SILVESTER KURNIAWAN/RASO |
Meski usia senja, namun semangat menuntut ilmu patut diacungi jempol. Sebab di usianya yang ke-72 tahun masih bisa merampungkan gelar doktor di bidang kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Dia adalah Bambang Sutopo.
----------------------
SILVESTER KURNIAWAN, Solo
---------------------
SINAR bahagia terpancar dari wajah Bambang Sutopo saat prosesi pelantikan wisudawan di Auditorium UNS Solo, kemarin (3/9). Dia berhasil menempuh program pendidikan S3 bidang kedokteran. Dibalut busana toga, Bambang masih terlihat gagah saat namanya disebut dan mulai berjalan menuju podium.
Sebelum melenggang ke podium, namanya sempat disebut tiga kali. Hal ini sempat menjadi perhatian para wisudawan lain. Namun tamu undangan dan wisudawan lain tercengang ketika melihat Bambang mengikuti prosesi wisuda di usia senja.
Prestasinya bukan hanya di dunia pendidikan. Di bidang sosial pun sangat terkenal di asal kotanya saat ini, Jambi. Dokter spesialis yang mengambil kekhususan di bidang saluran cerna dan hati ini memiliki segudang prestasi yang sangat membanggakan.
Yakni di usia senja masih semangat merampungkan program S3 bidang kedokteran. Meski cukup lama, namun akhirnya tahun ini berhasil meraih gelar doktor untuk program S3 yang ditempuh.
Dikisahkan, alasan yang mendasari semangat mengenyam pendidikan berawal sekitar 7-8 tahun lalu. Kala itu Prof. Guntur menawari dia karena UNS membuka program S3 bidang kedokteran. ”Langsung saya jawab iya. Tahun 2011 saya masuk sebagai angkatan pertama program S3 bidang kedokteran di UNS,” beber pria kelahiran 15 April 1944 ini.
Meski menempuh jarak yang cukup jauh, namun dia mengaku tidak kelelahan dengan rutinitas tersebut. ”Saya lima tahun bolak-balik Jambi-Solo. Berangkat Kamis pulang Minggu. Senin sampai Rabu masih bisa praktik,” tutur kakek tujuh cucu ini.
Dukungan keluarga juga sangat membantu dalam karirnya. Terlebih sang istri, Anna Lumangkung, 69. Dia selalu hadir menemani dalam 3-4 tahun ini saat bolak-balik Jambi-Solo. Begitu juga dengan kakak kandung, Siti Warnaningsih dan rekan-rekan medis di Jambi maupun di Solo. ”Ini yang buat saya semangat. Semua rasa lelah jadi hilang," terang Bambang, sembari menyeruput segelas teh hangat di meja.
Di tengah-tengah bercerita itu dia tiba-tiba tersenyum. Saat ditanya teringat hal-hal menggelitik semasa kuliah dulu. Sebenarnya profesi doktor bukan hal yang dicita-citakan, namun lantaran dorongan keluarga – terutama kakaknya – akhirnya mengambil kuliah kedokteran.
”Saya sebenarnya pingin masuk teknik. Tetapi karena teknik saat itu butuh biaya yang tinggi, saya pun menyadari ketidakmampuan itu. Selain itu dulu fakultas kedokteran yang paling murah. Saya itu masuk gratis,” katanya.
Awal perkuliahan dia merupakan mahasiswa yang cukup malas. Hal tersebut dikarenakan kedokteran bukan tujuan awal. Tak ayal, mendapat nilai jeblok. Keberuntungan pun akrab dengan dokter tersebut.
Pada tingkat satu, sesaat mendekati ujian hanya membaca tentang masalah kenapa tangan yang kena minyak tak bisa bersih jika dicuci dengan air. ”Waktu itu hanya itu yang saya baca. Eh kok ndilalah keluar. Jadi nilai saya yang buruk bisa terbantu dengan keberuntungan itu," papar dia.
Pengalaman lucu nan menggelitik tak hanya sampai di situ. Sewaktu duduk di tingkat dua sehari sebelum ujian anatomi. Peristiwa tersebut sebenarnya tidak boleh diceritakan sebelum lulus dokter. Tapi karena semua sudah lulus, jadi tidak mengapa sekadar intermezo. ”Malam hari sebelum ujian saya sama teman main ke kamar mayat untuk melihat materi yang mau diujikan besok. Lha waktu ujian tinggal pura-pura mikir saja,” kelakar dia.
Lantaran kegigihan serta dukungan orang-orang terdekat, maka berhasil merampungkan pendidikan hingga moncer di dunia kedokteran. Meski bukan berasal dari keluarga dokter, namun menemukan takdirnya dalam dunia kedokteran. ”Ayah saya itu guru. Kalau ibu saya ya cuma ibu rumah tangga. Jadi tidak pernah terpikir kalau akhirnya bisa jadi seperti sekarang," ungkap putra kedua dari pasangan alm Suleman dan alm R.A. Sundari, ini.
Sejauh pengabdian menjadi seorang dokter, ia banyak diperbantukan di beberapa rumah sakit ternama. Kali pertama praktik sebagai dokter umum sekitar 1972 di Pulau Dewata Bali. Lantas 1978 melanjutkan spesialis di Jakarta hingga 1984. Pada 1985 bertugas sebagai ahli penyakit dalam di RSUD Provinsi Jambi.
Pensiun pada 2004 tak menghentikan langkah di dunia kedokteran. Meski sudah pensiun tetap bertugas sebagai komite medik di RS dr Bratana Jambi. lantas 2009 mengambil kekhususan dalam bidang saluran cerna dan hati yang kemudian mendapat gelar KGEH.
Ke depan sudah tidak mengejar gelar professor. Sebab hal tersebut dikarenakan hanya bisa diraih dosen aktif. Sementara dia sudah pensiun. Meski demikian, asal ada kemungkinan untuk itu, Bambang sangat bersedia jika pada akhirnya mampu melengkapi namanya dengan gelar profesor. (*/un)