JAKARTA— Polri secara resmi telah memastikan bahwa salah satu jenasah dalam kontak tembak Senin lalu (18/7) di Poso adalah gembong teroris Santoso. Namun, keberhasilan menewaskan Santoso itu juga menimbulkan kekhawatiran akan munculnya sosok pemimpin baru kelompok teror Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Polri yang telah menduga kemungkinan itu berupaya sekuat tenaga untuk mencegahnya.
Polri memberikan catatan tebal bahwa pencegahan kemunculan sosok pemimpin kelompok teror itu merupakan tugas bersama. Karena itu, Korps Bhayangkara berupaya untuk menggaet lebih erat setiap kementerian, tokoh masyarakat, setiap orang tua dan bahkan para pemuda.
Kadivhumas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar menuturkan bahwa ada beberapa nama yang berpotensi menggantikan Santoso. Yakni, Basri dan Ali Kalora. Keduanya selama ini termasuk memiliki posisi yang kuat di kelompok tersebut. ”Kami tidak ingin ada Santoso baru,” paparnya.
Karenanya, perlu kepedulian setiap orang untuk mencegah menjangkitnya paham terorisme di Indonesia. Setiap orang, baik ulama dan orang tua perlu untuk saling menasehati agar paham terorisme tidak berkembang di keluarga dan masyarakat. ”Terorisme merupakan lawan semua manusia yang cinta damai,” tuturnya.
Perlu disadari bahwa paham radikal yang mengarah pada terorisme merupakan produk impor. Banyak orang yang seakan-akan takjub dengan paham tersebut. ”Padahal, pengaruh global ini begitu merusak,” paparnya ditemui di kantor Divhumas Mabes Polri.
Dia menuturkan bahwa Polri menginginkan semua orang untuk bisa bersama-sama mencegah berkembangnya paham radikal tersebut. Nahdatul Ulama dengan Islam Nusantara dan Muhammadiyah dengan ajakan melawan terorisme menjadi salah satu contoh upaya masyarakat mencegah terorisme. ”Kami mendukung penuh semua itu,” tegasnya.
Perbaikan semua bidang, dari pendidikan hingga perekonomian juga akan sangat efektif mencegah berkembangan paham radikal dan munculnya sosok seperti Santoso. Dengan begitu, masyarakat Indonesia tidak akan mudah tergiur dengan paham-paham asing tersebut. ”Padahal, semua yang dilakukan atas nama agama itu dibelokkan arahnya,” tegasnya.
Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) telah berupaya sekuatnya untuk mencegah paham radikal berkembang dan mencegah sosok pemimpin kelompok teror baru. Namun, upaya itu ada yang berhasil dan tidak. ”Tapi, kalau semua pihak terlibat, saya yakin paham radikal akan ditolak masuk ke Indonesia,” ujarnya.
Oleh karenanya, Boy memastikan jika operasi Tinombala akan tetap berlanjut sesuai dengan rencana awal, yakni hingga Agustus. Menurutnya, kepolisian sudah berkomitmen untuk menumpas habis kelompok tersebut.
Jika dihentikan, dia khawatir sisa-sisa kelompok tersebut akan kembali membangkitkan masa lainnya. "Wilayah ini jangan sampai menjadi basis latihan lagi," terangnya.
Secara kemampuan, Boy meyakini jika anak buah Santoso memiliki skill yang memadai. Bahkan, mantan Kapolda Banten itu menyebut kemampuannya relatif sama dengan Santoso. Pasalnya, mereka merupakan orang-orang yang terlatih.
Kendati begitu, Boy Rafli Amar tidak ragu bahwa terbunuhnya Santoso akan memberikan goncangan yang besar bagi anak buahnya yang tersisa. Meski demikian, hal itu belum tentu menurunkan kualitasnya dari kelompok tersebut.
"Kuantitas berkurang betul, tapi kualitas belum tentu," ujarnya dalam Konferensi Pers di Humas Mabes Polri, Jakarta kemarin.
