TANGERANG – Pemulangan 168 warga negara Indonesia (WNI) calon haji illegal dari Filipina akhirnya dilakukan kemarin (4/9). WNI dari 13 provinsi tersebut dipulangkan ke daerah masing-masing dari dua kota, Makasar dan Jakarta. Sedangkan, sisa sembilan WNI yang ditinggal dikabarkan bakal menjadi saksi selama satu bulan di Manila.
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal melakukan serah terima terhadap 58 WNI pukul 03.15 WIB kemarin. Dia bersama Duta Besar RI untuk Filipina Johny Lumintang mendantangani surat penyerahan dengan pemerintah daerah berbagai provinsi di Pulau Jawa dan sekitarnya.
Sedangkan 110 lainnya sudah diserahkan sebelumnya di Bandara Hassanudin, Makasar. Mereka terdiri dari 94 warga Sulawesi Selatan, satu warga Sulawesi Barat, dan 15 warga Kalimantan Timur.
’’Kami sengaja menyewa pesawat Air Asia XT 982 yang terbang dari Manila ke Makasar, lalu ke Jakarta. 110 diserahkan di Makasar, lalu 58 kami serahkan di Jakarta,’’ jelasnya saat konferensi pers di Terminal VIP 1, Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, kemarin (4/9).
Sayangnya, dalam kesempatan itu, jamaah korban sindikat haji ilegal tak ikut muncul dalam acara penyerahan tersebut. Saat ditanyai alasan, Iqbal mengaku bahwa hal tersebut adalah permintaan dari jamaah yang dipulangkan saat itu. ’’Sejak kami mengurus kepulangan dua hari lalu, mereka sudah meminta agar tidak diekspos. Kami menghormati permintaan mereka,’’ ungkapnya.
Sementara itu, Duta Besar RI untuk Filipina Johny Lumintang mengatakan, saat ini memang ada sembilan WNI yang masih tertinggal di Filipina. Sembilan yang dipilih karena mereka mampu berbahasa inggris. Ditambah lagi, mereka baerasal dari daerah berbeda dan kemungkinan pelaku yang berbeda.
’’Mereka (sembilan WNI, Red) adalaha pahlawan. Karena tanpa pengorbanan mereka, maka yang lain juga bakal lebih lama. Tapi, karena mereka bersedia ditinggal, akhirnya yang lain bisa dipulangkan,’’ ungkapnya.
Johny pun menyampaikan koronologi dari kasus haji tersebut. Menurutnya, KBRI tahu kasus in karena salah satu WNI korban yang ditangkap menghubungi KBRI pada (20/8). Esok harinya, dia secara pribadi mengunjungi sel tahanan imigrasi yang menahan mereka.
’’Sangat tidak manusiawi, 15 orang dijejalkan kepada sel yang kecil. Saya langsung minta mereka dipindahkan ke KBRI karena mereka bukan kriminal,’’ ujarnya. Permintaan tersebut pun mengalami hambatan administrasi. Kami (25/8), baru 138 WNI yang berhasil dipindahkan. Sedangkan, 39 masih ditahan karena data paspor yang berbeda.
Pemulangan mereka pun sulit karena sampai saat ini paspor Indonesia mereka tak ada. Yang dipegang oleh mereka adalah paspor asli tapi palsu Filipina yang rencaanya digunakan untuk berangkat haji. ’’Paspor Indonesia mereka sepertinya dibawah oleh sindikat penyalur dan mereka belum ditemukan. Karena itu, kami menerbitkan SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor),’’ jelasnya.
Sebelumnya, media sebenarnya berhasil menghubungi salah satu WNI yang tertinggal di Manila lewat keluarga yang berada di . Anton Kapriatna, 28, merupakan jamaah yang harus rela ditinggal jamaah lain termasuk sang istri untuk menjadi saksi.
’’Saya harus tetap tinggal disini karena saya bisa berbahasa inggris dan perlu ada perwakilan untuk menjadi saksi,’’ terangnya saat melakukan video call dengan awak media.
Anton merupakan salah satu jamaah asal Parung Panjang, Bogor, yang berangkat dengan sang istri Evi Yulianti,26, pada Agustus lalu. Dia mengaku mengenal seseorang asal Jambi yang mengaku berhasil berangkat haji dari Filipina sebelumnya. Namun, untuk membayar biaya Rp 135 juta per orang, dia pun harus meminjam sejumlah uang ke keluarga.
Saat membayar tiga bulan sebelum musim haji. Setelah mendaftar, mereka pun langsung dibawa ke Filipina untuk mengurus paspor Filipina. Dia sendiri mengurus paspor tersebut tanpa harus ada wawancara. Setelah itu, mereka pulang dan menunggu waktu pemberangkatan.
’’Saat itu, keluarga tidak tahu kalau itu ilegal. Kami kira itu semacam ONH plus yang diberangkatkan dari Filipina,’’ jelas Wahyu, kakak dari anton.
Anton mengaku bahwa dialah yang secara diam-diam menelpon KBRI terkait penangkapan itu. Dan karena banyaknya orang justru tidak tahu menahu soal administrasi dan Bahasa inggris, ketua karang taruna di kampungnya itu menawarkan diri untuk diinterogasi asal jamaah diberi makan.
