Berkaca dari pengalaman pendidikan Indonesia yang selalu sama dari setiap kepemimpinan, setiap pergantian kabinet ganti pula kebijakan, setiap pergantian menteri pasti ada saja model pendidikan terbaru yang ditawarkan oleh menteri tersebut. Begitu pula mengenai rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang baru-baru ini ditawarkan, yaitu melaksanakan sistem belajar satu hari penuh atau yang disebut fullday school yang berlangsung dari pukul 07.00-17.00. Wacana ini menjadi tema yang sedang ramai diperbincangkan dikalangan para pemerhati pendidikan Indonesia dan juga menuai berbagai kontroversi. Menurut beliau konsep fullday school ini akan menyenangkan dan tidak membebani siswa justru akan membuat siswa senang meskipun seharian berada di sekolah. Mengapa bisa menyenangkan, dikutip dari tempo.co ada tiga alasan mengapa Bapak Menteri Muhadjir ingin menerapkan sistem ini
1. Tidak ada mata pelajaran
Konsep fullday school adalah pemberian jam tambahan. Tetapi dalam jam tambahan tersebut tidak ada pelajaran yang bisa membuat para para siswa bosan. Kegiatan yang dilakukan adalah ekstrakulikuler. Kegiatan ekstrakulikuler tersebut akan merangkum hingga 18 karakter, seperti jujur, toleransi, disiplin, hingga cinta tanah air. Dengan kegiatan tersebut, dia mengatakan para siswa bisa dijauhkan dari pergaulan yang negatif.
2. Orangtua bisa menjemput anak ke sekolah
Pertimbangan lain dari program full day school adalah masalah hubungan antara orangtua dan anak. Menurut Muhadjir, untuk masyarakat yang tinggal diperkotaan, pada umumnya orangtua bekerja hingga pukul 5 sore. Dengan program tersebut, orangtua bisa menjemput anak mereka di sekolah saat pulang kerja.
3. Membantu sertifikasi guru
Pogram full day school dianggap Muhadjir dapat membantu guru untuk mendapatkan jam mengajar 24 jam per minggu sebagai syarat mendapatkan sertifikasi guru.
Apabila kita telaah dengan baik, rencana full day school tersebut sebenarnya mempunyai tujuan yang baik, yaitu menanamkan pendidikan karakter yang selama ini menjadi arah pemerintahan Jokowi.
Namun disisi lain, apakah setiap sekolah mampu menerapkan kebijakan ini. Karena kita tahu bahwa sarana dan prasarana setiap sekolah berbeda-beda. Tidak menjadi masalah bagi sekolah-sekolah yang sudah memiliki sarana dan prasarana yang lengkap, namun menjadi permasalahan bagi sekolah yang sangan minim prasarana. Maka butuh usaha ekstra keras untuk mensukseskan kebijakan ini. Belum lagi perbedaan budaya masyarakat, seperti anak di desa setiap pulang sekolah biasanya membantu orangtua mereka di rumah. Entah membantu ke sawah, membantu memasak atau sebagainya, untuk itu butuh evaluasi lebih lanjut untuk meneruskan apakah rencana kebijakan ini akan benar-benar diterapkan atau tidak agar nantinya tidak menjadi kebijakan yang asal-asalan. Mungkin kebijakan ini benar apabila diterapkan pada sekolah di kota besar dengan sarana prasarana yang mencukupi, namun hal ini tentu sangat memberatkan bagi sekolah yang berada di desa.
Disisi lain kebijakan full day school dikhawatirkan membebani siswa, terutama dalam hal kesehatan. Siswa yang lemah kesehatannya akan merasa kelelahan dan tidak konsentrasi dalam mengikuti kegiatan sekolah. Selain itu tekanan dan paksaan untuk mengikuti pembelajaran satu hari penuh dikhawatirkan pula berdampak pada psikis anak. Anak menjadi bosan, jenuh dan malah akan cenderung mengabaikan kata-kata dari guru. Hal ini tentu saja mengurangi penyerapan pemahaman seperti yang diharapkan.
Melihat dari negara Finlandia dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, mereka lebih mementingkan kualitas pemahaman siswa didik daripada intensitas lamanya belajar. Di negara tersebut setiap 45 menit siswa mengikuti pembelajaran, maka siswa berhak menerima 15 menit untuk waktu istirahat. Hal ini dimaksudkan agar otak mencerna dengan baik apa yang sudah dipelajarinya dan siap untuk menerima materi pelajaran selanjutnya. Jadi yang harus kita garisbawahi dan kita perhatikan adalah bagaimana pemberian materi pelajaran formal, maupun pendidikan karakter dapat dimengerti serta diterapkan oleh para peserta didik.
