JAKARTA – Kenaikan upah sebesar Rp 650 ribu tahun depan yang menjadi tuntutan para buruh dipastikan kandas. Pemerintah telah merekomendasikan upah minimum provinsi (UMP) 2017 hanya wajib naik 8,25 persen. Nilai itu lebih kecil dari kenaikan rata-rata UMP tahun lalu, yakni 11,5 persen.
Kenaikan UMP tersebut telah diedarkan ke gubernur melalui Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri. Isinya tentang penyampaian data tingkat inflasi nasional dan pertumbuhan produk domestik bruto (PPDB) 2016. Dalam surat tertanggal 17 Oktober itu menyebutkan inflasi nasional saat ini sebesar 3,07 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,18 persen. Kalkulasi kedua presentase itulah yang menjadi pedoman kenaikan UMP 2017.
Kasi Standardisasi Pengupahan Subdit Pengupahan Direktorat Pengupahan dan Jaminan Sosial (Jamsos) Kemenaker Juprianus Manurung mengatakan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Presentase tersebut disebutkan melalui surat Kepala BPS Nomor BB-245/BPS/1000/10/2016 tanggal 10 Oktober 2016.
Juprianus menjelaskan, gubernur wajib menetapkan UMP sesuai dengan formula yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan. Sesuai pasal 44 ayat (1) PP tersebut, penetapan UMP menggunakan formula perhitungan upah minimum yang berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. ”Kenaikan UMP nanti akan sama di semua daerah,” ujar Juprianus kepada Jawa Pos, kemarin (19/10).
Pihaknya mengklaim mekanisme penghitungan kenaikan UMP sesuai PP 78/2015 menguntungkan daerah dengan inflasi rendah. Sebelumnya, penetapan UMP menggunakan formula yang diatur dalam UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. UMP sesuai UU tersebut ditetapkan gubernur yang mendapat rekomendasi dewan pengupahan provinsi dan bupati/walikota. ”Daerah yang inflasinya rendah akan terangkat (dengan kenaikan UMP yang sama, Red),” tuturnya.
Juprianus menerangkan, penetapan UMP sesuai PP tidak lantas mengesampingkan rekomendasi dewan pengupahan provinsi dan kabupaten/kota. Menurutnya, dewan pengupahan daerah tetap bisa memberikan rekomendasi ke gubernur. ”Fungsi (dewan pengupahan, Red) itu tetap ada, hanya mekanismenya (sesuai dengan PP 78/2015, Red) saja yang berbeda, jadi tidak ada yang dilanggar,” bebernya.
----------------------------------
Pengamat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Timboel Siregar mengkritik surat Menaker itu semestinya ditujukan kepada bupati/walikota. Itu bila rekomendasi dewan pengupahan daerah dan bupati/walikota sesuai UU Nomor 13/2003 masih diperhatikan. ”Kalau (surat, Red) langsung ke gubernur, berarti rekomendasi dewan pengupahan provinsi dan bupati/walikota tidak diperhatikan lagi,” celetuknya.
Terkait nilai inflasi nasional 3,07 persen, menurutnya, belum mencerminkan kondisi rill lapangan. Inflasi itu, kata dia, merupakan hitungan dari sektor barang dan jasa. Sementara sesuai pasal 43 ayat (1) PP 78/2015, ada 60 item komponen hidup layak (KHL) untuk menetapkan kenaikan upah minimum. ”Harusnya inflasi fokus pada 60 item KHL,” ungkapnya.
Timboel mengatakan gubernur bisa mengeluarkan diskresi untuk menaikkan presentase kenaikan upah minimum diluar hitungan BPS. Hal itu bisa digunakan gubernur untuk menyesuaikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di daerahnya. ”Gubernur punya kewenangan sesuai pasal 89 ayat (3) UU ketenagakerjaan (Nomor 13/2003),” imbuhnya.
Dengan begitu, kenaikan upah minimum bisa diatas 8,25 persen. Kenaikan diatas presentase tersebut bisa menekan laju penurunan daya beli pekerja pada 2017 mendatang. ”Kenaikan bisa berkisar 10,25 sampai 12,25 persen,” terangnya. ”Pemerintah harus menjaga daya beli pekerja untuk bisa hidup layak,” tandasnya.
