KEBUMEN (kebumenekspres.com) - Tak adanya generasi penerus, kerajinan padasan dari Dusun Konduran Desa Pejagatan, Kecamatan Kutowinangun, yang sempat terkenal dimasa lalu terancam punah. Pasalnya, generasi muda di desa itu tidak tertarik melanjutkan usaha mereka. Bahkan, hingga saat ini perajin yang masih tersisa hanya enam orang saja.
Salah satu perajin padasan yang masih tersisa adalah Surati (65). Padahal dahulu, hampir semua warga pedukuhan itu membuat padasan. Memanfaatkan alat sederhana yang disebut perbot, Surati, membuat padasan yang biasanya digunakan sebagai tampungan air wudhu. Tangannya masih cukup cekatan untuk menghasilkan 20 padasan dalam tiga hari.
Prosesnya yang cukup susah, membuat generasi muda enggan meneruskan usaha yang digeluti secara turun menurun itu. Apalagi perubahan zaman membuat masyarakat memilih praktis mengganti fungsi padasan dengan kran. "Anak sekarang tidak ada yang telaten membuat padasan," ujar Surati.
Padasan dibuat dari adonan lempung yang disediakan orang lain. Surati dan perajin lain yang usianya juga sudah tua, hanya membuat saja. Setelah jadi, disetor untuk dibakar dan dipasarkan oleh orang yang menyediakan adonan lempung dengan pola bagi hasil sama besar.
"Kalau dulu semua dikerjakan sendiri bersama suami. Sekarang sudah tua, tidak kuat membuat adonan lempung, sudah tidak bisa membakar," tutur Surati.
Selain padasan yang harga jualnya Rp 7.500, Surati dan perajin lain di Dukuh Konduran juga membuat genuk (tempat beras) serta genthong yang harga jualnya sama dengan padasan. Selain itu terkadang membuat keren (tungku) yang harganya Rp 4.000. "Kalau dulu kita jual keliling. Tapi sekarang sudah nggak lagi," tutupnya.(ori)
Salah satu perajin padasan yang masih tersisa adalah Surati (65). Padahal dahulu, hampir semua warga pedukuhan itu membuat padasan. Memanfaatkan alat sederhana yang disebut perbot, Surati, membuat padasan yang biasanya digunakan sebagai tampungan air wudhu. Tangannya masih cukup cekatan untuk menghasilkan 20 padasan dalam tiga hari.
Prosesnya yang cukup susah, membuat generasi muda enggan meneruskan usaha yang digeluti secara turun menurun itu. Apalagi perubahan zaman membuat masyarakat memilih praktis mengganti fungsi padasan dengan kran. "Anak sekarang tidak ada yang telaten membuat padasan," ujar Surati.
Padasan dibuat dari adonan lempung yang disediakan orang lain. Surati dan perajin lain yang usianya juga sudah tua, hanya membuat saja. Setelah jadi, disetor untuk dibakar dan dipasarkan oleh orang yang menyediakan adonan lempung dengan pola bagi hasil sama besar.
"Kalau dulu semua dikerjakan sendiri bersama suami. Sekarang sudah tua, tidak kuat membuat adonan lempung, sudah tidak bisa membakar," tutur Surati.
Selain padasan yang harga jualnya Rp 7.500, Surati dan perajin lain di Dukuh Konduran juga membuat genuk (tempat beras) serta genthong yang harga jualnya sama dengan padasan. Selain itu terkadang membuat keren (tungku) yang harganya Rp 4.000. "Kalau dulu kita jual keliling. Tapi sekarang sudah nggak lagi," tutupnya.(ori)