• Berita Terkini

    Rabu, 15 Juni 2016

    NU, Muhammadiyah, Selamatan dan Kesatuan Bangsa

    B Kharis Fadlan
    HAMPIR
    setiap tahun, menjelang bulan ramadhan dan awal syawal nanti, masyarakat desa-desa di Nusantara menjalankan tradisi “selamatan”. Masyarakat Boyolali, mengungkapkan kebahagian menyambut ramadhan diekspresikan dalam bentuk tradisi padusan.

    Padusan bagi masyarakat Boyolali memiliki makna membersihkan diri dari nafsu, karena akan memasuki bulan suci. Di Semarang, ungkapan sambutan datangnya ramadhan disimbolisasikan dalam tradisi “Dugderan” atau semacam pesta rakyat di mana potensialitas budaya lokal ditampilkan. Di Aceh ada tradisi “Meugang” yakni tradisi makan daging kerbau atau kambing yang biasanya diperoleh dengan cara iuran koletif masyarakat. uang yang terkumpul, lalu dibelikan kerbau atau kambil, kemudian disembelih, dimasak dan dimakan bersama-sama. Sudah barang tentu, di dalam kegiatan-kegiatan tersebut selalu bersisipkan doa-doa keselamatan.


    Selama bulan puasa berlangsung tradisi selamatan terungkapkan dalam tradisi “takijalan” dan “jaburan”. Secara substantif, tradisi takjilan dan jaburan adalah habitus masyarakat atau rumah tangga di desa untuk saling berbagi (sedekah). Mau rumah tangga kaya atau miskin, sama-sama memiliki peluang yang sama untuk berbagi. Takjilan dan jaburan biasanya dirupakan dalam bentuk makanan ringan atau minuman yang diberikan pada saat menjelang puasa atau usai menjalankan sholat taraweh sambil menikmati kuliah tujuh menit.

    Masih dalam suasana tradisi selamatan, bulan syawal juga marak dengan tradisi tersebut. Sekali lagi semangat azalinya bukanlah berhura-hura karena ramadhan telah berakhir, sehingga tugas berpuasa pun berakhir. Lebih dari itu. Tradisi bersilaturahmi dari rumah ke rumah, dari sanak family yang satu ke sanak saudara lainnya hingga lebaran kupatan yang hampir ada di setiap jengkal desa di Nusantara, mengandung makna pengakuan manusia akan adanya kesalahan (Jawa: lepat) yang sengaja maupun tidak disengaja dibuatnya baik secara transendental kepada Allah SWT maupun secara antroposentris kepada sesama manusia.

    Dalam kerangka maknawi ini, jelas kiranya bahwa tradisi silaturahmi dan lebaran kupatan bukanlah kegiatan yang hanya unjuk keindahan busana ataupun kelezatan kuliner lokal. Tapi sebagai magnet penguat solidaritas sosial dan tepo saliro antar sesama.

    Akar Kredo dan Sejarah Tradisi Selamatan

    Jauh sebelum Agama Hindhu dan Islam datang ke bumi Nusantara, masyarakat Jawa telah mengenal tradisi selamatan. Masyarakat Jawa memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya keselamatan, kedamaian, ketentraman, kesejahteraan, kemamuran bagi umat manusia. Simbolisasi kepasrahan sekaligus bentuk permohonan kepada Yang Tunggal, Sang Pencipta Alam dan Pelindung semesta alam biasanya diwujudkan dalam bentuk tumpeng. Tradisi tersebut melekat kuat dalam tradisi masyarakat Jawa, hingga membentuk suatu sistem kepercayaan rakyat sebagaimana layaknya ageman (baju) yang melekat dalam kehidupan masyarakat.

    Kedatangan Islam di Nusantara tidak menghilangkan tradisi dan kepercayaan masyarakat Jawa tersebut. Malah, Islam kian menyempurnakan kepercayaan lokal tanpa membumihanguskannya. Mau dikatakan Islam abangan atau Kejawen, Islam yang telah bersenyawa dengan tradisi lokal secara substantive membawa kepada satu keimanan yakni iman kepada Allah SWT. Kalau boleh ditamsilkan, tradisi selamatan masyarakat Jawa tersebut sebenarnya memiliki relevansi dengan do’a Nabi Ibrahim kepada Allah SWT sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an Surat Al Baqoroh Ayat 126 yang artinya “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan berikanlah rezeki kepada penduduknya dari (berbagai macam) buah-buahan, (yaitu penduduknya) yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian”.

    Dalam ayat di atas, terbaca jelas bagaimana Nabi Ibrahim mengutamakan keamanan negeri dan masyarakat yang dipimpinnya. Lalu mendoakan ketercukupan rakyatnya atas bahan makanan. Jadi, jauh hari sebelum para ahli ekonomi barat mengembangkan teori ekonomi modern berpendapat bahwa keamanan adalah pra syarat penting terciptanya tata ekonomi yang stabil, Nabi Ibrahim sudah terlebih dahulu menciptakan konsep tersebut. Walalupun dalam bentuk doa, bukan postulat ilmiah. Dengan keamanan, penduduk bisa nyaman mencari kerja, menjemput rezeki Allah di manapun tinggal. Karena itu, marilah kita jaga keragaman bangsa Indonesia ini dari keterpecahbelahan. Kemajemukan pada hakikatnya adalah modal dan potensi besar bangsa menuju Indonesia yang kuat.

