JAKARTA- Proses hukum yang terkesan cepat terhadap kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok di tingkat Kejaksaan, dinilai menunjukkan adanya proses hukum yang tidak adil (unfair trial). Setidaknya, hanya dalam tempo tiga hari sejak berkas pemeriksaan penyidik kepolisian diserahkan, Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan hasil penyidikan Polri telah lengkap atau P21 pada Rabu pekan lalu (30/11).
Setelah itu hanya dalam hitungan jam lembaga yang dipimpin oleh HM. Prasetyo tersebut kemudian melimpahkannya kepada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Hal tersebut yang langsung dikritik oleh Ketua SETARA Institute Hendardi. Padahal menurutnya, berdasarkan kebiasaan jaksa membutuhkan waktu setidaknya 14 hari untuk menyatakan P21 atas sebuah kasus.
Hendardi mengatakan bahwa sikap Kejaksaan tersebut kelihatan sekali bertolak belakang dengan respon atas hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam beberapa kasus pelanggaran HAM berat. "Ada yang membutuhkan waktu bertahun-tahun dan tapi tidak pernah dituntaskan," kata Hendardi di Jakarta, kemarin (5/12).
Hendardi menjelaskan bahwa singkatnya waktu dalam menyatakan P21 terhadap berkas perkara Ahok menunjukkan indikasi bahwa Kejagung tidak mengkaji secara cermat konstruksi peristiwa yang menimpa Ahok. "Kejaksaan juga dinilai cenderung melempar bola panas itu secara cepat ke pengadilan," tandasnya.
Menurut dia, kinerja Kejagung terkait kasus Ahok tersebut bukan hanya menunjukkan tidak profesionalnya jaksa, tetapi membahayakan due process of law dan preseden buruk bagi penegakan hukum untuk kasus-kasus yang berdimensi politik di masa yang akan datang. "Dari beberapa kasus yang berdimensi politik, Jaksa Agung tidak memiliki posisi yang tegas dan terukur sehingga menimbulkan pelanggaran hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial)," ujar Hendardi.
Sementara itu, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengatakan bahwa Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung (MA) harus mempertimbangkan alternatif pemindahan loksi persidangan kasus Ahok ke pengadilan lain yang lebih netral dan aman dari jangkauan kelompok massa penekan.
Hal itu sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 85 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ketua PN Jakarta Utara dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara sebagai pihak yang akan menyelengarakan persidangan perkara atas nama terdakwa Ahok, juga dihimbau mempertimbangkan penerapan penerapan pasal tersebut.
Dia menerangkan, pemindahan lokasi tersebut perlu jadi pertimbangan karena potensi persidangan dilakukan di bawah tekanan massa sangat mungkin terjadi. "Mengingat ketika perkara ini sedang dalam proses pemeriksaan tahap penyelidikan dan penyidikan bahkan hingga perkara ini dinyatakan P21 oleh Kejagung pun, baik Kepolisian maupun Kejaksaan terus menerus menghadapi tekanan massa dalam jumlah yang sangat besar," kata Petrus yang juga merupakan advokat Peradi tersebut.
Karena alasan tersebut, Kejaksaan maupun Ketua PN Jakarta Utara tidak boleh terlambat mengantisipasi perpindahan lokasi persidangan terdakwa Ahok, yakni dari PN Jakarta Utara ke PN lainnya di luar wilayah hukum PN Jakarta Utara. "Apakah di Denpasar, Papua atau NTT sebagai wilayah yang relatif lebih aman selama penyelenggaraan persidangan Ahok," sarannya.
Selama ini, lanjutnya, pihak Kejaksaan, pengadilan, MA, dan Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) sering memindahkan persidangan sebuah perkara pidana di luar yurisdiksi atau wilayah hukum PN yang seharusnya menyidangkan seorang terdakwanya atas alasan keamanan.
Seperti misalnya pemindahan lokasi persidangan terhadap kasus korupsi dengan terdakwa Soemarno Hadi Saputra, Walikota Semarang dari PN Semarang ke PN Jakarta Pusat pada Mei 2012 silam atas alasan keamanan, dan juga terhadap sidang kasus korupsi atas nama terdakwa Darius Lungguk Sitorus dari PN Padang Sidempuan ke PN Jakarta Pusat atas permintaan Jaksa Agung dengan alasan keamanan.
