Terlalu Nyaman Awas Kebablasan
Tidak ada lagi pelajar berdandan aneh-aneh keluyuran di jalanan. Atau malam-malam kebingungan mencari bahan aksesori nyeleneh. Ya, Masa Orientasi Sekolah (MOS) sudah diubah menjadi Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang diklaim lebih mendidik. Namun diakui atau tidak, kenangan positif MOS susah dilupakan.
HANYA dalam hitungan detik, ingatan Thomas Nugroho, 20, langsung nyambung dengan kenangan lima tahun silam. Kala itu sebagai murid baru, dirinya masih merasakan MOS di SMA Santo Yosef Solo. Meskipun cukup berat, tapi kegiatan itu dinilainya menarik dan paling berkesan.
“Memang disuruh aneh-aneh. Tapi saya pikir asyiknya malah di situ. Jadi bisa diceritakan lagi pada kerabat tentang masa-masa zaman dulu,” terang dia.
Menurut dia, bila pelaksanaan dan bahan-bahan MOS yang sekarang disebut MPLS disediakan sekolah, akan kurang berkesan bagi murid. Selain itu kebersamaan selama MOS tak tergantikan.
“Kalau semua sudah ada, apa bedanya dengan kegiatan belajar mengajar biasa disekolah,” ungkap dia kemarin (15/7).
Kenangan MOS tiga tahun silam juga dirasakan Soni Kurniawan, 16. “Waktu masuk SMP disuruh pakai pita warna-warni, pakai kaus kaki beda warna, pakai topi dari kertas, dan bawa bekal makanan yang aneh-aneh,” ungkap peserta didik baru SMKN 7 Solo ini.
Sekarang, Soni tak lagi merasakan susahnya mencari bahan-bahan untuk MOS. Karena itu, dia mengaku lebih bersemangat mengikuti MPLS di jenjang yang lebih tinggi. “Jadi ya lebih enak sekarang. Nggak usah repot,” katanya.
Kesan MOS juga membekas di ingatan Albert Fredi, 15, murid SMA PL Santo Yosef Solo. Oleh seniornya di SMP, dia diminta membuat rok dari rumbai-rumbai tali rafia dan membuat topi dari bola. “Disuruh bawa bekal tetapi diberikan pada kakak kelas,” terang warga asli Grobogan, Purwodadi ini.
Dia menuturkan, hal semacam itu cukup merepotkan siswa baru. Karena itu, ketika MOS diganti MPLS, Albert mendukungnya. Sebab sekolah sudah mempersiapkan keperluan MPLS sehingga murid baru tidak perlu repot. “Ya jelas lebih enak sekarang,” ucapnya.
Sementara itu, peralihan MOS menjadi MPLS dinilai sebagai solusi tepat mengurangi tindak bullying. Meski begitu, karena difasilitasi sekolah, yang perlu diperhatikan adalah potensi murid menjadi lebih manja dan kurang kreatif.
“Sebenarnya bentuk-bentuk pemberian tugas (dalam MOS, Red) kan untuk meningkatkan kreativitas murid baru juga. Juga bukan bentuk perploncoan. Tetapi karena tidak sesuai dengan aturan dari permendikbud, ya murid baru tidak diminta untuk seperti itu,” urai Wakil Kepala Humas SMA PL Santo Yosef Surakarta F.X Trias Hadi Pirhantoro.
Sekadar informasi, dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 18 Tahun 2016 di dalamnya berisi larangan memberikan tugas pada murid baru yang tidak bermanfaat, memberikan hukuman dalam bentuk fisik, tugas tak masuk akal, dan aktivitas lainnya yang tidak relevan dengan pembelajaran.
“Pada dasarnya kami sebagai pendidik memang menginginkan hal terbaik untuk murid. Jika permendikbud berkata seperti itu, ya sudah sewajarnya sekolah mengikutinya,” bebernya
Meski begitu, Trias menilai perlu ada kajian tentang pelaksanaan MPLS guna menghindari murid baru lebih manja dan kurang disiplin. Dia mencontohkan banyaknya fenomena murid menggugat gurunya walau hanya sekadar dicubit.
