andi/ekspres |
Dua dari tiga orang buah hatinya, Roni Nurifan (35) dan Faris Rohman (18), sejak kecil divonis terkena Hemofilia. Sebuah penyakit kelainan genetic pada darah yang sulit disembuhkan. Hanya Beny Achmad (28), anak kedua yang terlahir tanpa Hemofilia dan sampai kini hidup normal. "Pertama kali mengetahui anak terkena Hemofilia ya langsung tidak karuan rasanya karena kata dokter sulit disembuhkan," kata Ahmadi, kemarin.
Dalam keterbatasan kondisi ekonomi, mereka harus berjuang menebus obat antihemofilia yang harganya tidak murah. Setiap dua atau tiga bulan sekali butuh biaya hingga Rp 11 juta untuk 1 anak. Jumlah itu belum termasuk ongkos transportasi menuju Rumah Sakit dr Sardjito Jogjakarta yang jaraknya cukup jauh. Selain medis, mereka juga berupaya melakukan pengobatan alternatif. "Tidak bisa lepas dari obat. Kalau terlalu capai atau terluka bisa bengkak dan sulit sembuh, harus disuntik dengan obat itu," ungkapnya.
Baca juga:
( Akbar Khafani, Bocah Penderita Hidrocefalus, Butuh Bantuan )
Ahmadi menceritakan, semakin bertambah tahun tahun, ekonomi keluarga semakin kritis. Simpanan uang habis. Bahkan, sejumlah aset seperti tanah sawah terpaksa dijual untuk menebus obat. Tidak lagi mampu berpikir, mereka memutuskan untuk bekerja di Arab Saudi. Sejak tahun 1990-an hingga 2000-an, ketiga anaknya diasuh oleh sang nenek di rumah. "Setelah kembali dari Arab kami membuka usaha kue bolu kecil-kecilan di rumah," lanjutnya.
Dia melanjutkan, biaya hidup semakin tinggi sejak Faris mengalami cidera kaki dan tidak terobati. Faris harus memakai kursi roda dan alat bantu kesehatan lain untuk berjalan. Meski demikian, ia tetap semangat untuk bersekolah seperti teman-teman sebanyanya. "Sejak SD hingga SMA, Faris harus diantar jemput kakaknya ke sekolah naik sepeda motor," jelasnya.
Sembari menekuni usahanya, keluarga Ahmadi terus bersabar dan tak putus berdoa. Sekitar tahun 2006, doa mereka mulai terjawab. Ada program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang menggratiskan semua obat bagi Roni dan Faris. Sayangnya, tidak selalu mereka mendapatkannya. "Semua obat gratis, tapi untuk mengurusnya susah. Kita tidak selalu dapat karena Jamkesmas katanya hanya untuk orang miskin, sedangkan kita dianggap pas-pasan, tidak miskin dan tidak kaya," ucapnya.
Setelah cukup lama terbantu Jamkesmas ternyata mereka mendapatkan jawaban doa berikutnya. Mulai tahun 2014 mereka ikut program Jaminan Kesehatan Nasional BPJS Kesehatan. "Kita ikut BPJS kelas 2 dengan hanya membayar iuran per bulan Rp 42.500. Sampai sekarang seluruh biaya pengobatan ditanggung BPJS," ungkapnya.
Sejak saat itu, ekonomi keluarga berangsur membaik. Usaha kue dan catering berlabel Al Farizi Bakery berkembang pesat. Beny Achmad yang sudah bergelar sarjana, total mendukungnya. "Alhamdulillah karena selalu ramai pesanan, kami bisa memberi kesempatan kepada orang lain untuk bekerja disini. Rata-rata 5 orang setiap harinya," kata Beny Achmad.
Roni yang juga berpendidikan sarjana telah berkeluarga dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Ia menjadi karyawan sebuah perusahaan di Kulonprogo. Sementara Faris, kini memulai kuliah jurusan Teknik Komputer di Politeknik Sawunggalih Aji Purworejo. Faris dikenal tidak minder dengan kondisi tubuhnya. Bahkan, ia selalu bertekad merampungkan pendidikan tinggi, menjadi pengusaha sukses, dan memberdayakan kaum Hemofilia. "Dia tak pernah mengeluh, itu yang menjadikan kami selalu ikut bersemangat. Kami meyakini bahwa semua cobaan pasti ada hikmahnya," pungkasnya. (ndi)