BLORA – Marfuah bersama suaminya Muhamad Nur Hadi alias Supri masih belum percaya anak bungsunya terlibat jaringan teroris internasional. Hingga kemarin (13/12) kabar resmi soal penangkapan Muhammad Nur Sholihin belum diterima.
Meski begitu, Marfuah, 58, ini masih shock. Tubuhnya lemas. Matanya sembab. Dia masih meneteskan air matanya saat ditanya tentang masa lalu atau keberadaan anaknya yang nomor delapan (bukan nomor tiga).
Warga RT 2 RW 5, Dukuh Bulakan, Desa Pilang, Kecamatan Randublatung, Blora ini juga enggan menjawab banyak pertanyaan. Dia hanya berharap anaknya segera pulang dan berkumpul dengan keluarga. “Le ndang bali, ndang mantuk (Nak cepat pulang, cepat pulang ke rumah, Red),” harapnya dengan suara lirih dan terbata-bata kemarin (13/12).
Selepas itu, dia tidak mau lagi bercerita tentang anaknya yang diduga menjadi perencana bom panci di Istana Negara. Perempuan yang melahirkan delapan anak ini hanya ingin beristirahat dan menenangkan diri. Begitu juga dengan suaminya. Supri juga berharap, anaknya tidak terlibat jaringan teroris. “Semoga cepat pulang agar beban keluarga di rumah berkurang,” paparnya.
Dia menunggu kepastian kabar penangkapan anaknya. Hingga kemarin belum ada aparat kepolisian atau pemerintah yang datang. Sambil menunggu kabar, mereka juga menunggu kedatangan anaknya, Muhammad Saifudin yang menjadi guru di Salatiga pulang ke Blora. Kemarin siang masih dalam perjalanan menuju ke Blora.
Sedangkan, Muhammad Basor, kakak Muhammad Nur Sholihin mengaku, sejauh ini orang tuanya belum tahu peran adiknya. Kabar yang diterima dari media, Nur Sholihin ini sebagai pimpinan jaringan teror bom panci yang ditangkap di Bekasi Sabtu (10/12) lalu. Dia ditangkap tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri bersama Dian Yulia Novi, Agus Supriyadi, dan Izzah.
Untuk memastikan kabar itu, dia sudah menghubungi istri adiknya, Arinda Sri Maharani, warga Kelurahan Ledoksari Griyan, Pajang, Laweyan, Surakarta. Beberapa kali dihubungi tidak ada aktif. Apalagi, ada kabar istrinya ikut ditangkap Densus 88 Antiteror. Kondisi itu juga membuat ibunya kepikiran.
“Ibu juga kepikiran menantu dan cucunya. Orang tua istri adik saya di Solo juga belum bisa dihubungi. Kami ingin memastikan keberadaan adik saya dan istri serta anaknya,” paparnya.
Melihat kondisi orang tuanya yang melemah, dia kemarin mengajukan izin kepada sekolah untuk tidak masuk. Dia bersama istrinya menjaga orang tuanya. “Khawatir kalau terjadi apa-apa. Makanya saya di rumah,” papar kepala SD swasta di Randublatung ini.
Dia mengungkapkan, saat ini memang menunggu kedatangan kakaknya Muhammad Saifudin yang berencana pulang kemarin. Kakaknya pulang sendiri tanpa anak dan istrinya. “Melihat kondisi ibu dan bapak. Semoga tetap diberi ketabahan menjalani cobaan ini,” ungkapnya.
Basor menambahkan, ibunya memang melahirkan delapan anak. Tetapi, saat ini tinggal dia, kakaknya Saifudin dan Sholihin. “Lima anak orang tua saya meninggal. Rata-rata meninggalnya usia satu tahun dan dua tahun karena penyakit,” jelasnya
Selama ini Basor jarang berkomunikasi dengan adiknya. Dia menerangkan, sejak lulus MTs Mujahidin Blora adiknya tinggal di Pondok Pesantren (ponpes) Ringin Agung Kediri sekaligus sekolah di Madrasah Aliyah. Dia lulus MA pada tahun 2009. Karena mengajinya belum selesai, usai lulus MA dia meneruskan mondok sekitar enam bulan.
Usai lulus dari pesantren, Sholihin pulang beberapa hari ke rumah. Akhirnya pergi merantau. Dia ikut Muhammad Basor, anak ketujuh dari pasangan Marfuah dan Supri di Salatiga. Keduanya menjadi takmir masjid dan mengajar mengaji. Keduanya tidak tinggal bersama Muhammad Saifudin, anak kelima. Meski, Saifudin juga tinggal di Salatiga.
Sholihin sekitar tiga bulan menjadi takmir masjid dan mengajar ngaji. Sekitar 2010 terduga teroris jaringan Bahrun Naim kembali melanjutkan ke pondok pesantren di Solo. Dia fokus menghafal Alquran.
Belum ada satu tahun alumni SDN 2 Pilang ini keluar dari ponpes tersebut. Saat itu dia mendapatkan hataman sekitar 3 juz. Sekitar tahun 2011 Sholihin melanjutkan kuliah di IAIN Surakarta sambil menekuni aktivitas di masjid Kampung Ledoksari Griyan, Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Surakarta, sebagai takmir. Dia juga tinggal disana. “Katanya hafalan Alquran sambil kuliah,” ujarnya.
