istimewa |
Wayang dan jamjaneng adalah kesenian tradisional yang sama sekali tidak ada unsur kemiripan. Siapa sangka ditangan Wanto Prayitno, Wayang dan jamjaneng dilebur menjadi satu kesenian yang diberi nama wayang janeng. Seperti apa wayang janeng itu? Berikut ulasannya.
-----------------------------
SUDARNO AHMAD NASHORI, Sadang
----------------------------
Berawal saat diminta untuk menampilkan kesenian tradisional yang unik dan belum ada di Kebumen saat Hari Jadi Kabupaten Kebumen untuk mewakili Kecamatan Sadang dua tahun lalu, memaksa Suwanto (45) Warga RT 01 RW 03 Dusun Panjur Wetan, Desa Pucangan, Kecamatan Sadang berpikir keras.
Karena dilingkungan tempat tinggalnya terdapat kesenian jamjaneng namun kurang berkembang, Suwanto pun waktu itu langsung memutar otak untuk menyuguhkan pementasan jamjaneng yang dikolaborasikan dengan wayang kulit, dan diberi nama wayang janeng.
Awalnya, banyak orang yang meragukan ide pria yang berprofesi sebagai pengemudi itu. Namun, setelah ditampilkan untuk pertama kalinya di panggung depan rumah dinas wakil bupati dua tahun lalu, banyak orang yang terkesima.
Bahkan setelah penampilan itu, grup wayang yang semula hanya untuk mengisi peringatan Hari Jadi Kabupaten Kebumen, menjadi laris untuk tanggapan. Saat ini, wayang janeng ini sudah sering mendapat undangan tanggapan dari luar daerah. Setelah laris, sang dalang pun mengubah namanya dari Suwanto menjadi Wanto Prayitno.
Wayang janeng ini memang unik, yakni pementasan wayang kulit biasa, namun pementasannya diiringi oleh alat musik jamjaneng. Kisah-kisah yang dibawakan juga sama persis seperti wayang kulit pada umumnya, yang mengetengahkan kisah Ramayana dan Mahabharata.
"Bedanya hanya terdapat pada iringan musiknya, dan sulukannya. Sulukan yang dibawakan pada wayang janeng itu lebih banyak puji-pujian dan syiar dakwah," tutur Wanto Prayitno, belum lama ini.
Kostum yang dipakai oleh pengrawit juga berbeda dengan perngrawit pada wayang biasa. Pada wayang janeng, pengrawit dan sinden mengenakan kostum nuansa Islami, hanya sang dalang yang mengenakan beskap dalang.
"Soal durasi pementasan itu fleskibel, kami melakukan pagelaran padat siap. Untuk semalam suntuk juga biasa," ujarnya.
Jumlah pengrawitnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan wayang kulit biasa. Pada wayang janeng rata-rata sekali pentas hanya membawa sekitar sepuluh orang, dan didominasi oleh wanita. "Kita pentasnya juga tidak membutuhkan tempat yang luas karena jumlah kru sedikit, dan alat musiknya juga ringkas," imbuhnya.
Wanto berharap, wayang janeng yang diberi nama Warkes Jaring atau wayang ringkes janeng ringgit ini, dapat dipatenkan sebagai seni tradisi asli milik Kabupaten Kebumen. Namun sayangnya, keinginannya itu masih nampaknya masih belum mendapatkan respon dari Pemkab Kebumen.(*)