Maka yang terpenting untuk bangsa Indonesia saat ini adalah terus membangun kekuatan bersama dengan sekolah untuk menerapkan pendidikan karakter kepada siswanya, terlebih lagi peran para guru disinilah yang amat penting. Agar kiranya para guru diberikan sosialisasi bagaimana cara menerapkan pendidikan karakter kepada siswanya di tengah jaman yang serba tekhnologi ini. Itulah substansi yang darurat karena sebagian besar para guru sekarang ini masih belum mengerti bagaimana cara menerapkan pendidikan formal bersamaan dengan pendidikan karakter. Apabila kualitas para gurutidak diperbaharui maka bagaimanapun bagusnya model pendidikan dari pusat tidak akan pernah sinergi dengan yang dibawahnya.
Oleh Andini NS
1. Tidak ada mata pelajaran
Konsep fullday school adalah pemberian jam tambahan. Tetapi dalam jam tambahan tersebut tidak ada pelajaran yang bisa membuat para para siswa bosan. Kegiatan yang dilakukan adalah ekstrakulikuler. Kegiatan ekstrakulikuler tersebut akan merangkum hingga 18 karakter, seperti jujur, toleransi, disiplin, hingga cinta tanah air. Dengan kegiatan tersebut, dia mengatakan para siswa bisa dijauhkan dari pergaulan yang negatif.
2. Orangtua bisa menjemput anak ke sekolah
Pertimbangan lain dari program full day school adalah masalah hubungan antara orangtua dan anak. Menurut Muhadjir, untuk masyarakat yang tinggal diperkotaan, pada umumnya orangtua bekerja hingga pukul 5 sore. Dengan program tersebut, orangtua bisa menjemput anak mereka di sekolah saat pulang kerja.
3. Membantu sertifikasi guru
Pogram full day school dianggap Muhadjir dapat membantu guru untuk mendapatkan jam mengajar 24 jam per minggu sebagai syarat mendapatkan sertifikasi guru.
Apabila kita telaah dengan baik, rencana full day school tersebut sebenarnya mempunyai tujuan yang baik, yaitu menanamkan pendidikan karakter yang selama ini menjadi arah pemerintahan Jokowi.
Namun disisi lain, apakah setiap sekolah mampu menerapkan kebijakan ini. Karena kita tahu bahwa sarana dan prasarana setiap sekolah berbeda-beda. Tidak menjadi masalah bagi sekolah-sekolah yang sudah memiliki sarana dan prasarana yang lengkap, namun menjadi permasalahan bagi sekolah yang sangan minim prasarana. Maka butuh usaha ekstra keras untuk mensukseskan kebijakan ini. Belum lagi perbedaan budaya masyarakat, seperti anak di desa setiap pulang sekolah biasanya membantu orangtua mereka di rumah. Entah membantu ke sawah, membantu memasak atau sebagainya, untuk itu butuh evaluasi lebih lanjut untuk meneruskan apakah rencana kebijakan ini akan benar-benar diterapkan atau tidak agar nantinya tidak menjadi kebijakan yang asal-asalan. Mungkin kebijakan ini benar apabila diterapkan pada sekolah di kota besar dengan sarana prasarana yang mencukupi, namun hal ini tentu sangat memberatkan bagi sekolah yang berada di desa.
Disisi lain kebijakan full day school dikhawatirkan membebani siswa, terutama dalam hal kesehatan. Siswa yang lemah kesehatannya akan merasa kelelahan dan tidak konsentrasi dalam mengikuti kegiatan sekolah. Selain itu tekanan dan paksaan untuk mengikuti pembelajaran satu hari penuh dikhawatirkan pula berdampak pada psikis anak. Anak menjadi bosan, jenuh dan malah akan cenderung mengabaikan kata-kata dari guru. Hal ini tentu saja mengurangi penyerapan pemahaman seperti yang diharapkan.
Melihat dari negara Finlandia dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, mereka lebih mementingkan kualitas pemahaman siswa didik daripada intensitas lamanya belajar. Di negara tersebut setiap 45 menit siswa mengikuti pembelajaran, maka siswa berhak menerima 15 menit untuk waktu istirahat. Hal ini dimaksudkan agar otak mencerna dengan baik apa yang sudah dipelajarinya dan siap untuk menerima materi pelajaran selanjutnya. Jadi yang harus kita garisbawahi dan kita perhatikan adalah bagaimana pemberian materi pelajaran formal, maupun pendidikan karakter dapat dimengerti serta diterapkan oleh para peserta didik.
Maka yang terpenting untuk bangsa Indonesia saat ini adalah terus membangun kekuatan bersama dengan sekolah untuk menerapkan pendidikan karakter kepada siswanya, terlebih lagi peran para guru disinilah yang amat penting. Agar kiranya para guru diberikan sosialisasi bagaimana cara menerapkan pendidikan karakter kepada siswanya di tengah jaman yang serba tekhnologi ini. Itulah substansi yang darurat karena sebagian besar para guru sekarang ini masih belum mengerti bagaimana cara menerapkan pendidikan formal bersamaan dengan pendidikan karakter. Apabila kualitas para gurutidak diperbaharui maka bagaimanapun bagusnya model pendidikan dari pusat tidak akan pernah sinergi dengan yang dibawahnya.
Oleh Andini NS