JAKARTA - Komitmen Kejaksaan Agung dalam memberantas tindak pidana korupsi perlu dipertanyakan. Sebab, banyak jaksa yang malah terseret kasus korupsi. Desakan agar Jaksa Agung HM Prasetyo segera diganti semakin menguat.
Dalam tahun ini, setidaknya ada sembilan pejabat kejaksaan yang terseret kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yaitu, Jaksa Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar Devianti Rochaeni yang ditangkap KPK setelah menerima suap Rp 913 juta pada April lalu. Uang itu diberikan untuk memuluskan penanganan perkara korupsi dana BPJS di Kabupaten Subang yang ditangani Kejati Jabar.
Selain Devianti, komisi antirasuah juga menahan Fahri Nurmallo yang juga jaksa Kejati Jabar. Fahri bersama-sama dengan Devianti menerima uang suap dari Jajang Abdul Khoir. Diduga uang diberikan dengan tujuan agar tuntutan jaksa terhadap Jajang dalam perkara itu menjadi ringan. Bupati Subang Ojang Sohandi juga ikut terlibat. Ojang sebagai penyandang dana. Dia memberikan uang itu agar namanya tidak terseret.
Selanjutnya, ada nama Kajati DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Aspidsus Tomo Sitepu. Nama keduanya santer disebut setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap tiga orang pemberi suap pada 31 Maret lalu. Yaitu,
Direktur Keuangan PT Brantas Abipraya Sudiwantoko, Senior Manager PT Brantas Abipraya Dandung Pamularno, dan Marudut Pakpahan.
Suap diduga untuk menghentikan kasus korupsi PT Brantas Abipraya yang sedang ditangani Kejati DKI Jakarta. Komisi antirasuah pun memeriksa Kajati DKI Jakarta Sudung dan Aspidsus Tomo Sitepu.
Dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor pada 2 September lalu, Marudut, Dandung dan Sudiwantoko divonis bersalah, karena telah melakukan penyuapan. Namun, sampai sekarang tidak ada pihak yang menjadi penerima suap. Sudung dan Tomo yang diduga penerima suap hingga saat ini tidak ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus itu semakin janggal, karena KPK menghentikan penyelidikan terhadap Sudung dan Tomo. "Penyidik tidak menemukan link yang mengarah kepada keduanya (Sudung dan Tomo)," ucap Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan. Jadi, komisi itu tidak bisa menetapkan kedua pejabat kejaksaan itu sebagai tersangka, karena ada alat bukti yang cukup.
Tidak hanya itu, nama Kajati Jatim Maruli Hutagalung juga disebut-sebut menerima suap dalam penanganan perkara korupsi bansos Pemprov Sumatera Utara. KPK pun melakukan penyelidikan terhadap kasus itu.
Nama Maruli disebut dalam pada sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor 8 November 2015 lalu. Evy Susanti, istri mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo menyebutkan O.C Kaligis meminta uang Rp 300 juta untuk diberikan kepada Maruli yang saat itu menjadi direktur penyidikan Jampidsus Kejagung. Uang itu diberikan untuk mempengaruhi penanganan perkara bansos.
Dan yang terbaru adalah kasus Jaksa Kejati Sumbar Farizal. Dia ditetapkan sebagai tersangka, karena menerima suap Rp 365 juta dari Direktur CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto. uang itu diberikan agar Farizal membantu penanganan perkara gula tidak ber-SNI yang disidang di Pengadilan Negeri Padang.
Selain menjadi jaksa penuntut umum (JPU), Farizal juga berperan seperti penasihat hukum. Bahkan, dia membantu Xaveriandy membuatkan eksepsi atau nota keberatan. KPK pun masih mendalami perkara tersebut. Para pejabat di Kejati Sumatera Barat dan Kajari Padang pun diperiksa.
Pada 2 November lalu, Kajati Sumbar Widodo Supriyadi dan Kajari Padang Syamsul Bahri diperiksa. KPK juga memanggil Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati Sumbar Bambang Supriyambodo. Mereka dianggap mengetahui pemberian suap itu.
Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, pihaknya serius menangani kasus suap penanganan gula tanpa SNI. "Sedang dikembangkan," ucapnya pada konferensi pers di gedung KPK pada Kamis (10/11) lalu. Penyidik sedang mengali informasi siapa saja yang terlibat dalam kasus suap itu. Siapa pun yang terlibat akan ditindak. Baik petinggi di Kejati Sumbar maupun di Kejari Padang.
Terkait penanganan kasus suap yang menyeret nama Sudung dan Tomo, Agus menegaskan bahwa penyelidikan terhadap keduanya dihentikan, karena penyidik tidak menemukan kesepakatan antara Marudut, Dandung, Sudiwantoko dengan Sudung dan Tomo. Tidak ada bukti yang menujukkan bahwa Sudung dan Tomo menerima suap. Tidak ada percakapan maupun perjanjian permintaan suap. "Berbeda dengan kasus suap yang lain," terang Agus.
Sementara itu, Peneliti Indoesian Legal Raoundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menyatakan, KPK harus tegas dalam mengusut keterlibatan pejabat kejaksaan dalam perkara suap. "Jangan hanya jaksa biasa saja yang dijerat. Kalau petinggi jekasaan terlibat juga harus ditindak," terang dia saat dikonfrimasi kemarin. Untuk kasus suap penanganan gula tanpa SNI, jangan hanya Farizal saja yang diproses.
Sedangkan untuk kasus Maruli, komisi antirasuah harus segera memeriksa mantan direktur penyidikan Jampdisus Kejagung itu. Keterangan Evy bahwa Maruli menerima suap merupakan bukti permulaan untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Jika sudah ada alat bukti yang cukup, KPK tidak perlu ragu lagi meningkatkan status dari penyelidikan menjadi penyidikan.
Alumnus fakultas hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menyatakan, banyaknya kasus yang menyeret pejabat kejaksaan merupakan bukti bahwa kejagung tidak serius memberantas korupsi. "Ini karena Presiden Jokowi menunjuk orang partai sebagai jaksa agung," terang dia. Selama posisi jaksa agung dijabat orang partai, maka penegakan hukum akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Dia pun mendesak agar presiden mencopot HM Prasetyo dari jabatan jaksa agung. Jabatan itu harus diisi pejabat yang betul-betul mempunyai komitmen dalam penegakan hukum dan tidak ada kepentingan politik. "Jaksa agung harus diganti," ucap Erwin. (lum)
Dalam tahun ini, setidaknya ada sembilan pejabat kejaksaan yang terseret kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yaitu, Jaksa Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar Devianti Rochaeni yang ditangkap KPK setelah menerima suap Rp 913 juta pada April lalu. Uang itu diberikan untuk memuluskan penanganan perkara korupsi dana BPJS di Kabupaten Subang yang ditangani Kejati Jabar.
Selain Devianti, komisi antirasuah juga menahan Fahri Nurmallo yang juga jaksa Kejati Jabar. Fahri bersama-sama dengan Devianti menerima uang suap dari Jajang Abdul Khoir. Diduga uang diberikan dengan tujuan agar tuntutan jaksa terhadap Jajang dalam perkara itu menjadi ringan. Bupati Subang Ojang Sohandi juga ikut terlibat. Ojang sebagai penyandang dana. Dia memberikan uang itu agar namanya tidak terseret.
Selanjutnya, ada nama Kajati DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Aspidsus Tomo Sitepu. Nama keduanya santer disebut setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap tiga orang pemberi suap pada 31 Maret lalu. Yaitu,
Direktur Keuangan PT Brantas Abipraya Sudiwantoko, Senior Manager PT Brantas Abipraya Dandung Pamularno, dan Marudut Pakpahan.
Suap diduga untuk menghentikan kasus korupsi PT Brantas Abipraya yang sedang ditangani Kejati DKI Jakarta. Komisi antirasuah pun memeriksa Kajati DKI Jakarta Sudung dan Aspidsus Tomo Sitepu.
Dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor pada 2 September lalu, Marudut, Dandung dan Sudiwantoko divonis bersalah, karena telah melakukan penyuapan. Namun, sampai sekarang tidak ada pihak yang menjadi penerima suap. Sudung dan Tomo yang diduga penerima suap hingga saat ini tidak ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus itu semakin janggal, karena KPK menghentikan penyelidikan terhadap Sudung dan Tomo. "Penyidik tidak menemukan link yang mengarah kepada keduanya (Sudung dan Tomo)," ucap Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan. Jadi, komisi itu tidak bisa menetapkan kedua pejabat kejaksaan itu sebagai tersangka, karena ada alat bukti yang cukup.