Presiden Konfenderasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menambahkan, pihaknya tetap menuntut kenaikan upah buruh sebesar Rp 650 ribu pada 2017 mendatang. Itu merujuk data International Labour Organization (ILO) yang menyebut upah rata-rata pekerja Indonesia lebih rendah dari gaji Vietnam, Malaysia, Thailand dan Filipina. ”Adanya PP 78/2015 menyebabkan upah buruh akan selalu murah.” (tyo)
Kenaikan UMP tersebut telah diedarkan ke gubernur melalui Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri. Isinya tentang penyampaian data tingkat inflasi nasional dan pertumbuhan produk domestik bruto (PPDB) 2016. Dalam surat tertanggal 17 Oktober itu menyebutkan inflasi nasional saat ini sebesar 3,07 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,18 persen. Kalkulasi kedua presentase itulah yang menjadi pedoman kenaikan UMP 2017.
Kasi Standardisasi Pengupahan Subdit Pengupahan Direktorat Pengupahan dan Jaminan Sosial (Jamsos) Kemenaker Juprianus Manurung mengatakan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Presentase tersebut disebutkan melalui surat Kepala BPS Nomor BB-245/BPS/1000/10/2016 tanggal 10 Oktober 2016.
Juprianus menjelaskan, gubernur wajib menetapkan UMP sesuai dengan formula yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan. Sesuai pasal 44 ayat (1) PP tersebut, penetapan UMP menggunakan formula perhitungan upah minimum yang berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. ”Kenaikan UMP nanti akan sama di semua daerah,” ujar Juprianus kepada Jawa Pos, kemarin (19/10).
Pihaknya mengklaim mekanisme penghitungan kenaikan UMP sesuai PP 78/2015 menguntungkan daerah dengan inflasi rendah. Sebelumnya, penetapan UMP menggunakan formula yang diatur dalam UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. UMP sesuai UU tersebut ditetapkan gubernur yang mendapat rekomendasi dewan pengupahan provinsi dan bupati/walikota. ”Daerah yang inflasinya rendah akan terangkat (dengan kenaikan UMP yang sama, Red),” tuturnya.
Juprianus menerangkan, penetapan UMP sesuai PP tidak lantas mengesampingkan rekomendasi dewan pengupahan provinsi dan kabupaten/kota. Menurutnya, dewan pengupahan daerah tetap bisa memberikan rekomendasi ke gubernur. ”Fungsi (dewan pengupahan, Red) itu tetap ada, hanya mekanismenya (sesuai dengan PP 78/2015, Red) saja yang berbeda, jadi tidak ada yang dilanggar,” bebernya.
----------------------------------
Pengamat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Timboel Siregar mengkritik surat Menaker itu semestinya ditujukan kepada bupati/walikota. Itu bila rekomendasi dewan pengupahan daerah dan bupati/walikota sesuai UU Nomor 13/2003 masih diperhatikan. ”Kalau (surat, Red) langsung ke gubernur, berarti rekomendasi dewan pengupahan provinsi dan bupati/walikota tidak diperhatikan lagi,” celetuknya.
Terkait nilai inflasi nasional 3,07 persen, menurutnya, belum mencerminkan kondisi rill lapangan. Inflasi itu, kata dia, merupakan hitungan dari sektor barang dan jasa. Sementara sesuai pasal 43 ayat (1) PP 78/2015, ada 60 item komponen hidup layak (KHL) untuk menetapkan kenaikan upah minimum. ”Harusnya inflasi fokus pada 60 item KHL,” ungkapnya.
Timboel mengatakan gubernur bisa mengeluarkan diskresi untuk menaikkan presentase kenaikan upah minimum diluar hitungan BPS. Hal itu bisa digunakan gubernur untuk menyesuaikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di daerahnya. ”Gubernur punya kewenangan sesuai pasal 89 ayat (3) UU ketenagakerjaan (Nomor 13/2003),” imbuhnya.
Dengan begitu, kenaikan upah minimum bisa diatas 8,25 persen. Kenaikan diatas presentase tersebut bisa menekan laju penurunan daya beli pekerja pada 2017 mendatang. ”Kenaikan bisa berkisar 10,25 sampai 12,25 persen,” terangnya. ”Pemerintah harus menjaga daya beli pekerja untuk bisa hidup layak,” tandasnya.
Presiden Konfenderasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menambahkan, pihaknya tetap menuntut kenaikan upah buruh sebesar Rp 650 ribu pada 2017 mendatang. Itu merujuk data International Labour Organization (ILO) yang menyebut upah rata-rata pekerja Indonesia lebih rendah dari gaji Vietnam, Malaysia, Thailand dan Filipina. ”Adanya PP 78/2015 menyebabkan upah buruh akan selalu murah.” (tyo)