’’Disini banyak yang banyak yang bisa berkomunikasi dalam bahasa inggris. Namun, karena sebagian besar jamaah tak bisa bahasa inggris, bahkan ada yang hanya bisa berbahasa daerah,’’ terangnya. (bil)
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal melakukan serah terima terhadap 58 WNI pukul 03.15 WIB kemarin. Dia bersama Duta Besar RI untuk Filipina Johny Lumintang mendantangani surat penyerahan dengan pemerintah daerah berbagai provinsi di Pulau Jawa dan sekitarnya.
Sedangkan 110 lainnya sudah diserahkan sebelumnya di Bandara Hassanudin, Makasar. Mereka terdiri dari 94 warga Sulawesi Selatan, satu warga Sulawesi Barat, dan 15 warga Kalimantan Timur.
’’Kami sengaja menyewa pesawat Air Asia XT 982 yang terbang dari Manila ke Makasar, lalu ke Jakarta. 110 diserahkan di Makasar, lalu 58 kami serahkan di Jakarta,’’ jelasnya saat konferensi pers di Terminal VIP 1, Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, kemarin (4/9).
Sayangnya, dalam kesempatan itu, jamaah korban sindikat haji ilegal tak ikut muncul dalam acara penyerahan tersebut. Saat ditanyai alasan, Iqbal mengaku bahwa hal tersebut adalah permintaan dari jamaah yang dipulangkan saat itu. ’’Sejak kami mengurus kepulangan dua hari lalu, mereka sudah meminta agar tidak diekspos. Kami menghormati permintaan mereka,’’ ungkapnya.
Sementara itu, Duta Besar RI untuk Filipina Johny Lumintang mengatakan, saat ini memang ada sembilan WNI yang masih tertinggal di Filipina. Sembilan yang dipilih karena mereka mampu berbahasa inggris. Ditambah lagi, mereka baerasal dari daerah berbeda dan kemungkinan pelaku yang berbeda.
’’Mereka (sembilan WNI, Red) adalaha pahlawan. Karena tanpa pengorbanan mereka, maka yang lain juga bakal lebih lama. Tapi, karena mereka bersedia ditinggal, akhirnya yang lain bisa dipulangkan,’’ ungkapnya.
Johny pun menyampaikan koronologi dari kasus haji tersebut. Menurutnya, KBRI tahu kasus in karena salah satu WNI korban yang ditangkap menghubungi KBRI pada (20/8). Esok harinya, dia secara pribadi mengunjungi sel tahanan imigrasi yang menahan mereka.
’’Sangat tidak manusiawi, 15 orang dijejalkan kepada sel yang kecil. Saya langsung minta mereka dipindahkan ke KBRI karena mereka bukan kriminal,’’ ujarnya. Permintaan tersebut pun mengalami hambatan administrasi. Kami (25/8), baru 138 WNI yang berhasil dipindahkan. Sedangkan, 39 masih ditahan karena data paspor yang berbeda.
Pemulangan mereka pun sulit karena sampai saat ini paspor Indonesia mereka tak ada. Yang dipegang oleh mereka adalah paspor asli tapi palsu Filipina yang rencaanya digunakan untuk berangkat haji. ’’Paspor Indonesia mereka sepertinya dibawah oleh sindikat penyalur dan mereka belum ditemukan. Karena itu, kami menerbitkan SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor),’’ jelasnya.
Sebelumnya, media sebenarnya berhasil menghubungi salah satu WNI yang tertinggal di Manila lewat keluarga yang berada di . Anton Kapriatna, 28, merupakan jamaah yang harus rela ditinggal jamaah lain termasuk sang istri untuk menjadi saksi.
’’Saya harus tetap tinggal disini karena saya bisa berbahasa inggris dan perlu ada perwakilan untuk menjadi saksi,’’ terangnya saat melakukan video call dengan awak media.
Anton merupakan salah satu jamaah asal Parung Panjang, Bogor, yang berangkat dengan sang istri Evi Yulianti,26, pada Agustus lalu. Dia mengaku mengenal seseorang asal Jambi yang mengaku berhasil berangkat haji dari Filipina sebelumnya. Namun, untuk membayar biaya Rp 135 juta per orang, dia pun harus meminjam sejumlah uang ke keluarga.
Saat membayar tiga bulan sebelum musim haji. Setelah mendaftar, mereka pun langsung dibawa ke Filipina untuk mengurus paspor Filipina. Dia sendiri mengurus paspor tersebut tanpa harus ada wawancara. Setelah itu, mereka pulang dan menunggu waktu pemberangkatan.
’’Saat itu, keluarga tidak tahu kalau itu ilegal. Kami kira itu semacam ONH plus yang diberangkatkan dari Filipina,’’ jelas Wahyu, kakak dari anton.
Anton mengaku bahwa dialah yang secara diam-diam menelpon KBRI terkait penangkapan itu. Dan karena banyaknya orang justru tidak tahu menahu soal administrasi dan Bahasa inggris, ketua karang taruna di kampungnya itu menawarkan diri untuk diinterogasi asal jamaah diberi makan.
’’Disini banyak yang banyak yang bisa berkomunikasi dalam bahasa inggris. Namun, karena sebagian besar jamaah tak bisa bahasa inggris, bahkan ada yang hanya bisa berbahasa daerah,’’ terangnya. (bil)