JAKARTA – Masih maraknya upaya kriminalisasi terhadap kepala daerah, tampaknya membuat Presiden Joko Widodo sebal. Kemarin, dia mengumpulkan seluruh Kapolda dan Kajati se-Indonesia di Istana Negara. Presiden kembali meminta aparat penegak hukum untuk tidak mengkriminalisasi kepala daerah atas kebijakan yang diambil.
Saat berbicara kemarin, mimik muka Jokowi tampak serius. "Kita sudah pontang-panting melakukan terobosan-terobosan, baik deregulasi ekonomi maupun amnesty pajak, "ucapnya. Menurut dia, berbagai jurus untuk bisa mendorong tumbuhnya perekonomian sudah dikeluarkan oleh pemerintah.
"Namun, kalau tidak ada support dari jajaran di daerah, baik pemda, kejari, kejati, polresta, polda, ya tidak jalan, "lanjut Jokowi dengan nada kecewa. Jokowi menuturkan, ada lima hal yang sudah sejak tahun lalu sudah dia minta kepada Kapolda dan Kajari. Seluruhnya menyangkut penegakan hukum dan kebijakan pemerintah daerah.
Pertama, kebijakan atau diskresi yang diambil kepala daerah jangan sampai dipidanakan. Hal yang sama juga harus diterapkan pada tindakan administrasi pemerintahan. ’’Tolong dibedakan. Mana yang niat nyuri, mana yang niat nyolong, mana yang itu tindakan administrasi,’’ ujar mantan pngusaha meubel itu.
Ketiga, terkait dengan kerugian negara yang dinyatakan BPK, masih ada waktu 60 hari untuk memperbaiki atau bahkan mengembalikan. Berikutnya, kerugian negara harus konkret. Terakhir, kasus-kasus tersebut tidak diekspos berlebihan sebelum sampai ke ranah penuntutan. Sebab, belum tentu tersangka itu memang bersalah.
Selama setahun belakangan, Jokowi mengaku mendengar sejumlah keluhan dari bupati, wali kota, maupun gubernur berkaitan dengan upaya pemidanaan terhadap kepala daerah dan jajarannya. "Nanti saya akan blak-blakan kalau sudah nggak ada media, ucapnya menutup pengantar. Dia lalu kembali duduk tanpa mengucapkan salam.
Seskab Pramono Anung menuturkan, pada dasarnya Presiden hanya tidak ingin ada upaya kriminalisasi terhadap pihak eksekutif yang sedang menjalankan pembangunan. Dalam hal ini, kepala daerah dan jajarannya. "Tapi kalau benar-benar salah ya tangkap, kalau mencuri, ya penjarakan, "ujar Pramono usai pertemuan.
Temuan BPK misalnya, ada saja yang belum habis 60 hari, penegak hukum sudah masuk dan memproses. Kemudian, saat memproses itu buru-buru diumumkan kepada publik, sehingga seolah sudah bersalah. "Kalau memang kriminalisasi terus dilakukan, presiden menyampaikan, meminta kepada Jaksa Agung dan Kapolri mencopot Kajari dan Kajati (juga Kapolda-Kapolres), "lanjut mantan Sekjen PDIP itu.
Saat ini, tutur Pramono, ada kurang lebih Rp 246 triliun dana di berbagai daerah yang disimpan di Bank Pembangunan Daerah. Kondisi tersebut dinilai sangat merugikan karena unagnya tidak bergerak. Di satu sisi, pemerintah sedang mencari tambahan dana untuk memperkuat fiskal. Namun, di sisi lain ada dana menganggur yang begitu besar di daerah.
"Karena apa, mereka (kepala daerah) takut untuk menggunakan uang itu, "ucapnya. Karenanya, Presiden justru meminta Kapolda dan Kajati untuk ikut mendorong agar dana-dana tersebut segera diserap untuk pembangunan.
Dia mengakui, ada faktor lain yang mungkin bisa menjadi motif dana menganggur. Salah satunya, untuk mengincar bunga bank. Caranya adalah mengendapkan dana berbulan-bulan. Jika memang itu yang terjadi, maka pemerintah akan mengambil tindakan. Salah satunya mengurangi alokasi dana untuk daerah.