Sebab, lanjutnya, kelompok Santoso memiliki doktrin yang cukup kuat di jajarannya. "Bagi mereka, mati itu bukan hal yang ditakutkan," imbuhnya
Selain itu, dia juga mengantisipasi adanya potensi serangan balasan. Baik dari kelompok Santoso, maupun dari kelompok-kelompok yang satu ideologi dengan Santoso di Indonesia. "Semua daerah kita monitor potensi-potensinya," ujarnya.
Bagaimana strategi penyergapan sisa-sisa kelompok Santoso? Boy menyebut satgas akan menggunakan strategi yang sama. Yakni dengan terus mempersempit ruang geraknya. Menurutnya, saat ini posisinya sudah sangat terjepit.
Terkait identifikasi dua jenasah dalam kontak tembak di Poso, Boy mengatakan bahwa dapat dipastikan bahwa salah satu jenasah itu merupakan Santoso. Ada beberapa ciri-ciri tubuh Santoso yang telah cocok, yakni tahi lalat di tengah dahi berukuran 0,7 cm, bekas luka tembak yang terjadi 2007, tahi lalat dibawah bibir sebelah kiri dan sidik jari yang diambil pada 2004. ”Saat ini hanya tes DNA yang belum ada,” terangnya.
Tes DNA itu membutuhkan waktu sekitar tiga hari. DNA Santoso akan dicocokkan dengan DNA milik anaknya. Tapi, pihak keluarga dekat Santoso juga telah memastikan bahwa jenasah itu Santoso. ”Karena itu, semua sekarang sudah terang benerang,’ paparnya.
Untuk satu jenasah yang lain? Dia mengatakan bahwa sebelumnya memang ada dugaan jenasah lainnya adalah Basri, namun ternyata setelah dicek jenasah itu adalah Mukhtar alias Kahar. ”Bagaimana perannya sedang didalami,” ujarnya.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian akhirnya juga memastikan bahwa salah seorang jenazah yang tewas tertembak adalah Santoso. Hal itu diketahui melalui identifikasi sidik jari. Sidik jari jenazah tersebut identik dengan sidik jari Santoso yang dimiliki Polda Sulteng. ’’Dulu kan pernah ditahan, sehingga kami sudah bisa simpulkan 100 persen yang bersangkutan’’ ujar Tito.
Dengan sidik jari tersebut, maka dipastikan jenazah itu adalah Santoso. Sedangkan, satu jenazah lagi bukan Basri, melainkan anak buah Santoso yang lain, Muchtar. Sedangkan, Basri berhasil melarikan diri bersama dua perempuan. Dua perempuan yang bersama Basri dipastikan tidak memiliki pengaruh dalam aksi teror.
Disinggung pengaruhnya terhadap ISIS di Indonesia, Tito mengaku yakin kekuatan ISIS bakal tereduksi. "Ini akan mendemoralisasi ISIS di Indonesia, karena Santoso dan BAsri adalah simbol open assistance ISIS,’’ tambahnya.
Hal senada disampaikan Kapolda Sulteng Brigjen Rudy Sufahriadi. Dia menyebut bahwa kedua perempuan itu merupakan istri Santoso dan Basri. Kelompok Santoso terpecah menjadi dua. Satu kelompok berisi lima orang dengan pimpinan Santoso. Satu kelompok lagi berisi 16 orang dengan pimpinan Ali Kalora.
Di kelompok Santoso, hanya dia dan Basri yang membawa serta istrinya. Sementara Muhtar tidak demikian. Untuk kelompok satunya, hanya Ali yang membawa serta istrinya. Anak buahnya yang lain tidak. Namun, yang jelas dengan tewasnya Santoso, kekuatan kelompoknya akan sama lagi.
