PURWOREJO- Dewan Harian Cabang (DHC) Badan Pembudayaan Kejuangan 45 Kabupaten Purworejo angkat bicara soal penetapan hari jadi Kabupaten Purworejo. Terlebih adanya suara masyarakat yang menilai hari jadi Purworejo terlalu tua dan tidak berdasar sejarah yang sebenarnya.
Jika masyarakat menghendaki, DHC juga menyetujui perubahan hari jadi. Namun demikian, untuk melakukan pengubahan itu harus dengan syarat tertentu. Yakni melakukan kajian mendalam latar belakang, maksud tujuan pengubahan, melakukan kajian mendalam.
"Jika itu kehendak mayoritas warga Purworejo kami juga tidak menolak. Sebab sebagai ketentuan dan kelaziman redaksional produk hukum, Perda dapat dilakukan perubahan. Hal itu sesuai diktum Perda no 9 tahun 1994, " ujar Sekretaris DHC Badan Pembudayaan Kejuangan 45, Soekoso DM.
Pihaknya menyarankan, penetapan Perda yang diubah harus tetap memperhatikan kriteria hari jadi yang ditetapkan. Dengan pendekatan dan cara pandang Indonesia Centris serta keterkaitan sejarah daerah/lokal dengan sejarah nasional.
"Serta dilakukan secara hati-hati, tidak gegabah dan serampangan. Terlebih apabila hanya terdorong oleh sikap emosional yang berlatar belakang kepentingan sebagian golongan tertentu," katanya.
Dikisahkan, anjuran pemerintah untuk menetapkan hari jadi daerah telah ada sejak awal dekade 1970 an, dengan maksud agar menjadi identitas daerah, dan potensinya dapat dikembangkan menjadi event wisata yang berujung pada peningkatan ABPD serta kesejahteraan rakyat.
Diungkapkan, penetapan Hari jadi Kabupaten Purworejo pada 5 Oktober 901 Masehi, diawali dengan pembentukan Tim peneliti yang dipimpin Sekwilda Drs Soetarto Rachmat bekerjasama dengan Fakultas Sastra UGM Yogyakarta yang dipimpin Prof Dr Djoko Suryo, sesuai SK Bupati nomor 188.4/1797/1992 tanggal 4 maret 1992.
Hasil penelitian tim kerjasama dengan UGM itu, pada awalnya ada 8 alternatif hari jadi yang diseminarkan pada 23 September 1993, yang kemudian dikerucutkan menjadi empat alternatif yaitu 5 oktober 901 M, berdasar bukti sejarah promer prasasi kayu arahiwang di Borowetan, yang bertanda waktu 5 paro gelap, hari senin pahing, wuku wurukung, bulan asuji, tahun 823 saka, yang berisi tentang pernyataan wilayah kayu arahiwang sebagai sima (perdikan, bebas pajak), oleh duta raja mataram Kuna Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung yang bernama Rakai Wanua Poh Dyah Sala Putra Sang Ratu Bajra.
Selanjutnya pada 1 januari 901 M, berdasar bukti sejarah primer prasasti ayam teas di Klampok, tanggal 8 paro terang, hari kamis bulan posya tahun 822 saka, yang berisikan adanya pemerintah yang teratur (tidak dipilih karena berasal dari luar Purworejo),
Selanjutnya, pada 13 februari 1755, berdasar tanggal perjanjian gianti (VOC dengan raja Mataram), pada kamis kliwon, wuku langkir, 1 juma dilawal 1680 H, yang menjelaskan awal sejarah batas wilayah teritorial kekuasaan Bagelen lama, terkait pemecahan Mataram menjadi kasunanan Surakarta Dan Kasulatanan Yogyakarta.
Kemudian pada 7 Januari 1828, yaitu salah satu peristiwa kemenangan pasukan diponegoro diwilayah Bagelen, ditepi kali Bogowonto, yang menyebabkan kerugian besar dipihak Belanda, terjadi pada senin kliwon, wuku warigalit, 19 jumadilakhir 1243 H.
"Dua hal sejak awal tidak masuk sebagai alternatif, yaitu pengangkatan Resodiwiryo/ Tjokrojoyo menjadi Bupati Brengkelan bergelar RAA Tjokronegoro 1, karena merupakan produk politik pemerintah kolonial Belanda melalui Kraton Surakarta dalam upaya melemahkan perlawanan pasukan Diponegoro di Bagelen dan penggabungan Purworejo dengan Kutoarjo pada tahun 1933, itu juga karena produk kolonial Belanda," jelasnya.