“Sewaktu saya sekolah dulu, dihukum itu tidak masalah jika memang melanggar. Model dulu itu hukumnya banyak yang fisik karena kan zamannya orde baru kental berbau militer. Lha anak sekarang itu kalau terlalu nyaman akan kebabaslan. Beda dengan orang orang zaman dulu,” bebernya.
Terpisah, Wakil Kepala Kesiswaan SMKN 7 Solo Riptono yang juga dipercaya sebagai penanggungjawab MPLS menuturkan, MOS zaman sekarang jauh berbeda dibandingkan puluhan tahun lalu.
Sewaktu Riptono duduk di bangku SMA pada 1985, ada semacam pendidikan semimiliter yang penerapannya sangat ketat. “Dulu itu kalau mbeler (malas, red) ya hukumannya fisik. Bisa push up bisa juga disuruh lari,” jelas dia.
Dia menganggap hukuman tersebut tetap ada manfaatnya. Yaitu bisa melatih disiplin, fisik, dan kepercayaan diri. “Orang-orang dulu kan lebih narimo dan lebih kuat kalau saya nilai. Meski dibentuk dengan keras dan semimiliter, malah generasi dulu itu terbentuk dengan baik,” urai dia.
Tapi Riptono menyadari, hukuman fisik sudah tidak relevan untuk anak-anak zaman sekarang. Sebab, ketika itu diterapkan, anak-anak bisa berpikir bahwa sanksi tersebut merupakan bentuk kekerasan.
“Kalau itu (hukuman fisik, Red) bisa diterima dengan baik, pasti akan bermanfaat. Buktinya orang zaman dulu juga terbentuk dengan baik,” tegas dia.
Ada sisi postifnya, ada pulu negatifnya. Riptono menambahkan, kegiatan semimiliter membuat jarak antara senior dan junior. Celah tersebut rawan menimbulkan berbagai pelanggaran yang mengarah pada kekerasan fisik.
Kekhawatiran tersebut ikut direspons Wakil Kepala Bidang Kesiswaan SMAN 4 Surakarta Suyono. “Sebelumnya (MOS, Red) itu kan banyak hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dan lepas dari pengawasan sekolah. Jadi MPLS ini bisa menjadi upaya antisipasi,” sebutnya.
“Jadi kegiatan perploncoan dan yang aneh-aneh sudah tidak ada. Aturannya sudah jelas, guru (pihak sekolah, Red) sebagai pihak penyelenggara MPLS yang tidak boleh melibatkan siswa senior maupun alumni sebagai pihak penyelenggara,” imbuh dia.
Dalam MPLS, murid baru lebih diarahkan pada pengenalan lingkungan sekolah, pengenalan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), sarana dan prasarana sekkolah, serta penekanan pada pembentukan karakter siwa tersebut.
“Kalau saya lebih setuju seperti ini (MPLS, red). Karena kebanyakan masyarakat menganggap kalau MOS mengarah pada kekerasan, perploncoan, dan bullying,” ucap dia.
Senada dituturkan Kepala SMKN 7 Surakarta Wening Sukmanawati. Dia menilai MPLS sangat efektif tentunya disesuaikan dengan kebijakan sekolah masing-masing. Selain itu, ada juga penanaman karakter pada siswa didik baru agar lebih siap mengikuti kegiatan belajar mengajar di jenjang lebih tinggi.
Ini agar murid baru merasa nyaman dan tanpa tekanan. Karena pada sistem MOS sebelumnya, kata Wening, mereka memenuhi tugas atas dasar ketakutan. Hal tersebut cenderung memicu kakak kelas mempermainkan adi kelasnya.