Dari aktivitas menjadi takmir masjid, adiknya kenal Arinda Sri Maharani. Selanjutnya akhir 2015 lalu menikah. Saat ini dikaruniai satu anak yang berusia enam bulan. Meski kuliahnya belum selesai. (sub/ris)
Meski begitu, Marfuah, 58, ini masih shock. Tubuhnya lemas. Matanya sembab. Dia masih meneteskan air matanya saat ditanya tentang masa lalu atau keberadaan anaknya yang nomor delapan (bukan nomor tiga).
Warga RT 2 RW 5, Dukuh Bulakan, Desa Pilang, Kecamatan Randublatung, Blora ini juga enggan menjawab banyak pertanyaan. Dia hanya berharap anaknya segera pulang dan berkumpul dengan keluarga. “Le ndang bali, ndang mantuk (Nak cepat pulang, cepat pulang ke rumah, Red),” harapnya dengan suara lirih dan terbata-bata kemarin (13/12).
Selepas itu, dia tidak mau lagi bercerita tentang anaknya yang diduga menjadi perencana bom panci di Istana Negara. Perempuan yang melahirkan delapan anak ini hanya ingin beristirahat dan menenangkan diri. Begitu juga dengan suaminya. Supri juga berharap, anaknya tidak terlibat jaringan teroris. “Semoga cepat pulang agar beban keluarga di rumah berkurang,” paparnya.
Dia menunggu kepastian kabar penangkapan anaknya. Hingga kemarin belum ada aparat kepolisian atau pemerintah yang datang. Sambil menunggu kabar, mereka juga menunggu kedatangan anaknya, Muhammad Saifudin yang menjadi guru di Salatiga pulang ke Blora. Kemarin siang masih dalam perjalanan menuju ke Blora.
Sedangkan, Muhammad Basor, kakak Muhammad Nur Sholihin mengaku, sejauh ini orang tuanya belum tahu peran adiknya. Kabar yang diterima dari media, Nur Sholihin ini sebagai pimpinan jaringan teror bom panci yang ditangkap di Bekasi Sabtu (10/12) lalu. Dia ditangkap tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri bersama Dian Yulia Novi, Agus Supriyadi, dan Izzah.
Untuk memastikan kabar itu, dia sudah menghubungi istri adiknya, Arinda Sri Maharani, warga Kelurahan Ledoksari Griyan, Pajang, Laweyan, Surakarta. Beberapa kali dihubungi tidak ada aktif. Apalagi, ada kabar istrinya ikut ditangkap Densus 88 Antiteror. Kondisi itu juga membuat ibunya kepikiran.
“Ibu juga kepikiran menantu dan cucunya. Orang tua istri adik saya di Solo juga belum bisa dihubungi. Kami ingin memastikan keberadaan adik saya dan istri serta anaknya,” paparnya.
Melihat kondisi orang tuanya yang melemah, dia kemarin mengajukan izin kepada sekolah untuk tidak masuk. Dia bersama istrinya menjaga orang tuanya. “Khawatir kalau terjadi apa-apa. Makanya saya di rumah,” papar kepala SD swasta di Randublatung ini.
Dia mengungkapkan, saat ini memang menunggu kedatangan kakaknya Muhammad Saifudin yang berencana pulang kemarin. Kakaknya pulang sendiri tanpa anak dan istrinya. “Melihat kondisi ibu dan bapak. Semoga tetap diberi ketabahan menjalani cobaan ini,” ungkapnya.
Basor menambahkan, ibunya memang melahirkan delapan anak. Tetapi, saat ini tinggal dia, kakaknya Saifudin dan Sholihin. “Lima anak orang tua saya meninggal. Rata-rata meninggalnya usia satu tahun dan dua tahun karena penyakit,” jelasnya
Selama ini Basor jarang berkomunikasi dengan adiknya. Dia menerangkan, sejak lulus MTs Mujahidin Blora adiknya tinggal di Pondok Pesantren (ponpes) Ringin Agung Kediri sekaligus sekolah di Madrasah Aliyah. Dia lulus MA pada tahun 2009. Karena mengajinya belum selesai, usai lulus MA dia meneruskan mondok sekitar enam bulan.
Usai lulus dari pesantren, Sholihin pulang beberapa hari ke rumah. Akhirnya pergi merantau. Dia ikut Muhammad Basor, anak ketujuh dari pasangan Marfuah dan Supri di Salatiga. Keduanya menjadi takmir masjid dan mengajar mengaji. Keduanya tidak tinggal bersama Muhammad Saifudin, anak kelima. Meski, Saifudin juga tinggal di Salatiga.
Sholihin sekitar tiga bulan menjadi takmir masjid dan mengajar ngaji. Sekitar 2010 terduga teroris jaringan Bahrun Naim kembali melanjutkan ke pondok pesantren di Solo. Dia fokus menghafal Alquran.
Belum ada satu tahun alumni SDN 2 Pilang ini keluar dari ponpes tersebut. Saat itu dia mendapatkan hataman sekitar 3 juz. Sekitar tahun 2011 Sholihin melanjutkan kuliah di IAIN Surakarta sambil menekuni aktivitas di masjid Kampung Ledoksari Griyan, Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Surakarta, sebagai takmir. Dia juga tinggal disana. “Katanya hafalan Alquran sambil kuliah,” ujarnya.
Dari aktivitas menjadi takmir masjid, adiknya kenal Arinda Sri Maharani. Selanjutnya akhir 2015 lalu menikah. Saat ini dikaruniai satu anak yang berusia enam bulan. Meski kuliahnya belum selesai. (sub/ris)