sudarrnoahmad/ekspres |
-------------------------
Sudarno Ahmad, Karanganyar
------------------------
Cut Fitri yang saat ini telah berusia 19 tahun mengalami keterbelakangan mental. Anak pertamanya itu memiliki keterbatasan komunikasi dan mentalnya tidak berkembang. Saat gadis seusianya sedang menjalani masa mekar-mekarnya Cut Fitri hanya di rumah saja. Dia pernah disekolahkan di sekolah luar biasa (SLB), namun ketiadaan biaya akhirnya terpaksa berhenti sekolah.
Kondisi lebih parah dialami adiknya Qwattan Ubaidillah yang lahir dua tahun setelahnya. Kendati usianya sudah 17 tahun, namun kondisi mentalnya masih seperti bayi berumur enam bulan. "Makan saja masih disuapin. Bisa makan sendiri, tetapi berantakan. Apa saja yang ketemu, langsung dimakan," ujar Eka Mulyati.
Tak hanya itu emosinya gampang berubah. Saat sedang emosi tinggi, Ubaidillah bisa merusak apa saja yang ada di rumah. Selain itu juga bisa pergi dari rumah. Agar tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain, kedua orang tuanya memilih untuk memborgol tangan Ubaidillah agar tidak pergi ke mana-mana. Sebab, kalau sudah pergi tidak bisa pulang lagi.
"Barang-barang di rumah rusak semua olehnya. Apalagi saat merasa lapar dia melakukan apa saja sehingga tidak terkendali," ujar Eka Mulyati yang asli Sumatera tersebut.
Dia merasa lebih bersyukur anak ketiganya Muammar Elfasa (15) lahir normal. Tetapi karena melihat kedua kakaknya yang tidak normal, anak ketiganya itu kesulitan mencari sekolah karena SD di sekitar desanya menolaknya. Akhirnya dia disekolahkan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Kecamatan Sempor yang berjarak sekitar 10 km dari rumahnya. Saat ini Muammar baru duduk di kelas 4 MI, padahal anak-anak di usianya sudah duduk di SMP.
"Dia tumbuh normal, bahkan sudah hafal sampai surat An-naba (satu juz Alquran,red). Tapi saya takut karena setiap hari melihat kakak-kakaknya bisa mempengaruhi perkembangannya," imbuh Eka Mulyati.
Mengasuh dua anak dengan keterbelakangan mental membuat kehidupan Samiyono dan Eka Mulyati penuh dengan liku-liku. Awalnya mereka tinggal di Tengerang. Namun akhirnnya lima tahun lalu, istri dan ketiga anaknya pulang ke Karanganyar, Kebumen. Sedangkan dia masih bertahan bekerja. Sampai akhirnya, enam bulan lalu Samiyono tak lagi memiliki perkerjaan sehingga tak ada pilihan selain menyusul anak istrinya di Kebumen."Di Tangerang ngontrak. Dahulu pernah punya rumah, tetapi sampai dijual untuk pengobatan," ujar Samiyono mengaku sampai sekarang masih menganggur.(*)