Tewasnya Santoso, tambah Rudy, berawal saat tim Alfa 92 yang menjadi bagian dari operasi Tinombala berpatroli di kawasan Tambarana. Tim tersebut berisi sembilan prajurit Batalyon 515 Kostrad Jember. Di dekat sungai, didapati ada lima orang bersenjata yang diduga sebagai DPO dalam jarak 20-30 meter. Saat mencoba mendekat, terjadi kontak tembak yang menewaskan dua orang DPO. (idr/far/byu)
Polri memberikan catatan tebal bahwa pencegahan kemunculan sosok pemimpin kelompok teror itu merupakan tugas bersama. Karena itu, Korps Bhayangkara berupaya untuk menggaet lebih erat setiap kementerian, tokoh masyarakat, setiap orang tua dan bahkan para pemuda.
Kadivhumas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar menuturkan bahwa ada beberapa nama yang berpotensi menggantikan Santoso. Yakni, Basri dan Ali Kalora. Keduanya selama ini termasuk memiliki posisi yang kuat di kelompok tersebut. ”Kami tidak ingin ada Santoso baru,” paparnya.
Karenanya, perlu kepedulian setiap orang untuk mencegah menjangkitnya paham terorisme di Indonesia. Setiap orang, baik ulama dan orang tua perlu untuk saling menasehati agar paham terorisme tidak berkembang di keluarga dan masyarakat. ”Terorisme merupakan lawan semua manusia yang cinta damai,” tuturnya.
Perlu disadari bahwa paham radikal yang mengarah pada terorisme merupakan produk impor. Banyak orang yang seakan-akan takjub dengan paham tersebut. ”Padahal, pengaruh global ini begitu merusak,” paparnya ditemui di kantor Divhumas Mabes Polri.
Dia menuturkan bahwa Polri menginginkan semua orang untuk bisa bersama-sama mencegah berkembangnya paham radikal tersebut. Nahdatul Ulama dengan Islam Nusantara dan Muhammadiyah dengan ajakan melawan terorisme menjadi salah satu contoh upaya masyarakat mencegah terorisme. ”Kami mendukung penuh semua itu,” tegasnya.
Perbaikan semua bidang, dari pendidikan hingga perekonomian juga akan sangat efektif mencegah berkembangan paham radikal dan munculnya sosok seperti Santoso. Dengan begitu, masyarakat Indonesia tidak akan mudah tergiur dengan paham-paham asing tersebut. ”Padahal, semua yang dilakukan atas nama agama itu dibelokkan arahnya,” tegasnya.
Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) telah berupaya sekuatnya untuk mencegah paham radikal berkembang dan mencegah sosok pemimpin kelompok teror baru. Namun, upaya itu ada yang berhasil dan tidak. ”Tapi, kalau semua pihak terlibat, saya yakin paham radikal akan ditolak masuk ke Indonesia,” ujarnya.
Oleh karenanya, Boy memastikan jika operasi Tinombala akan tetap berlanjut sesuai dengan rencana awal, yakni hingga Agustus. Menurutnya, kepolisian sudah berkomitmen untuk menumpas habis kelompok tersebut.
Jika dihentikan, dia khawatir sisa-sisa kelompok tersebut akan kembali membangkitkan masa lainnya. "Wilayah ini jangan sampai menjadi basis latihan lagi," terangnya.
Secara kemampuan, Boy meyakini jika anak buah Santoso memiliki skill yang memadai. Bahkan, mantan Kapolda Banten itu menyebut kemampuannya relatif sama dengan Santoso. Pasalnya, mereka merupakan orang-orang yang terlatih.
Kendati begitu, Boy Rafli Amar tidak ragu bahwa terbunuhnya Santoso akan memberikan goncangan yang besar bagi anak buahnya yang tersisa. Meski demikian, hal itu belum tentu menurunkan kualitasnya dari kelompok tersebut.
"Kuantitas berkurang betul, tapi kualitas belum tentu," ujarnya dalam Konferensi Pers di Humas Mabes Polri, Jakarta kemarin.
Sebab, lanjutnya, kelompok Santoso memiliki doktrin yang cukup kuat di jajarannya. "Bagi mereka, mati itu bukan hal yang ditakutkan," imbuhnya
Selain itu, dia juga mengantisipasi adanya potensi serangan balasan. Baik dari kelompok Santoso, maupun dari kelompok-kelompok yang satu ideologi dengan Santoso di Indonesia. "Semua daerah kita monitor potensi-potensinya," ujarnya.
