Soetopo Berutu Amd IP SSos MSi |
Karutan yang mengawali karirnya dari golongan I sebagai staf di Cabang Rumah Tahanan Negara (Cabrutan) Tapaktuan di Singkel Daerah Istimewa Aceh itu mengatakan, suasana di LP harus diciptakan seperti kondisi dalam keluarga. Dengan demikian maka para napi akan lebih siap untuk kembali kemasyarakat pada saatnya nanti. Menurutnya, awalnya penjara dijadikan sebagai tempat membuat jera para napi. Penjara sendiri berasal dari kata jera.
Namun melihat banyaknya kekerasan yang terjadi maka sejak 27 April 1964 penjara dirubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan. “Ini dilaksanakan dalam Konferensi Nasional Kepenjaraan di Grand Hotel Lembang Bandung. Maka tanggal 27 April ditetapkan sebagai Hari Pemasyarakatan,” tutur peraih penghargaan Satyalencana Karya Satya saat menjadi Kepala Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Karupbasan) Klas I Palembang tahun 2015 lalu.
Pria kelahiran Singkel 45 tahun silam ini pun menjelaskan, kekerasan yang kerap terjadi dalam LP akan menimbulkan efek negatif, baik secara fisik maupun psikis. Hal ini akan berimbas negatif, saat para napi sudah bebas dari LP. Mereka cenderung melakukan tindak kekerasan lagi. “Saya dengan tegas mengatakan kepada para penghuni lapas, ciptakan suasana yang harmonis seperti keluarga. Jika ada yang berbuat macam-macam akan langsung dipindahkan,” tegas pria yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas di Lapas Labuhan Ruku sebelum berkecimpung di Rupbasan Palembang tersebut.
Metode kekeluargaan yang diterapkan oleh Alumni Akademi Ilmu Pemasyarakatan angkatan 29 itu bukan tanpa alasan. Pengalamannya selama lebih dari 20 tahun berurusan dengan lapas, membuatnya yakin bahwa suasana harmonis mampu menciptakan pemikiran positif, dan itu akan mengembalikan manusia untuk kembali ke jalan yang benar.
“Dengan kekeluargaan, maka suasana lapas menjadi nyaman, baik untuk penghuni maupun petugas,” ucap pria yang pernah bertugas selama delapan tahun Rutan Sidingkalang Sumatera Utara dan lima tahun di lapas Medan itu. (mam)