HENDRAEKAJAYA/JAWAPOS |
Sepuluh fraksi di Komisi III DPR kemarin (23/6) secara bulat juga menyetujui penetapan Tito sebagai Kapolri baru menggantikan Jenderal Polisi Badrodin Haiti.
Sebelum fit and proper test dimulai, Tito sejak awal sudah memberikan jawaban terkait isu hubungan senior dengan junior dalam hal pencalonannya. Perwira polisi angkatan 1987 itu membawa serta sejumlah jenderal polisi senior bersamanya.
Mereka yang ikut serta memberi dukungan langsun kepada Tito adalah Kepala Lembaga Pendidikan Nasional Komjen Syafruddin (1985), Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri Komjen Putut Eko Bayu Seno (1984), Kepala Divisi Hukum Irjen Pol Muhammad Iriawan (1984), dan beberapa jenderal polisi lainnya.
”Kehadiran mereka sekaligus menunjukkan masalah angkatan tidak lagi jadi masalah. Mulai dari (Akpol) angkatan 1981, 1983, 1984, 1985, 1987, ada. Mungkin itu yang ingin digambarkan ke kami,” kata Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo saat membuka rapat fit and proper test.
Selama lebih dari 30 menit, Tito diberikan kesempatan untuk memaparkan visi, misi, dan program kerjanya sebagai calon Kapolri. Tito menyatakan, visinya adalah terwujudnya Polri yang makin profesional dan modern. Untuk mencapai itu, Tito merumuskan delapan misi yang ingin dia capai saat terpilih dan dilantik menjadi Kapolri.
Delapan misi itu adalah melanjutkan reformasi internal Polri, mewujudkan organisasi dan postur Polri yang ideal dengan didukung sarana dan prasarana kepolisian yang modern, mewujudkan pemberdayaan kualitas SDM Polri yang professional dan kompeten, yang menjunjung etika dan HAM. Tito juga berjanji meningkatkan kesejahteraan anggota Polri.
Empat misi lain dari Tito adalah meningkatkan kualitas pelayanan prima dan kepercayaan publik, meningkatkan kemampuan pencegahan kejahatan dan deteksi dini berlandaskan prinsip pemolisian proaktif dan pemolisian yang berorientasi pada penyelesaian akar masalah, serta meningkatkan keamanan ketertiban nasional dengan mengikutsertakan publik. Juga, mewujudkan penegakan hukum yang profesional, berkeadilan, dan menjunjung tinggi HAM dan KKN.
Dalam penjabaran misi terkait pencegahan kejahatan, Tito mengambil contoh isu terkait penanganan kelompok radikal dan intoleran yang lebih optimal. Menurut Tito, perlu ada deteksi dini dan deteksi aksi dalam rangka pemetaan kelompok radikal prokekerasan. Tito menilai untuk mencapai itu perlu membangun daya cegah dan daya tangkal dengan melibatkan warga, dan bekerjasama dengan stakeholder.
”Polri harus mengintensifkan kegiatan dialogis di kantong kelomnpok radikal pro kekerasan dan intoleransi,” kata perwira yang terlibat penangkapan gembong teroris Dr Azahari dan Noordin M Top itu.
Tito juga berjanji bahwa Polri akan fokus pada kasus-kasus yang menjadi perhatian publik, seperti kejahatan jalanan, kejahatan terhadap perempuan dan anak, terorisme, illegal fishing, korupsi, narkoba, cyber crime, ataupun kejahatan ekonomi lainnya. Tito berjanji akan menghilangkan pungutan liar, pemerasan, dan makelar kasus dalam proses penyidikan. ”Menghilangkan kecenderungan rekayasa dan berbelit-belit dalam penanganan kasus,” tegas Tito.
Dalam sesi pertanyaan, Tito banyak mendapat pertanyaan terkait isu terorisme. Misalkan, anggota Fraksi Partai Nasdem Taufiqulhadi yang menanyakan isu penanganan terorisme yang dinilai tidak efektif. Anggota Fraksi PPP Arsul Sani juga mempertanyakan konsep penegakan hukum pidana dalam kasus terorisme yang terabaikan, karena lebih cenderung melakukan eksekusi terhadap tersangka. ”Apakah criminal by justice masih berlaku dalam kasus terorisme, atau memang tetap seperti sekaang,” kata Arsul.
