ILUSTRASI |
”Saya sama teman saya (A) dulu sempat punya utang di bank Rp100 juta. Kemudian sama-sama macet, jadi sama-sama tidak bisa melunasi. Kemudian A dan T datang ke rumah saya bilang kalau saya harus melunasi utang-utang itu. Karena rumah A yang kami jaminkan dulu akan dilelang pihak bank,” bebernya kemarin (7/11).
Mengetahui kalau A dalam keadaan terdesak, T menyarankan menggadaikan sebuah mobil rentalan milik rekannya. Korban dipaksa menggadaikan mobil milik rekannya karena bisa menjamin. ”Akhirnya saya mau, saya menggadaikan ke teman saya laku Rp 29 juta. Kepotong ini itu, sisa Rp 10,5 juta dan saya berikan kepada A,” ungkap Wahyu.
Setelah kejadian tersebut, T kembali menghubungi korban minta bertemu di kawasan Jurug Jumat (4/11) sekitar pukul 23.00. Pertemuan itu akan dikenalkan sama temannya bicara bisnis. Korban pun percaya dan ketemu di sebuah wedangan, tapi bukan dengan T. ”Saya di situ (wedangan, Red) digeret dan dipukuli dua orang. Setelah itu saya disuruh naik motor,” katanya.
Dari lokasi wedangan inilah awal mula penyekapan terjadi. Yakni motor yang ditumpangi menuju rumah T. Sebelum sampai, korban disuruh turun dan lari kecil dengan pelaku membuntuti naik sepeda motor. ”Saya disuruh lari dan menirukan sirine mobil polisi. Di belakang ada pelaku. Saya lari kira-kira 400 meter sampai rumah pelaku,” tandasnya.
Sampai di rumah, pelaku nekat menculik korban karena diperintah seseorang berinial M yang tidak terima kalau mobil miliknya digadaikan. ”Rupanya saya dijebak. Saya sudah membela diri tapi pemilik mobil tidak percaya karena lebih kenal sama T. Saya akhirnya disiksa sama mereka,” tutur Wahyu.
Perlakuan tidak menyenangkan dilakukan T dan M. Wahyu diperintah menanggalkan pakaian dengan ancaman senjata laras panjang yang diduga air softgun. Tidak hanya itu saja, pelaku juga menyuruh korban menenggak minuman keras (miras) jenis ciu. Setelah itu kepalanya ditutup menggunakan tas kresek.
Dalam keadaan kepala ditutup itulah penyiksaan dimulai. Puluhan hantaman dan tendangan diarahkan ketubuh korban. Tidak hanya menggunakan tangan kosong, penyiksaan juga menggunakan sandal jepit dan selang air. Penyiksaan tidak hanya dilakukan T dan M, namun anak T juga diperintah menghantam tubuh korban.
Penyiksaan yang berlangsung sejak pukul 00.00 baru berakhir pukul 04.00. Pelaku menutup aksinya dengan menyuruh korban mencium kaki para pelaku. ”Saya disuruh menyembah para pelaku. Setelah itu disuruh pakai baju lagi dan membersihkan rumah milik pelaku,” katanya.
Di saat membersihkan rumah itulah, pengawasan korban longgar. Situasi itu dimanfaatkan korban dengan mengambil langkah seribu dari rumah tersebut. ”Waktu nyapu teras depan, saya lihat tidak ada para pelaku. Akhirnya saya nekat kabur, tapi ketahuan dan saya dikejar dari belakang,” bebernya.
Saat melarikan diri, dia terpeleset dan jatuh ke selokan. Korban tidak langsung bangun, namun bersembunyi dalam selokan. Diduga karena kehilangan jejak, para pelaku meninggalkan korban. ”Saya bangun setelah aman, kemudian saya dibantu takmir masjid setempat dan saya pinjam HP (handphone) milik bapak itu untuk menghubungi saudara saya,” jelasnya.
Setelah dijemput, korban lantas visum di RSUD Sragen. Hasil pemeriksaan rumah sakit dia mengalami lebam di seluruh tubuh. Paling parah di bagian muka dan punggung. ”Sampai saat ini masih nyeri,” ungkap dia.
Menindaklanjuti peristiwa tersebut, korban lantas melaporkan ke Mapolresta Solo. Laporan sekaligus minta perlindungan dan minta menangkap pelaku. Kasus ini sendiri masih dalam proses penyelidikan polisi.
”Laporan baru masuk tadi siang (kemarin, Red). Jadi ini masih dalam pemeriksaan saksi korban. Kami masih harus melakukan penyelidikan lebih lanjut dengan mendatangi lokasi dan mencari saksi-saksi di TKP guna memperkuat keterangan korban," papar Kasatreskrim Polresta Solo Kompol Saprodin mewakili Kapolresta Solo Kombes Pol Ahmad Lutfi. (atn/un)