    Kemajemukan bukanlah kelemahan, tapi energi besar bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara demokrasi. Amerika yang saat ini masih didaulat sebagai negara demokrasi terbesar, nyatanya, masyarakat adat atau suku bangsa Indian sebagai penduduk asli benua Amerika sudah tersingkir. Sebaliknya, para pembesar kerajaan-kerajaan di Nusantara dulu, mulai dari Sriwijaya hingga Majapahit memberikan pembelajaran berharga bahwa kebesaran sebuah bangsa bukan pada homogenitas sosial kemasayarakatanya, tapi justru pada kemampuannya mengelola heterogenitasnya.


    Dengan Sumpah Palapa, Patih Gadjah Mada mampu merajut kerajaan-kerajaan yang tersebar di bumi Nusantara, bahkan sampai daerah-daerah yang sekarang telah menjadi negara-negara ASEAN, dalam satu rajutan tata pemerintahan Kerajaan Majapahit. Demikian pula para pendahulu bangsa era perjuangan kemerdekaan. Para guru bangsa seperti Soekarno, Hatta, KH. Hasyim Asy’ari, H. Agus Salim, Cokro Aminoto, Tan Malaka, Kiai Wahab Hasbullah, KH. Wahid Hasyim, KH. Ahmad Dahlan mampu menggali nilai-nilai luhur dari tradisi adiluhung Nusantara dan mentransformasikannya menjadi dasar negara yang kita kenal PANCASILA.

    Di Tengah Ancaman Kesatuan

    Upaya memecah belah bangsa Indonesia masih ada hingga saat ini. Bahkan ujian itu menyeruak dari  dalam tubuh negara Indonesia. Salah satu gerakan yang paling nyata adalah memutus relasi ulama dengan umat, memutus tali silaturahmi ulama dengan santri hingga merusak hubungan organisasi masyarakat yang memiliki akar tradisi nusantara dengan masyarakat Indonesia, seperti menjauhkan Nahdlatul Ulama (NU) dengan kaum sarungan hingga merubah perangai ramah NU dan Muhammadiyah dengan karakter Islam yang suka marah. Menjauhkan ruhul islam organisasi keagamaan di Indonesia yang mengedepankan dakwah  yang merangkul menjadi suka memukul. Ada pula yang sampai bersikeras menghambat silaturahmi antara Ulama dengan Umaro.

    Di tengah maraknya serangan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak suka pada Indonesia, terlebih pihak-pihak tersebut terus bergerak dari dalam, maka tradisi “selamatan” masih memiliki relevansi  potensial sebagai benteng pemersatu bangsa. Peran dan jasa para ulama sangat besar dalam lanskap sejarah pembentukan karakter bangsa Indonesia. Jika kita hendak mengetahui seperti apa karakter bangsa Indonesia, lihatlah desa. Selamatan adalah salah satu karya para alim ulama terdahulu bangsa ini yang kemudian menjadi ciri khas desa. makna filosofis terminologi selamatan memiliki kedalaman makna bahwa spirit atau ruh kehidupan desa ada pada nilai kemanusiaannya. Dengan tradisi  selamatan kehidupan desa penuh harmoni. Antartetangga satu sama lain berkunjung, sehingga secara sistemik membangun tradisi masyarakat yang komunikatif, terbuka dan egaliter.

    Beruntung, kita masih memiliki dua ormas keagamaan terbesar yang masih peduli dan memiliki ruhul jihad yang besar dan tulus untuk nguri-uri NKRI. Karena itu, dalam konteks memperkuat kesatuan dan kejayaan bangsa Indonesia, ikhtiar dan ikhtiat ormas tersebut perlu mendapat dukungan yang sebenar-benarnya dari pemerintah.
    Pertama, pemerintah harus mengurangi kelatahan memproduksi aturan hukum yang mengandung misi intoleransi. Kedua, pemerintah harus tegas menindak pada organisasi kemasyarakatan, dan organisasi politik yang senyata-nyata anti NKRI dan Pancasila, tak terkecuali mereka para elite yang melindunginya bahkan menjadikannya sebagai amunisi gerakan politik meraih kekuasaan. Ketiga, pemerintah harus secara terus menerus mentransformasikan nilai-nilai luhur pancasila secara lebih operasional dalam agenda-agenda pembangunan nasional. Karena Pancasila jelas-jelas terformulasi dari tata nilai dan tradisi luhur bangsa Indonesia. Upaya terakhir ini, sangat penting untuk melibatkan kedua ormas tersebut.[]

    Oleh: Kharis Fadlan
    (Pengurus NU Ranting Desa Logede Kec. Pejagoan Kebumen)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top