Pramono menambahkan, presiden tidak sedang mengungkapkan kekecewaan terhadap para kapolda dan Kajati. ’’Presiden memberikan penegasan, jangan disalahartikan,’’ tambahnya.
Mendagri Tjahjo Kumolo mengakui, salah satu hal yang dibahas Presiden dengan para penegak hukum tahun lalu adalah faktor ketakutan kepala daerah. BPK memberi waktu 60 hari untuk menjawab temuan yang ada. "Ya seharusnya penegak hukum jangan masuk, "ucapnya.
Bagaimanapun, tutur Tjahjo, setiap terobosan memerlukan diskresi. Memang, sebagian diskresi sudah mendapatkan payung hukum. Namun, sebagiannya lagi belum. Yang belum mendapat payung hukum itulah yang seharusnya tidak buru-buru dipidanakan atau diperdatakan.
Apabila dana Rp 246 triliun itu bisa digunakan, tentu pembangunan akan lebih lancar. Pihaknya juga sudah memberikan arahan kepada kepala daerah agar tidak ragu dalam mengambil kebijakan. Tidak perlu takut kalau memang tidak menggondol anggaran. "Kecuali tertangkap tangan, apa boleh buat, "tambahnya.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian tidak banyak berkomentar mengenai pertemuan dengan Presiden tersebut. Dia mengakui ada beberapa arahan dari presiden, namun tidak menjelaskan lebih jauh. "Kami berikan pengarahan lagi sambil dilakukan pengawasan, "ujarnya singkat.
Informasi yang diperoleh Jawa Pos, Jokowi memang cukup geram. Saat tidak ada awak media, dia membeberkan adanya sejumlah kepala daerah yang menjadi ATM bagi penegak hukum. Caranya dengan memainkan sejumlah kasus dugaan korupsi. Meski tidak disebutkan lebih detail, ada sedikitnya sembilan kejari yang didapati ’memeras’ Pemda melalui berbagai kasus.
Di sisi lain, para kepala daerah ketakutan untuk berinovasi karena mereka menjadi incaran para penegak hukum, khususnya kejaksaan. Akibatnya, dana Rp 246 triliun menganggur di bank. Presiden amat menyayangkan hal tersebut, karena nilainya sangat tinggi untuk membangun daerah.
Sementara, untuk kepolisian, belum ditemukan indikasi kriminalisasi kebijakan. Hanya saja, Presiden tetap memberikan warning keras agar jangan sampai kriminalisasi terjadi lagi. Yang diinginkan presiden, ketika seorang kepala daerah terindikasi hendak melakukan korupsi, secepatnya dibina oleh kejaksaan atau kepolisian. Jangan sampai korupsinya terjadi. Bukan dibiarkan kemudian ditangkap setelah melakukan.
Sementara Kadivhumas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar mengakui memang terdapat instruksi untuk tidak mengkriminalisasi kepala daerah terkait kebijakannya. Instruksi langsung ini tentu akan dipatuhi Korps Bhayangkara hingga ke tingkatan penyidik. ”Kapolda akan secara langsung menginstruksikannya pada setiap penyidik,” terangnya.
Polri akan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menangani kasus dugaan pidana yang terjadi pada kepala daerah atau pejabat. Polri sepakat menunggu 60 hari verivikasi yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk setiap kasus yang diduga melibatkan kepala daerah atau pejabat negara. ”Kami pastikan tidak akan ada kriminalisasi,” tegasnya.
Setelah 60 hari itu, bila ternyata BPK menyerahkan ke kepolisian. Maka, tentunya baru akan ditindaklanjuti kepolisian. ”setiap kepala daerah dan pejabat negara tidak perlu khawatir,” paparnya ditemui di komplek Mabes Polri kemarin.
Polri, lanjutnya, berupaya sekuat tenaga untuk membantu percepatan pembangunan dan penyerapan anggaran yang tepat sasaran. Dia mengatakan, setiap Kapolda juga akan terus berkoordinasi dengan setiap kepala daerah. ”Tadi juga diinstruksikan Kapolri terkait semua itu,” ujarnya.