Tidak hanya itu, nama Kajati Jatim Maruli Hutagalung juga disebut-sebut menerima suap dalam penanganan perkara korupsi bansos Pemprov Sumatera Utara. KPK pun melakukan penyelidikan terhadap kasus itu.
Nama Maruli disebut dalam pada sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor 8 November 2015 lalu. Evy Susanti, istri mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo menyebutkan O.C Kaligis meminta uang Rp 300 juta untuk diberikan kepada Maruli yang saat itu menjadi direktur penyidikan Jampidsus Kejagung. Uang itu diberikan untuk mempengaruhi penanganan perkara bansos.
Dan yang terbaru adalah kasus Jaksa Kejati Sumbar Farizal. Dia ditetapkan sebagai tersangka, karena menerima suap Rp 365 juta dari Direktur CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto. uang itu diberikan agar Farizal membantu penanganan perkara gula tidak ber-SNI yang disidang di Pengadilan Negeri Padang.
Selain menjadi jaksa penuntut umum (JPU), Farizal juga berperan seperti penasihat hukum. Bahkan, dia membantu Xaveriandy membuatkan eksepsi atau nota keberatan. KPK pun masih mendalami perkara tersebut. Para pejabat di Kejati Sumatera Barat dan Kajari Padang pun diperiksa.
Pada 2 November lalu, Kajati Sumbar Widodo Supriyadi dan Kajari Padang Syamsul Bahri diperiksa. KPK juga memanggil Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati Sumbar Bambang Supriyambodo. Mereka dianggap mengetahui pemberian suap itu.
Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, pihaknya serius menangani kasus suap penanganan gula tanpa SNI. "Sedang dikembangkan," ucapnya pada konferensi pers di gedung KPK pada Kamis (10/11) lalu. Penyidik sedang mengali informasi siapa saja yang terlibat dalam kasus suap itu. Siapa pun yang terlibat akan ditindak. Baik petinggi di Kejati Sumbar maupun di Kejari Padang.
Terkait penanganan kasus suap yang menyeret nama Sudung dan Tomo, Agus menegaskan bahwa penyelidikan terhadap keduanya dihentikan, karena penyidik tidak menemukan kesepakatan antara Marudut, Dandung, Sudiwantoko dengan Sudung dan Tomo. Tidak ada bukti yang menujukkan bahwa Sudung dan Tomo menerima suap. Tidak ada percakapan maupun perjanjian permintaan suap. "Berbeda dengan kasus suap yang lain," terang Agus.
Sementara itu, Peneliti Indoesian Legal Raoundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menyatakan, KPK harus tegas dalam mengusut keterlibatan pejabat kejaksaan dalam perkara suap. "Jangan hanya jaksa biasa saja yang dijerat. Kalau petinggi jekasaan terlibat juga harus ditindak," terang dia saat dikonfrimasi kemarin. Untuk kasus suap penanganan gula tanpa SNI, jangan hanya Farizal saja yang diproses.
Sedangkan untuk kasus Maruli, komisi antirasuah harus segera memeriksa mantan direktur penyidikan Jampdisus Kejagung itu. Keterangan Evy bahwa Maruli menerima suap merupakan bukti permulaan untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Jika sudah ada alat bukti yang cukup, KPK tidak perlu ragu lagi meningkatkan status dari penyelidikan menjadi penyidikan.
Alumnus fakultas hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menyatakan, banyaknya kasus yang menyeret pejabat kejaksaan merupakan bukti bahwa kejagung tidak serius memberantas korupsi. "Ini karena Presiden Jokowi menunjuk orang partai sebagai jaksa agung," terang dia. Selama posisi jaksa agung dijabat orang partai, maka penegakan hukum akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Dia pun mendesak agar presiden mencopot HM Prasetyo dari jabatan jaksa agung. Jabatan itu harus diisi pejabat yang betul-betul mempunyai komitmen dalam penegakan hukum dan tidak ada kepentingan politik. "Jaksa agung harus diganti," ucap Erwin. (lum)