mandarin.
Sulit? Pasti. Kendala pertama jelas masalah kemampuan bahasa, selain itu mencari padanan kata dari lirik lagu nasional juga membuat repot. Benar saja, tiga tahun setelah perjalanannya ke Tiongkok, Iin menelurkan satu album khusus yang diberi tajuk Tembang Cinta Indonesia versi Mandarin pada 1999. “Saya sampai belajar bahasa Mandarin di sana setengah tahun,” terang dia.
Hingga 2007, Iin berhasil mengeluarkan lima album yang dikerjakan bersama rekannya dan semuanya berbahasa Mandarin. Saking seringnya memromosikan lagu nasional ke Tiongkok, sepulang ke Indonesia dia sering diminta tampil membawakan lagu-lagu berbahasa mandarin namun tetap beraliran keroncong. “Saya sampai dikira keturunan Tiongkok,” ungkap Iin dibareng senyum lebar.
Kini, bersama rekan-rekannya di Taruna Merah Putih, Iin berusaha menumbuhkan semangat nasionalisme. Salah satu caranya dengan menggelar festival band yang membawakan lagu-lagu nasional. “Lagu wajib yang harus dibawakan nanti Bung Karno Bapak Bangsa dan Gemah Ripah Loh Jinawi,” paparnya.
Festival band tersebut akan digelar Sabtu (7/5) di Benteng Vastenburg memperebutkan piala wali kota Surakarta. Tujuannya dapat mengembalikan roh pendiri bangsa ke pentas musik nasional. Sebab Iin cukup terusik dengan musisi muda yang cenderung menafikkan lagu nasional dan memilih kiblat musik luar negeri. (*/irw)