SIGITANDRIANTO/RADARSEMARANG |
Orang tuanya pernah dipanggil ke sekolah saat SMA, karena ia terlambat sekolah. Pernah dapat IP 1,9 saat menempuh S1. Sempat membersihkan tempat tinggal pejabat Indonesia di Jepang, untuk bertahan hidup. Namun ia berhasil menjadi perempuan peraih gelar doktor ilmu kimia termuda di Indonesia. Seperti apa?
--------------------------------------
SIGIT ANDRIANTO
------------------------------------
RATUSAN pasang mata mahasiswa UPGRIS berkaca-kaca. Mereka kagum mendengar cerita yang dibeberkan Mega Novita, SSi, MSi, MNat, Sci, PhD, saat menerima piagam rekor Muri.
Ya, Mega mendapatkan penghargaan atas prestasinya sebagai perempuan peraih gelar doktor ilmu kimia termuda. Gelar Doctor of Science (Dr Sci) yang diperolehnya dalam usia 26 tahun 4 bulan dari Department of Chemistry, Graduate School of Science and Technology, Kwansei Gakuin University, Japan.
Keberhasilannya ini sangat kontras dengan kehidupan Mega di masa lalu. Saat SMA Mega terkenal bandel. Beberapa kali orang tuanya harus menemui pihak sekolah, karena Mega kerap terlambat ke sekolah. Selain itu, sang ibu juga dipanggil, karena sepatu yang Mega kenakan sedikit berwarna, padahal aturan sekolah harus mengenakan sepatu polos.
Di bangku perkuliahan, Mega juga sempat mendapatkan indeks prestasi (IP) 1,9. Hal ini sempat membuat sang Ibu marah dan ingin memindahkan Mega ke fakultas pendidikan, agar bisa menjadi guru seperti dirinya. ”Mungkin ibu menganggap matematika murni itu terlalu berat buat saya. Tapi saya tetap ngeyel dan nangis. Akhirnya tidak jadi dipindah,” ujarnya.
Pada semester 4, sang ibu mulai sakit dan akhirnya meninggal dunia. Kepergian sang ibu membuat kondisi keluarganya mulai tidak stabil. Dan Mega, mau tidak mau, harus berjuang dan menghadapinya.
Selepas kepergian sang ibu, Mega harus mengurus segala keperluan rumah tangga. Kakaknya belum bekerja dan sang adik masih harus menyelesaikan sekolahnya di sekolah farmasi dengan biayanya Rp 6 juta setiap semesternya. Sementara itu, sang ayah bekerja di luar pulau (di NTT) dan jarang kembali ke rumah, lantaran jarak yang sangat jauh. ”Kondisi ini menjadi titik balik saya. Ketika saya mulai sadar, apa arti hidup. Saya mulai sadar, untuk apa saya dilahirkan,” ujar Mega.
Mega sempat berpikir berhenti sekolah untuk kemudian bekerja. Namun, ia berpikir ulang. Dengan bekerja, ia hanya bisa mendapatkan gaji setidaknya Rp 1 juta, sedangkan sang adik yang masih sekolah serta tinggal di asrama harus membayar Rp 6 juta setiap semesternya. Gaji yang sangat kurang untuk membiayai hidup dan sekolah sang adik.
Kondisi yang cukup berat bagi seorang Mega. Namun pada akhirnya Mega memutuskan untuk tetap melanjutkan studi dengan mendaftarkan beasiswa. Dalam kesulitannya menjalani kehidupan, ia masih tetap sekolah dan memikirkan adik kakak dan keluarga yang sangat ia sayangi.
”Saya berpikirnya, bisa mendapatkan biaya kuliah yang bisa saya bagi dua dan saya kirim ke adik dan kakak saya di rumah. Sekaligus, bisa mendapatkan gelar dan juga bisa mencairkan dana pensiunan ibu. Karena dana itu cair, kalau anaknya masih sekolah,” cerita perempuan yang tinggal di dekat Termial Tingkir semasa kecilnya ini.
Dalam perjalanannya, Mega lulus S2 biologi dengan raihan prestasi yang cukup gemilang. Ia lulus dengan IPK 4,00 dengan pujian summa cumlaude dari UKSW Salatiga. Kemudian Mega mencoba mendaftar beasiswa untuk menjalani studi S2 di Jepang dan diterima. Begitu pula untuk studi S3-nya.
Keberangkatan ke Jepang, dengan biaya yang tinggi, membuat Mega sedikit terkendala. Ia yang tidak memiliki apa-apa ini, mencoba mengomunikasikannya dengan dosen pembimbing. Akhirnya, berkat kebaikan sang dosen pembimbing, Mega bisa berangkat dengan dana pinjaman dari sang dosen.
”Jadi saya berangkat ke Jepang dengan 2 orang teman lainnya. Masing-masing dari mereka membawa Rp 50 juta dari orang tua, dengan perhitungan untuk segala macam keperluan di sana. Termasuk untuk biaya hidup dan uang cadangan selama 3 bulan, kalau saja beasiswa terlambat cair. Saya berangkat dengan Rp 30 juta dari pinjaman pembimbing saya yang baik itu,” ujarnya mengenang.
Perjuangan Mega tidak berhenti di situ. Benar saja, pencairan beasiswa terlambat, bahkan hingga 5 bulan. Mau tidak mau, Mega harus berjuang menyambung hidupnya. Wanita kelahiran Salatiga, 15 November 1988 ini, kemudian memutuskan bekerja paro waktu demi memenuhi kebutuhan hidupnya saat menimba ilmu di negara orang terebut.
Ia memutuskan untuk bekerja membersihkan rumah pejabat-pejabat Indonesia yang ada di Jepang. Mencuci pakaian mereka untuk dapat menyambung hidupnya dan mengirimkan sebagian uang hasil kerjanya kepada sang adik dan kakak di Indonesia.
”Tapi saya bangga, karena saya tidak meminta uang dari siapa pun. Kalau dibilang saya nyambi sebagai TKI, ya nggak apa-apa. Yang penting itu halal,” cerita wanita yang saat ini tercatat sebagai dosen UPGRIS dengan nada suara bergetar.
Ditanya mengenai sosok yang menginspirasinya, ia mengatakan bahwa adik, kakak, dan orang tuanya yang sangat ia sayangilah yang membuat ia terus berjuang hingga menjadi seperti saat ini.
Putri kedua dari pasangan (Alm) Wiwik Haryanti, SPd dan Budi ini mengaku memiliki motto, Life is a Fight. Moto itu dipilih lantaran selalu ia gunakan untuk menyemangati dirinya dalam meraih sukses dan memaknai hidup. Pasca meninggalnya sang ibu, kata-kata itulah yang selalu memotivasi seorang Mega Novita untuk terus maju untuk meraih sukses.
”Pantang menyerah. Hidup adalah untuk bertarung. Kalau kita tidak mau bergerak dan melawan, kita tidak akan berubah. Paling tidak, bergerak mengejar apa yang kita mau,” jelas wanita yang saat ini tengah sibuk bolak-balik ke Jepang untuk melakukan penelitian mengenai LED ini. (*/ida/ce1)