“Jadi semuanya diubah ke arah yang lebih baik. Seperti membawa tanaman yang ada di rumah guna menuju sekolah yang adiwiyata. Jadi siswa diedukasi dulu tentang sekolah adiwiyata itu yang seperti apa,” ujar dia. (ves/wa)
Tidak ada lagi pelajar berdandan aneh-aneh keluyuran di jalanan. Atau malam-malam kebingungan mencari bahan aksesori nyeleneh. Ya, Masa Orientasi Sekolah (MOS) sudah diubah menjadi Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang diklaim lebih mendidik. Namun diakui atau tidak, kenangan positif MOS susah dilupakan.
HANYA dalam hitungan detik, ingatan Thomas Nugroho, 20, langsung nyambung dengan kenangan lima tahun silam. Kala itu sebagai murid baru, dirinya masih merasakan MOS di SMA Santo Yosef Solo. Meskipun cukup berat, tapi kegiatan itu dinilainya menarik dan paling berkesan.
“Memang disuruh aneh-aneh. Tapi saya pikir asyiknya malah di situ. Jadi bisa diceritakan lagi pada kerabat tentang masa-masa zaman dulu,” terang dia.
Menurut dia, bila pelaksanaan dan bahan-bahan MOS yang sekarang disebut MPLS disediakan sekolah, akan kurang berkesan bagi murid. Selain itu kebersamaan selama MOS tak tergantikan.
“Kalau semua sudah ada, apa bedanya dengan kegiatan belajar mengajar biasa disekolah,” ungkap dia kemarin (15/7).
Kenangan MOS tiga tahun silam juga dirasakan Soni Kurniawan, 16. “Waktu masuk SMP disuruh pakai pita warna-warni, pakai kaus kaki beda warna, pakai topi dari kertas, dan bawa bekal makanan yang aneh-aneh,” ungkap peserta didik baru SMKN 7 Solo ini.
Sekarang, Soni tak lagi merasakan susahnya mencari bahan-bahan untuk MOS. Karena itu, dia mengaku lebih bersemangat mengikuti MPLS di jenjang yang lebih tinggi. “Jadi ya lebih enak sekarang. Nggak usah repot,” katanya.
Kesan MOS juga membekas di ingatan Albert Fredi, 15, murid SMA PL Santo Yosef Solo. Oleh seniornya di SMP, dia diminta membuat rok dari rumbai-rumbai tali rafia dan membuat topi dari bola. “Disuruh bawa bekal tetapi diberikan pada kakak kelas,” terang warga asli Grobogan, Purwodadi ini.
Dia menuturkan, hal semacam itu cukup merepotkan siswa baru. Karena itu, ketika MOS diganti MPLS, Albert mendukungnya. Sebab sekolah sudah mempersiapkan keperluan MPLS sehingga murid baru tidak perlu repot. “Ya jelas lebih enak sekarang,” ucapnya.
Sementara itu, peralihan MOS menjadi MPLS dinilai sebagai solusi tepat mengurangi tindak bullying. Meski begitu, karena difasilitasi sekolah, yang perlu diperhatikan adalah potensi murid menjadi lebih manja dan kurang kreatif.
“Sebenarnya bentuk-bentuk pemberian tugas (dalam MOS, Red) kan untuk meningkatkan kreativitas murid baru juga. Juga bukan bentuk perploncoan. Tetapi karena tidak sesuai dengan aturan dari permendikbud, ya murid baru tidak diminta untuk seperti itu,” urai Wakil Kepala Humas SMA PL Santo Yosef Surakarta F.X Trias Hadi Pirhantoro.
Sekadar informasi, dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 18 Tahun 2016 di dalamnya berisi larangan memberikan tugas pada murid baru yang tidak bermanfaat, memberikan hukuman dalam bentuk fisik, tugas tak masuk akal, dan aktivitas lainnya yang tidak relevan dengan pembelajaran.
“Pada dasarnya kami sebagai pendidik memang menginginkan hal terbaik untuk murid. Jika permendikbud berkata seperti itu, ya sudah sewajarnya sekolah mengikutinya,” bebernya
Meski begitu, Trias menilai perlu ada kajian tentang pelaksanaan MPLS guna menghindari murid baru lebih manja dan kurang disiplin. Dia mencontohkan banyaknya fenomena murid menggugat gurunya walau hanya sekadar dicubit.