"Tekanan massa yang besar seperti itu dikhawatirkan akan terus berlanjut dan akan sangat mengganggu kemandirian dan kebebasan hakim dalam memutus secara adil perkara Ahok," imbuhnya. (dod)
Setelah itu hanya dalam hitungan jam lembaga yang dipimpin oleh HM. Prasetyo tersebut kemudian melimpahkannya kepada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Hal tersebut yang langsung dikritik oleh Ketua SETARA Institute Hendardi. Padahal menurutnya, berdasarkan kebiasaan jaksa membutuhkan waktu setidaknya 14 hari untuk menyatakan P21 atas sebuah kasus.
Hendardi mengatakan bahwa sikap Kejaksaan tersebut kelihatan sekali bertolak belakang dengan respon atas hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam beberapa kasus pelanggaran HAM berat. "Ada yang membutuhkan waktu bertahun-tahun dan tapi tidak pernah dituntaskan," kata Hendardi di Jakarta, kemarin (5/12).
Hendardi menjelaskan bahwa singkatnya waktu dalam menyatakan P21 terhadap berkas perkara Ahok menunjukkan indikasi bahwa Kejagung tidak mengkaji secara cermat konstruksi peristiwa yang menimpa Ahok. "Kejaksaan juga dinilai cenderung melempar bola panas itu secara cepat ke pengadilan," tandasnya.
Menurut dia, kinerja Kejagung terkait kasus Ahok tersebut bukan hanya menunjukkan tidak profesionalnya jaksa, tetapi membahayakan due process of law dan preseden buruk bagi penegakan hukum untuk kasus-kasus yang berdimensi politik di masa yang akan datang. "Dari beberapa kasus yang berdimensi politik, Jaksa Agung tidak memiliki posisi yang tegas dan terukur sehingga menimbulkan pelanggaran hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial)," ujar Hendardi.
Sementara itu, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengatakan bahwa Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung (MA) harus mempertimbangkan alternatif pemindahan loksi persidangan kasus Ahok ke pengadilan lain yang lebih netral dan aman dari jangkauan kelompok massa penekan.
Hal itu sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 85 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ketua PN Jakarta Utara dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara sebagai pihak yang akan menyelengarakan persidangan perkara atas nama terdakwa Ahok, juga dihimbau mempertimbangkan penerapan penerapan pasal tersebut.
Dia menerangkan, pemindahan lokasi tersebut perlu jadi pertimbangan karena potensi persidangan dilakukan di bawah tekanan massa sangat mungkin terjadi. "Mengingat ketika perkara ini sedang dalam proses pemeriksaan tahap penyelidikan dan penyidikan bahkan hingga perkara ini dinyatakan P21 oleh Kejagung pun, baik Kepolisian maupun Kejaksaan terus menerus menghadapi tekanan massa dalam jumlah yang sangat besar," kata Petrus yang juga merupakan advokat Peradi tersebut.
Karena alasan tersebut, Kejaksaan maupun Ketua PN Jakarta Utara tidak boleh terlambat mengantisipasi perpindahan lokasi persidangan terdakwa Ahok, yakni dari PN Jakarta Utara ke PN lainnya di luar wilayah hukum PN Jakarta Utara. "Apakah di Denpasar, Papua atau NTT sebagai wilayah yang relatif lebih aman selama penyelenggaraan persidangan Ahok," sarannya.
Selama ini, lanjutnya, pihak Kejaksaan, pengadilan, MA, dan Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) sering memindahkan persidangan sebuah perkara pidana di luar yurisdiksi atau wilayah hukum PN yang seharusnya menyidangkan seorang terdakwanya atas alasan keamanan.
Seperti misalnya pemindahan lokasi persidangan terhadap kasus korupsi dengan terdakwa Soemarno Hadi Saputra, Walikota Semarang dari PN Semarang ke PN Jakarta Pusat pada Mei 2012 silam atas alasan keamanan, dan juga terhadap sidang kasus korupsi atas nama terdakwa Darius Lungguk Sitorus dari PN Padang Sidempuan ke PN Jakarta Pusat atas permintaan Jaksa Agung dengan alasan keamanan.
"Tekanan massa yang besar seperti itu dikhawatirkan akan terus berlanjut dan akan sangat mengganggu kemandirian dan kebebasan hakim dalam memutus secara adil perkara Ahok," imbuhnya. (dod)