ilustrasi |
Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi mengatakan, kebijakan tersebut berdasasrkan peraturan presiden (Perpres) nomot 19 2016. Peraturan tersebut berlaku 1 Juli lalu yang akhirnya disampaikan kemarin (14/9). Salah satu perubahan dalam regulasi tersebut merupakan ketentuan sanksi bagi peserta yang terlambat mengiur.
"Dalam regulasi baru, peserta BPJS Kesehatan yang terlambat membayar iuran dalam satu bulan tidak akan dikenakan denda keterlambatan. Tetapi, kepesertaannya langsung dinon-aktifkan, " ungkapnya di Jakarta kemarin (14/9).
Dia mengatakan, regulasi tersebut digunakan untuk meningkatkan kedisplinan peserta. Karena itu, aturan ini berlaku baik bagi peserta penerima upah (PPU) maupun peserta bukan penerima upah (PBPU). Dengan begitu, mereka tak akan bisa menggunakan fasilitas kesehatan dari BPJS jika tak taat dalam melunasi iuran setiap bulannya.
"Ini kan mengubah ketentuan lama yakni pengenaan denda sebanyak dua persen dari total tunggakan. Dan, masa toleransinya menjadi tiga bulan menjadi hanya satu bulan,"ungkapnya.
Kepesertaan masyarakat, lanjut dia, baru bisa aktif kembali apabila peserta penjaminan membayarkan iuran dengan jumlah yang tertunggak. Dan, pelayanan isa dilakukan jika status aktif yang dijamin BPJS Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan rawat jalan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).
Dia menambahkan, denda baru akan dikenakan jika peserta mengaktifkan kembali kepesertaannya untuk mendapatkan fasilitas pelayanan rawat inap. Mereka akan dikenakan denda 2,5 persen dari total diagnosis biaya kesehatan dikalikan jumlah bulan tertunggak. "Tunggakan itu kami batasi maksimal 12 bulan saja,"ungkapnya.
Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, kebijakan baru ini langkah yang tak tepat bagi BPJS Kesehatan. Pasalnya, hal tersebut tak serta merta membuat peserta disiplin untuk membayar. Dengan karakter masyarakat yang jarang menggunakan fasilitas kesehatan, hal tersebut jelas membuat mereka tak punya urgensi untuk membayar iuran.
"Kalau saya cermati, peraturan ini diubah karena permintaan MUI soal riba. Namun, belum tentu hal ini meningkatkan ketaatan peserta," ungkapnya.
Dia mengatakan, ketentuan tersebut justru memberatkan peserta. Pasalnya, denda jika mereka rawat inap justru lebih besar. Misalnya, seorang pasien sudah telat membayar dua bulan dan didiagnosa perlu rawat inap senilai Rp 6 juta. Maka orang tersebut harus membayar Rp 300 ribu.
"Dan, peserta harus membayar dulu baru bisa memperoleh pelayanan. Bayangkan, jika dia harus dioperasi tapi terhalang administrasi,"tegasnya. Karena itu, dia berharap pemerintah menggunakan kembali kebijakan denda yang lama. (bil/acd)