“Sewaktu saya sekolah dulu, dihukum itu tidak masalah jika memang melanggar. Model dulu itu hukumnya banyak yang fisik karena kan zamannya orde baru kental berbau militer. Lha anak sekarang itu kalau terlalu nyaman akan kebabaslan. Beda dengan orang orang zaman dulu,” bebernya.
Terpisah, Wakil Kepala Kesiswaan SMKN 7 Solo Riptono yang juga dipercaya sebagai penanggungjawab MPLS menuturkan, MOS zaman sekarang jauh berbeda dibandingkan puluhan tahun lalu.
Sewaktu Riptono duduk di bangku SMA pada 1985, ada semacam pendidikan semimiliter yang penerapannya sangat ketat. “Dulu itu kalau mbeler (malas, red) ya hukumannya fisik. Bisa push up bisa juga disuruh lari,” jelas dia.
Dia menganggap hukuman tersebut tetap ada manfaatnya. Yaitu bisa melatih disiplin, fisik, dan kepercayaan diri. “Orang-orang dulu kan lebih narimo dan lebih kuat kalau saya nilai. Meski dibentuk dengan keras dan semimiliter, malah generasi dulu itu terbentuk dengan baik,” urai dia.
Tapi Riptono menyadari, hukuman fisik sudah tidak relevan untuk anak-anak zaman sekarang. Sebab, ketika itu diterapkan, anak-anak bisa berpikir bahwa sanksi tersebut merupakan bentuk kekerasan.
“Kalau itu (hukuman fisik, Red) bisa diterima dengan baik, pasti akan bermanfaat. Buktinya orang zaman dulu juga terbentuk dengan baik,” tegas dia.
Ada sisi postifnya, ada pulu negatifnya. Riptono menambahkan, kegiatan semimiliter membuat jarak antara senior dan junior. Celah tersebut rawan menimbulkan berbagai pelanggaran yang mengarah pada kekerasan fisik.
Kekhawatiran tersebut ikut direspons Wakil Kepala Bidang Kesiswaan SMAN 4 Surakarta Suyono. “Sebelumnya (MOS, Red) itu kan banyak hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dan lepas dari pengawasan sekolah. Jadi MPLS ini bisa menjadi upaya antisipasi,” sebutnya.
“Jadi kegiatan perploncoan dan yang aneh-aneh sudah tidak ada. Aturannya sudah jelas, guru (pihak sekolah, Red) sebagai pihak penyelenggara MPLS yang tidak boleh melibatkan siswa senior maupun alumni sebagai pihak penyelenggara,” imbuh dia.
Dalam MPLS, murid baru lebih diarahkan pada pengenalan lingkungan sekolah, pengenalan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), sarana dan prasarana sekkolah, serta penekanan pada pembentukan karakter siwa tersebut.
“Kalau saya lebih setuju seperti ini (MPLS, red). Karena kebanyakan masyarakat menganggap kalau MOS mengarah pada kekerasan, perploncoan, dan bullying,” ucap dia.
Senada dituturkan Kepala SMKN 7 Surakarta Wening Sukmanawati. Dia menilai MPLS sangat efektif tentunya disesuaikan dengan kebijakan sekolah masing-masing. Selain itu, ada juga penanaman karakter pada siswa didik baru agar lebih siap mengikuti kegiatan belajar mengajar di jenjang lebih tinggi.
Ini agar murid baru merasa nyaman dan tanpa tekanan. Karena pada sistem MOS sebelumnya, kata Wening, mereka memenuhi tugas atas dasar ketakutan. Hal tersebut cenderung memicu kakak kelas mempermainkan adi kelasnya.
“Jadi semuanya diubah ke arah yang lebih baik. Seperti membawa tanaman yang ada di rumah guna menuju sekolah yang adiwiyata. Jadi siswa diedukasi dulu tentang sekolah adiwiyata itu yang seperti apa,” ujar dia. (ves/wa)