Kapolri Tito Karnavian |
Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR kemarin, Tito menjelaskan bahwa pendompleng ini masih terus berupaya, walau sudah ada yang berhasil ditangkap. "Mereka ingin membajak massa yang begitu besar," tuturnya.
Namun, apakah ada aktor yang lebih besar lagi perannya dari orang-orang yang ditangkap itu, Tito enggan menyebutkannya. "Saya tidak bisa sampaikan sekarang," terang mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) tersebut.
Yang pasti, sebenarnya Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) juga sempat mendapatkan tawaran untuk ikut membantu proses menduduki gedung DPR tersebut. Walau, yang perlu disyukuri, GNPF menolak rencana tersebut. "Sudah ditawari itu GNPF, tapi ditolak," jelasnya.
Sementara Kadivhumas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar menjelaskan, makar itu sekarang tidak harus dengan senjata, namun bisa memanfaatkan people power. "Eranya itu tidak pakai senjata, tapi kebebasan dalam berdemokrasi," jelas mantan Kapolda Banten tersebut.
Karena itu, upaya untuk menggunakan massa itu harus digagalkan. Caranya, dengan menangkap sebelum Aksi Damai 2 Desember. "Akhirnya, berhasil digagalkan upaya inkonstitusional itu," jelasnya.
Penjelasan Kapolri terkait makar mendapat respon dari anggota Komisi III DPR. Anggota Komisi III DPR Hasrul Azwar mengingatkan bahwa potensi makar tidak hanya terjadi di seputar Jakarta saja. Menurut dia, Polri juga harus bisa membuktikan bahwa proses penangkapan sejumlah tokoh itu memang terindikasi makar yang berdampak luas. "Sejauh mana potensi makar itu sampai ke daerah-daerah," ujar Hasrul.
Anggota Komisi III Erma Ranik justru pesimis bahwa tokoh-tokoh yang pernah ditangkap bersamaan aksi 212 benar-benar bakal melakukan aksi makar. Polri juga harus bisa membuktikan bahwa indikasi para tokoh itu berusaha menduduki DPR dengan mendompleng kelompok GNPF. "Lihat saja ibu Rachmawati, fisik beliau tidak memungkinkan untuk melakukan aksi," ujarnya.
Anggota Komisi III Jazilul Fawaid meminta Kapolri bisa melakukan tindakan tegas dalam kaitan kasus makar. Jika memang terbukti, Polri harus melakukan tindakan cepat, sebelum gerakan itu berkembang. "Kalau memang (bukti) cukup, saya pikir langsung digas saja Pak, seperti tindakan cepat saat mengantisipasi 212," ujarnya.
Membacakan kesimpulan raker, Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman menyatakan, Komisi III mendesak Kapolri untuk sungguh-sungguh menjaga netralitas dan profesionalisme dalam penegakan hukum. Polri harus sebisa mungkin terjadinya kriminalisasi terhadap warga. "Terhadap perkara yang memang tidak cukup bukti, supaya Polri bisa menghentikan kasus itu," kata Benny.
Terhadap aksi massa, Komisi III meminta Kapolri mengedepankan preventif dan preemptif untuk mencegah terjadinya konflik sosial di masyarakat. Hal ini demi menjaga ketertiban dan keamanan nasional. "Polri harus menghindari penanganan represif aksi unjuk rasa yang sesuai aturan hukum," tandasnya.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting menekankan bahwa kepolisian harus cermat dan hati-hati dalam menerapkan tuduhan makar. Menurutnya hal tersebut harus diperhatikan demi tercapainya penegakan hukum terhadap kasus makar berjalan tepat tidak berpolemik.
Miko menuturkan bahwa makar bukan tindak pidana yang berdiri sendiri melainkan unsur dari tindak pidana. Diterangkan Miko bahwa asal istilah makar bersal dari bahasa Belanda yakni anslaag, yang memiliki arti serangan yang berat.
"Oleh karena itu, unsur utama dari tuduhan makar adalah apakah ada serangan yang berat. Apabila tidak ada serangan yang berat maka tuduhan makar tidak terpenuhi," kata Miko. (idr/bay/dod)