Akhirnya Tim memilih tanggal 5 Oktober 901 Masehi didasarkan pada tanda waktu yang tertulis pada prasasti kayu arahiwang. Prasasti itu ditemukan di Desa Boro Tengah (sekarang Boro Wetan) Kecamatan Banyuurip. Prasati ini sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
"Berdasar penelitian itu, 5 Oktober 901 M sebagai Hari Jadi ditetapkan oleh DPRD Kabupaten Purworejo menjadi Perda No.9/1994 yang tercatat dalam lembaran daerah no.1/1995 seri C no.1," tutupnya. (ndi)
Jika masyarakat menghendaki, DHC juga menyetujui perubahan hari jadi. Namun demikian, untuk melakukan pengubahan itu harus dengan syarat tertentu. Yakni melakukan kajian mendalam latar belakang, maksud tujuan pengubahan, melakukan kajian mendalam.
"Jika itu kehendak mayoritas warga Purworejo kami juga tidak menolak. Sebab sebagai ketentuan dan kelaziman redaksional produk hukum, Perda dapat dilakukan perubahan. Hal itu sesuai diktum Perda no 9 tahun 1994, " ujar Sekretaris DHC Badan Pembudayaan Kejuangan 45, Soekoso DM.
Pihaknya menyarankan, penetapan Perda yang diubah harus tetap memperhatikan kriteria hari jadi yang ditetapkan. Dengan pendekatan dan cara pandang Indonesia Centris serta keterkaitan sejarah daerah/lokal dengan sejarah nasional.
"Serta dilakukan secara hati-hati, tidak gegabah dan serampangan. Terlebih apabila hanya terdorong oleh sikap emosional yang berlatar belakang kepentingan sebagian golongan tertentu," katanya.
Dikisahkan, anjuran pemerintah untuk menetapkan hari jadi daerah telah ada sejak awal dekade 1970 an, dengan maksud agar menjadi identitas daerah, dan potensinya dapat dikembangkan menjadi event wisata yang berujung pada peningkatan ABPD serta kesejahteraan rakyat.
Diungkapkan, penetapan Hari jadi Kabupaten Purworejo pada 5 Oktober 901 Masehi, diawali dengan pembentukan Tim peneliti yang dipimpin Sekwilda Drs Soetarto Rachmat bekerjasama dengan Fakultas Sastra UGM Yogyakarta yang dipimpin Prof Dr Djoko Suryo, sesuai SK Bupati nomor 188.4/1797/1992 tanggal 4 maret 1992.
Hasil penelitian tim kerjasama dengan UGM itu, pada awalnya ada 8 alternatif hari jadi yang diseminarkan pada 23 September 1993, yang kemudian dikerucutkan menjadi empat alternatif yaitu 5 oktober 901 M, berdasar bukti sejarah promer prasasi kayu arahiwang di Borowetan, yang bertanda waktu 5 paro gelap, hari senin pahing, wuku wurukung, bulan asuji, tahun 823 saka, yang berisi tentang pernyataan wilayah kayu arahiwang sebagai sima (perdikan, bebas pajak), oleh duta raja mataram Kuna Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung yang bernama Rakai Wanua Poh Dyah Sala Putra Sang Ratu Bajra.
Selanjutnya pada 1 januari 901 M, berdasar bukti sejarah primer prasasti ayam teas di Klampok, tanggal 8 paro terang, hari kamis bulan posya tahun 822 saka, yang berisikan adanya pemerintah yang teratur (tidak dipilih karena berasal dari luar Purworejo),
Selanjutnya, pada 13 februari 1755, berdasar tanggal perjanjian gianti (VOC dengan raja Mataram), pada kamis kliwon, wuku langkir, 1 juma dilawal 1680 H, yang menjelaskan awal sejarah batas wilayah teritorial kekuasaan Bagelen lama, terkait pemecahan Mataram menjadi kasunanan Surakarta Dan Kasulatanan Yogyakarta.
Kemudian pada 7 Januari 1828, yaitu salah satu peristiwa kemenangan pasukan diponegoro diwilayah Bagelen, ditepi kali Bogowonto, yang menyebabkan kerugian besar dipihak Belanda, terjadi pada senin kliwon, wuku warigalit, 19 jumadilakhir 1243 H.
"Dua hal sejak awal tidak masuk sebagai alternatif, yaitu pengangkatan Resodiwiryo/ Tjokrojoyo menjadi Bupati Brengkelan bergelar RAA Tjokronegoro 1, karena merupakan produk politik pemerintah kolonial Belanda melalui Kraton Surakarta dalam upaya melemahkan perlawanan pasukan Diponegoro di Bagelen dan penggabungan Purworejo dengan Kutoarjo pada tahun 1933, itu juga karena produk kolonial Belanda," jelasnya.
Akhirnya Tim memilih tanggal 5 Oktober 901 Masehi didasarkan pada tanda waktu yang tertulis pada prasasti kayu arahiwang. Prasasti itu ditemukan di Desa Boro Tengah (sekarang Boro Wetan) Kecamatan Banyuurip. Prasati ini sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
"Berdasar penelitian itu, 5 Oktober 901 M sebagai Hari Jadi ditetapkan oleh DPRD Kabupaten Purworejo menjadi Perda No.9/1994 yang tercatat dalam lembaran daerah no.1/1995 seri C no.1," tutupnya. (ndi)