Anggota Fraksi PKS Aboe Bakar Al Habsyi kembali mempertanyakan isu senioritas di mana di internal Polri masih banyak jenderal dari angkatan 1982 hingga 1986 di sekeliling Tito. Tak lupa, Bambang Soesatyo mempertanyakan isu kasus Freeport atau kasus “papa minta saham”, di mana Tito disebut-sebut dalam rekaman yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha Riza Chalid. ”Kami juga ingin tahu respons calon Kapolri terkait kasus Labora Sitorus, di mana saudara disebut-sebut pernah terkait,” ujar Bambang.
Tito yang diberi kesempatan memberikan setelah sesi istirahat, menyampaikan penjelasan dengan gamblang. Dalam kasus Labora, misalnya, Tito menjelaskan bahwa Polda Papua sudah melakukan pemeriksaan terhadap anggota Polri itu. Bahkan sebelum Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan menyampaikan temuan kepemilikan rekening sebesar Rp 1,2 triliun. Labora yang disebut sebagai pemilik rekening gendut itu ternyata hanya memiliki rekening senilai Rp 10 miliar.
”Temuan PPATK itu adalah akumulasi dari aktivitas rekening Labora,” kata Tito.
Terkait aliran dana, Polda Papua ketika itu memeriksa 17 rekening anggota Polri. Mereka yang menerima memiliki pangkat tertinggi Kombes. Dalam penyidikan Polri, terungkap bahwa Kapolres Raja Ampat menerima sejumlah uang dari Labora. ”Uang itu sepertinya akan diberikan pada saya, namun saya tidak pernah menerima. Jika menerima, saya tidak akan berani menindak Kapolres itu,” tegas Tito.
Dalam hal persoalan senioritas, Tito menegaskan kembali bahwa dirinya menyadari hal itu. Karena itulah, sejak awal dirinya merasa tidak nyaman jika harus memimpin senior. Namun, karena sudah mendapat perintah Presiden Joko Widodo, Tito menyatakan harus taat perintah sebagai prajurit. ”Saya harus allout terhadap tugas yang diberikan,” kata Tito.
Terhadap hubungan kepada senior, Tito menyatakan hubungan dilakukan secara profesional dan proporsional. Tidak semua senior harus dibuat senang. Namun, mereka yang berkompeten, objektif, layak ditempatkan dalam sebuah jabatan. ”Ini beberapa kali kami lakukan baik di Polda Papua, Asrena, maupun Polda Metro,” kata Tito.
Jika berbicara dengan lembaga lain, termasuk KPK, Tito menilai hal yang terpenting adalah komunikasi. Komunikasi bisa dilakukan secara formal maupun personal. Kebetulan, Tito mengaku dekat dengan pimpinan KPK saat ini. Namun, hubungan kelembagaan akan percuma jika berjalan baik di tingkat pusat saja.
”Di jajaran bawah, kami akan dorong semaksimal mungkin menjalin komunikasi formal dan informal. Baik tidaknya hubungan, ini akan menjadi kriteria promosi atau demosi,” tegasnya.
Menjawab isu terorisme, Tito menyatakan hilangnya nyawa manusia sudah terjadi sejak dulu. Polri khususnya Densus 88 selalu mengedepankan penegakan hukum. Namun, mengapa tetap ada 121 orang yang mati karena penindakan terorisme? Tito menyatakan hal itu disebabkan persoalan taktis di lapangan.
”Saat ada ancaman yang membahayakan petugas atau rakyat, tidak ada pikiran lain selain membela negara. Para pelaku juga cenderung melawan, karena jika mati, mereka masuk surga,” ujar Tito.