Bagaimana strategi penyergapan sisa-sisa kelompok Santoso? Boy menyebut satgas akan menggunakan strategi yang sama. Yakni dengan terus mempersempit ruang geraknya. Menurutnya, saat ini posisinya sudah sangat terjepit.
Terkait identifikasi dua jenasah dalam kontak tembak di Poso, Boy mengatakan bahwa dapat dipastikan bahwa salah satu jenasah itu merupakan Santoso. Ada beberapa ciri-ciri tubuh Santoso yang telah cocok, yakni tahi lalat di tengah dahi berukuran 0,7 cm, bekas luka tembak yang terjadi 2007, tahi lalat dibawah bibir sebelah kiri dan sidik jari yang diambil pada 2004. ”Saat ini hanya tes DNA yang belum ada,” terangnya.
Tes DNA itu membutuhkan waktu sekitar tiga hari. DNA Santoso akan dicocokkan dengan DNA milik anaknya. Tapi, pihak keluarga dekat Santoso juga telah memastikan bahwa jenasah itu Santoso. ”Karena itu, semua sekarang sudah terang benerang,’ paparnya.
Untuk satu jenasah yang lain? Dia mengatakan bahwa sebelumnya memang ada dugaan jenasah lainnya adalah Basri, namun ternyata setelah dicek jenasah itu adalah Mukhtar alias Kahar. ”Bagaimana perannya sedang didalami,” ujarnya.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian akhirnya juga memastikan bahwa salah seorang jenazah yang tewas tertembak adalah Santoso. Hal itu diketahui melalui identifikasi sidik jari. Sidik jari jenazah tersebut identik dengan sidik jari Santoso yang dimiliki Polda Sulteng. ’’Dulu kan pernah ditahan, sehingga kami sudah bisa simpulkan 100 persen yang bersangkutan’’ ujar Tito.
Dengan sidik jari tersebut, maka dipastikan jenazah itu adalah Santoso. Sedangkan, satu jenazah lagi bukan Basri, melainkan anak buah Santoso yang lain, Muchtar. Sedangkan, Basri berhasil melarikan diri bersama dua perempuan. Dua perempuan yang bersama Basri dipastikan tidak memiliki pengaruh dalam aksi teror.
Disinggung pengaruhnya terhadap ISIS di Indonesia, Tito mengaku yakin kekuatan ISIS bakal tereduksi. "Ini akan mendemoralisasi ISIS di Indonesia, karena Santoso dan BAsri adalah simbol open assistance ISIS,’’ tambahnya.
Hal senada disampaikan Kapolda Sulteng Brigjen Rudy Sufahriadi. Dia menyebut bahwa kedua perempuan itu merupakan istri Santoso dan Basri. Kelompok Santoso terpecah menjadi dua. Satu kelompok berisi lima orang dengan pimpinan Santoso. Satu kelompok lagi berisi 16 orang dengan pimpinan Ali Kalora.
Di kelompok Santoso, hanya dia dan Basri yang membawa serta istrinya. Sementara Muhtar tidak demikian. Untuk kelompok satunya, hanya Ali yang membawa serta istrinya. Anak buahnya yang lain tidak. Namun, yang jelas dengan tewasnya Santoso, kekuatan kelompoknya akan sama lagi.
Tewasnya Santoso, tambah Rudy, berawal saat tim Alfa 92 yang menjadi bagian dari operasi Tinombala berpatroli di kawasan Tambarana. Tim tersebut berisi sembilan prajurit Batalyon 515 Kostrad Jember. Di dekat sungai, didapati ada lima orang bersenjata yang diduga sebagai DPO dalam jarak 20-30 meter. Saat mencoba mendekat, terjadi kontak tembak yang menewaskan dua orang DPO. (idr/far/byu)