Sementara Jaksa Agung H M. Prasetyo enggan berkomentar terkait instruksi presiden tersebut. Saat Jawa Pos menghubungi Jaksa Agung, justru panggilan direject. Pesan singkat juga tidak dibalas mantan Jampidum tersebut. (byu)
Saat berbicara kemarin, mimik muka Jokowi tampak serius. "Kita sudah pontang-panting melakukan terobosan-terobosan, baik deregulasi ekonomi maupun amnesty pajak, "ucapnya. Menurut dia, berbagai jurus untuk bisa mendorong tumbuhnya perekonomian sudah dikeluarkan oleh pemerintah.
"Namun, kalau tidak ada support dari jajaran di daerah, baik pemda, kejari, kejati, polresta, polda, ya tidak jalan, "lanjut Jokowi dengan nada kecewa. Jokowi menuturkan, ada lima hal yang sudah sejak tahun lalu sudah dia minta kepada Kapolda dan Kajari. Seluruhnya menyangkut penegakan hukum dan kebijakan pemerintah daerah.
Pertama, kebijakan atau diskresi yang diambil kepala daerah jangan sampai dipidanakan. Hal yang sama juga harus diterapkan pada tindakan administrasi pemerintahan. ’’Tolong dibedakan. Mana yang niat nyuri, mana yang niat nyolong, mana yang itu tindakan administrasi,’’ ujar mantan pngusaha meubel itu.
Ketiga, terkait dengan kerugian negara yang dinyatakan BPK, masih ada waktu 60 hari untuk memperbaiki atau bahkan mengembalikan. Berikutnya, kerugian negara harus konkret. Terakhir, kasus-kasus tersebut tidak diekspos berlebihan sebelum sampai ke ranah penuntutan. Sebab, belum tentu tersangka itu memang bersalah.
Selama setahun belakangan, Jokowi mengaku mendengar sejumlah keluhan dari bupati, wali kota, maupun gubernur berkaitan dengan upaya pemidanaan terhadap kepala daerah dan jajarannya. "Nanti saya akan blak-blakan kalau sudah nggak ada media, ucapnya menutup pengantar. Dia lalu kembali duduk tanpa mengucapkan salam.
Seskab Pramono Anung menuturkan, pada dasarnya Presiden hanya tidak ingin ada upaya kriminalisasi terhadap pihak eksekutif yang sedang menjalankan pembangunan. Dalam hal ini, kepala daerah dan jajarannya. "Tapi kalau benar-benar salah ya tangkap, kalau mencuri, ya penjarakan, "ujar Pramono usai pertemuan.
Temuan BPK misalnya, ada saja yang belum habis 60 hari, penegak hukum sudah masuk dan memproses. Kemudian, saat memproses itu buru-buru diumumkan kepada publik, sehingga seolah sudah bersalah. "Kalau memang kriminalisasi terus dilakukan, presiden menyampaikan, meminta kepada Jaksa Agung dan Kapolri mencopot Kajari dan Kajati (juga Kapolda-Kapolres), "lanjut mantan Sekjen PDIP itu.
Saat ini, tutur Pramono, ada kurang lebih Rp 246 triliun dana di berbagai daerah yang disimpan di Bank Pembangunan Daerah. Kondisi tersebut dinilai sangat merugikan karena unagnya tidak bergerak. Di satu sisi, pemerintah sedang mencari tambahan dana untuk memperkuat fiskal. Namun, di sisi lain ada dana menganggur yang begitu besar di daerah.
"Karena apa, mereka (kepala daerah) takut untuk menggunakan uang itu, "ucapnya. Karenanya, Presiden justru meminta Kapolda dan Kajati untuk ikut mendorong agar dana-dana tersebut segera diserap untuk pembangunan.
Dia mengakui, ada faktor lain yang mungkin bisa menjadi motif dana menganggur. Salah satunya, untuk mengincar bunga bank. Caranya adalah mengendapkan dana berbulan-bulan. Jika memang itu yang terjadi, maka pemerintah akan mengambil tindakan. Salah satunya mengurangi alokasi dana untuk daerah.
Pramono menambahkan, presiden tidak sedang mengungkapkan kekecewaan terhadap para kapolda dan Kajati. ’’Presiden memberikan penegasan, jangan disalahartikan,’’ tambahnya.