Menurut Tito, jangan hanya melihat jumlah yang meninggal. Dia menyatakan masih ada 900-an orang yang bisa tertangkap hidup-hidup dalam penindakan terorisme. Tito juga sependapat bahwa kontrol terhadap anggota Densus harus ketat, namun menolak jika harus dibentuk dewan pengawas Densus 88. ”Mekanisme pengawasan saat ini sudah memadai, ada irwasum, propam, komnas ham, media. Jangan kita euforia menambah dewan pengawas yang tak perlu hadir,” ujarnya.
Terakhir, dalam kasus “papa minta saham”, mengingatkan bahwa dia disebut bukan karena saham yang ingin dibagi-bagi. ”Nama saya disebut karena dinyatakan berkontribusi atas kemenangan Pak Jokowi di Papua,” kata Tito.
Namun, lanjut Tito, fakta sebenarnya bukan seperti itu. Polda Papua selama pilpres 2014 netral dan tidak memihak baik Jokowi-Jusuf Kalla ataupun Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sulit untuk memanipulasi perolehan suara pilpres karena baik KPU maupun saksi dua pasangan calon sama-sama menggunakan teknologi informasi sebagai rujukan.
Terkait kemenangan Jokowi-JK di Papua, Tito juga memiliki jawabannya. Dia mencatat bahwa Jokowi ketika pilpres dua kali mendatangi Papua. Pertama bersama tim dengan skala kecil, kedua bersama keluarga.
”Pak Jokowi sampaikan kalau nama istri beliau, Iriana, berasal dari kata Irian, itu membuat hati masyarakat Papua suka. Sementara pak Prabowo dan pak Hatta, tidak ada yang ke sana. Bagi masyarakat Papua, siapa yang mendatangi mereka, itulah pilihan mereka,” tandasnya.
Dengan ditetapkannya Tito sebagai calon Kapolri, maka proses selanjutnya di DPR tinggal menunggu penetapan di sidang paripurna DPR. Bambang menyatakan, sidang paripurna penetapan Tito sebagai Kapolri akan dilaksanakan pada Senin (27/4) mendatang.
Sementara, saat disinggung siapa perwira tinggi (pati) polisi yang bakal mendampinginya sebagai Wakapolri, Tito belum mau banyak berkomentar. Dia mengaku belum memikirkan pati yang pas sebagai calon orang nomor dua di tubuh Polri itu. ”Dilantik (kapolri) saja belum,” ungkapnya saat konferensi pers di The Dharmawangsa, Jakarta, kemarin.
Setelah dilantik menjadi Kapolri, Tito bakal langsung memimpin gawe besar Polri dalam Operasi Ramadaniya 2016. Tito mengatakan, operasi pengamanan Ramadan dan Idul Fitri tersebut merupakan prioritas awal yang akan segera dilaksanakannya setelah resmi menjabat Kapolri. ”Saya akan dorong (polisi) harus turun ke lapangan (saat Operasi Ramadaniya, Red),” tegasnya.
Menurut Tito, semua polisi harus mau turun ke lapangan. Tidak terkecuali para perwira yang menjabat sebagai Kapolsek hingga Kapolda. Tito mengancam akan mengganti para pimpinan polisi di daerah itu bila tidak mau secara langsung membantu masyarakat. ”Prinsipnya, semakin banyak turun ke lapangan, semakin banyak bertemu dengan komponen masyarakat,” tuturnya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla punya pesan khusus untuk Tito yang tak lama lagi akan jadi kapolri. Tito diharapkan bisa megusung reformasi di tubuh kepolisian. Sehingga periode Tito akan jauh lebih baik dari periode dibawah pimpinan Badrodin Haiti. ”Bisa mewujudkan janjinya untuk mereformasi kepolisian lebih baik lagi,” ujar dia usai buka bersama dengan 3.500 anak yatim di Jakarta, kemarin .
JK menuturkan bahwa polisi kedepan harus punya paradigma sebagai pengayom masyarakat. Fungsinya bukan hanya sebagai penegak hukum, tapi juga bisa memberikan pelayanan pada mayarakat. ”Harus lebih melayani,” tambah dia.. (bay/tyo/jun)