PURWOREJO- Melestarikan tradisi gotong-royong yang mengakar pada budaya masyarakat pedesaan bukanlah hal yang mudah di tengah gempuran zaman dan era modern.
Namun, Paguyuban Kebo Bodo Seloso Kliwonan di Kelurahan Kledung Karangdalem Kecamatan Banyuurip, mampu melakukannya.
Bahkan, organisasi ini dapat bertahan dan berkembang hingga kini. Sejak berdiri pada 23 November, 23 tahun silam, Kebo Bodo konsisten menjalankan visi paguyuban, yakni membantu warga kurang mampu, khususnya warga yang tergabung sebagai anggota.
Hingga saat ini puluhan warga yang tergabung di dalamnya rutin melakukan pertemuan setiap Selasa Kliwon, untuk sekadar bersilaturahim atau melakukan berbagai program sosial dan kemanusiaan. "Sejak pertama kali berdiri, anggota rutin melakukan pertemuan sebulan sekali," kata Retno Waluyo, Ketua Paguyuban Kebo Bodo, kemarin.
Retno menceritakan, Kebo Bodo merupakan organisiasi di lingkup kelurahan. Awal mula berdirinya dilatarbelakangi oleh keinginan warga untuk melestarikan budaya gotong-royong. Beberapa diantaranya yakni membantu warga kurang mampu saat memiliki hajatan dan memberi santunan kepada warga yang sakit atau meninggal dunia.
"Sejak dulu masyarakat desa memiliki tradisi gotong rotong dan tolong-menolong yang kuat, contohnya saat ada warga yang hendak hajatan, tanpa diminta warga lain membantunya. Tapi lama-lama budaya itu kian luntur. Karena itulah kita ingin melestarikannya melalui sebuah forum yang terkelola," jelasnya.
Dikatakan, sistem bantuan yang diterapkan dalam paguyuban tidak jauh berbeda dengan arisan yang sekarang masih berkembang. Namun, Kebo Bodo lebih toleran. Saat ada anggota yang hendak hajatan dan membutuhkan bantuan berupa keperluan hajatan, secara gotong-royong anggota lain mencukupinya. "Anggota kita sebagian besar merupakan warga kurang mampu. Dengan adanya gotong-royong ini beban anggota menjadi lebih ringan saat memiliki hajatan," lanjutnya.
Kebo Bodo, lanjutnya, bukanlah organisasi formal. Namun, seluruh anggota berusaha untuk mengelolanya secara tertib dan saling pengertian. Kebersamaan menjadi prinsip utamanya. "Dulu anggotanya mencapai sekitar 50 orang, sekarang sekitar 20 orang karena banyak anggota yang pindah rumah ke wilayah lain. Kita bersyukur yang muda-muda sekarang mulai berminat untuk bergabung," ungkapnya.
Retno menambahkan, Kebo Bodo juga mengajarkan sikap kesederhanaan dan kebermaknaan dalam bermasyarakat. Religiusitas menjadi bagian yang tak
terpisahkan. Sebagai contoh, dalam memperingati usia 23 tahun beberapa waktu lalu, Kebo Bodo hanya menggelar tasyakuran sederhana berupa pemotongan tumpeng yang diisi dengan doa bersama dan tausiyah oleh ustaz setempat, Puger Bandan Arum, di rumah salah satu anggoto, Legino.
"Kita berharap paguyuban ini dapat terus eksis di tengah gempuran budaya barat yang cenderung acuh tak acuh. Budaya- budaya positif di masyarakat desa harus terus dirawat," tandasnya. (ndi)
Namun, Paguyuban Kebo Bodo Seloso Kliwonan di Kelurahan Kledung Karangdalem Kecamatan Banyuurip, mampu melakukannya.
Bahkan, organisasi ini dapat bertahan dan berkembang hingga kini. Sejak berdiri pada 23 November, 23 tahun silam, Kebo Bodo konsisten menjalankan visi paguyuban, yakni membantu warga kurang mampu, khususnya warga yang tergabung sebagai anggota.
Hingga saat ini puluhan warga yang tergabung di dalamnya rutin melakukan pertemuan setiap Selasa Kliwon, untuk sekadar bersilaturahim atau melakukan berbagai program sosial dan kemanusiaan. "Sejak pertama kali berdiri, anggota rutin melakukan pertemuan sebulan sekali," kata Retno Waluyo, Ketua Paguyuban Kebo Bodo, kemarin.
Retno menceritakan, Kebo Bodo merupakan organisiasi di lingkup kelurahan. Awal mula berdirinya dilatarbelakangi oleh keinginan warga untuk melestarikan budaya gotong-royong. Beberapa diantaranya yakni membantu warga kurang mampu saat memiliki hajatan dan memberi santunan kepada warga yang sakit atau meninggal dunia.
"Sejak dulu masyarakat desa memiliki tradisi gotong rotong dan tolong-menolong yang kuat, contohnya saat ada warga yang hendak hajatan, tanpa diminta warga lain membantunya. Tapi lama-lama budaya itu kian luntur. Karena itulah kita ingin melestarikannya melalui sebuah forum yang terkelola," jelasnya.
Dikatakan, sistem bantuan yang diterapkan dalam paguyuban tidak jauh berbeda dengan arisan yang sekarang masih berkembang. Namun, Kebo Bodo lebih toleran. Saat ada anggota yang hendak hajatan dan membutuhkan bantuan berupa keperluan hajatan, secara gotong-royong anggota lain mencukupinya. "Anggota kita sebagian besar merupakan warga kurang mampu. Dengan adanya gotong-royong ini beban anggota menjadi lebih ringan saat memiliki hajatan," lanjutnya.
Kebo Bodo, lanjutnya, bukanlah organisasi formal. Namun, seluruh anggota berusaha untuk mengelolanya secara tertib dan saling pengertian. Kebersamaan menjadi prinsip utamanya. "Dulu anggotanya mencapai sekitar 50 orang, sekarang sekitar 20 orang karena banyak anggota yang pindah rumah ke wilayah lain. Kita bersyukur yang muda-muda sekarang mulai berminat untuk bergabung," ungkapnya.
Retno menambahkan, Kebo Bodo juga mengajarkan sikap kesederhanaan dan kebermaknaan dalam bermasyarakat. Religiusitas menjadi bagian yang tak
terpisahkan. Sebagai contoh, dalam memperingati usia 23 tahun beberapa waktu lalu, Kebo Bodo hanya menggelar tasyakuran sederhana berupa pemotongan tumpeng yang diisi dengan doa bersama dan tausiyah oleh ustaz setempat, Puger Bandan Arum, di rumah salah satu anggoto, Legino.
"Kita berharap paguyuban ini dapat terus eksis di tengah gempuran budaya barat yang cenderung acuh tak acuh. Budaya- budaya positif di masyarakat desa harus terus dirawat," tandasnya. (ndi)