Mendagri Tjahjo Kumolo mengakui, salah satu hal yang dibahas Presiden dengan para penegak hukum tahun lalu adalah faktor ketakutan kepala daerah. BPK memberi waktu 60 hari untuk menjawab temuan yang ada. "Ya seharusnya penegak hukum jangan masuk, "ucapnya.
Bagaimanapun, tutur Tjahjo, setiap terobosan memerlukan diskresi. Memang, sebagian diskresi sudah mendapatkan payung hukum. Namun, sebagiannya lagi belum. Yang belum mendapat payung hukum itulah yang seharusnya tidak buru-buru dipidanakan atau diperdatakan.
Apabila dana Rp 246 triliun itu bisa digunakan, tentu pembangunan akan lebih lancar. Pihaknya juga sudah memberikan arahan kepada kepala daerah agar tidak ragu dalam mengambil kebijakan. Tidak perlu takut kalau memang tidak menggondol anggaran. "Kecuali tertangkap tangan, apa boleh buat, "tambahnya.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian tidak banyak berkomentar mengenai pertemuan dengan Presiden tersebut. Dia mengakui ada beberapa arahan dari presiden, namun tidak menjelaskan lebih jauh. "Kami berikan pengarahan lagi sambil dilakukan pengawasan, "ujarnya singkat.
Informasi yang diperoleh Jawa Pos, Jokowi memang cukup geram. Saat tidak ada awak media, dia membeberkan adanya sejumlah kepala daerah yang menjadi ATM bagi penegak hukum. Caranya dengan memainkan sejumlah kasus dugaan korupsi. Meski tidak disebutkan lebih detail, ada sedikitnya sembilan kejari yang didapati ’memeras’ Pemda melalui berbagai kasus.
Di sisi lain, para kepala daerah ketakutan untuk berinovasi karena mereka menjadi incaran para penegak hukum, khususnya kejaksaan. Akibatnya, dana Rp 246 triliun menganggur di bank. Presiden amat menyayangkan hal tersebut, karena nilainya sangat tinggi untuk membangun daerah.
Sementara, untuk kepolisian, belum ditemukan indikasi kriminalisasi kebijakan. Hanya saja, Presiden tetap memberikan warning keras agar jangan sampai kriminalisasi terjadi lagi. Yang diinginkan presiden, ketika seorang kepala daerah terindikasi hendak melakukan korupsi, secepatnya dibina oleh kejaksaan atau kepolisian. Jangan sampai korupsinya terjadi. Bukan dibiarkan kemudian ditangkap setelah melakukan.
Sementara Kadivhumas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar mengakui memang terdapat instruksi untuk tidak mengkriminalisasi kepala daerah terkait kebijakannya. Instruksi langsung ini tentu akan dipatuhi Korps Bhayangkara hingga ke tingkatan penyidik. ”Kapolda akan secara langsung menginstruksikannya pada setiap penyidik,” terangnya.
Polri akan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menangani kasus dugaan pidana yang terjadi pada kepala daerah atau pejabat. Polri sepakat menunggu 60 hari verivikasi yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk setiap kasus yang diduga melibatkan kepala daerah atau pejabat negara. ”Kami pastikan tidak akan ada kriminalisasi,” tegasnya.
Setelah 60 hari itu, bila ternyata BPK menyerahkan ke kepolisian. Maka, tentunya baru akan ditindaklanjuti kepolisian. ”setiap kepala daerah dan pejabat negara tidak perlu khawatir,” paparnya ditemui di komplek Mabes Polri kemarin.
Polri, lanjutnya, berupaya sekuat tenaga untuk membantu percepatan pembangunan dan penyerapan anggaran yang tepat sasaran. Dia mengatakan, setiap Kapolda juga akan terus berkoordinasi dengan setiap kepala daerah. ”Tadi juga diinstruksikan Kapolri terkait semua itu,” ujarnya.
Sementara Jaksa Agung H M. Prasetyo enggan berkomentar terkait instruksi presiden tersebut. Saat Jawa Pos menghubungi Jaksa Agung, justru panggilan direject. Pesan singkat juga tidak dibalas mantan Jampidum tersebut. (byu)